Hukuman Mati Untuk Koruptor, Pantaskah?
Penulis: Anung Hartadi - Sumatera Selatan, Indonesia
Bukankah seharusnya bangsa kita ini sudah bisa banyak belajar dari kesalahan-kesalahan di masa lalu dan melakukan perbaikan supaya lebih maju ke depannya dalam menghadapi kasus korupsi? Pelaku korupsi di negeri ini memang sudah waktunya dijatuhi hukuman mati supaya bangsa ini terbebas dari kemelaratan berlarut-larut.
Terlepas dari pendapat pro dan kontra tentang hukuman mati ini yang katanya hanya Tuhanlah yang berhak mencabut nyawa manusia, saya kok malah terbersit pikiran sebaliknya. Yaitu, memberlakukan hukuman mati kepada pelaku korupsi karena koruptor itu sebenarnya juga membunuh sesamanya secara perlahan. Ibarat tikus dia menelusup ke lumbung beras dan mencurinya diam-diam hingga suatu saat kita menyadari bahwa, jatah/hak milik mutlak kita itu tau-tau menipis. Bahkan hilang!
Nah, kalau begitu apakah salah bila kita harus memberantas koruptor sama seperti halnya kita memberantas hama tikus?
Jujur saja saya gemas dengan penampilan mereka yang seakan tiada dosa ketika memenuhi panggilan di persidangan. Alih-alih bersikap menyesal atau merasa malu, eh lha kok malah ngotot dan dengan penuh percaya diri menyatakan bahwa tindakannya tidaklah salah. Dari sini bisa dilihat salah satu ciri khas para pelaku korupsi itu, yaitu mendadak terjangkit penyakit LUPA ketika dicecar pertanyaan jaksa. Apakah mereka berbohong meskipun sudah disediakan alat deteksi antibohong (ilustrasi 1) dan berusaha menghindar di balik kata-kata “lupa” tersebut? Belum tentu… yang sudah jelas adalah, mereka MENDADAK LUPA!
Tentang hukuman mati buat pelaku korupsi ini mungkin bisa diambil contoh dari China yang mulai menerapkan hukuman mati ini kepada koruptor ketika Perdana Menteri China Zhu Rongji mengucapkan sumpah di suatu hari di bulan Maret tahun 1998. Dia bersumpah untuk melenyapkan korupsi dengan jalan menyiapkan seratus peti mati di mana sembilan puluh sembilan untuk para koruptor dan satu buah peti untuk dirinya sendiri bila berbuat hal yang sama.
Apa hasil yang dicapai oleh kebijakan tersebut? China kini menjadi salah satu raksasa ekonomi di dunia dengan pertumbuhan ekonomi hingga 10 persen lebih. Selain China, mungkin Singapura dan Korea Selatan juga bisa dijadikan acuan karena kedua negara tetangga terdekat itu juga sukses memberantas korupsi. Malah, Singapura merupakan negara pertama yang membentuk Biro Penyidik Praktek Korupsi di tahun 1982 seperti yang nantinya dicontoh juga oleh Indonesia dengan KPK-nya.
Atau boleh juga mencontoh Hongkong dengan Independence Corruption Agains Commision-nya (ICAC) yang dibentuk tahun 1974, atau Malaysia dengan Badan Pencegah Rasua (BPR) sejak tahun 1967. Bagaimana dengan di Indonesia? Sampai tahun 2003 survey yang diadakan oleh Transparency International menunjukkan bahwa Indonesia masih menduduki peringkat 130 dari 136 negara terkorup dengan index 2.4 dan pada tahun 2007 survei mencakup 180 negara, di mana Indonesia berada di peringkat 145 dari 180 dengan indeks 2,3. Sedangkan pada tahun 2009 Indonesia menduduki posisi 111, hanya disayangkan bahwa IPK tersebut diluncurkan tanpa memperhitungkan kasus dugaan korupsi yang melibatkan KPK sendiri dan institusi POLRI. Untuk data lebih lanjut bisa dilihat di Indeks Persepsi Korupsi .
Pertanyaannya sekarang adalah, dapatkah pemimpin kita berlaku seperti Perdana Menteri China Zhu Rongji? Maukah pemimpin kita menyiapkan peti mati untuk para koruptor, selain itu juga peti mati untuknya? Sepertinya kita akan menjawab ragu-ragu bila melihat kenyataan selama ini di lapangan, karena yang terjadi justru sebaliknya dan KPK malah dilemahkan.
Sedangkan sang ‘peniup peluit’ Susno Duaji ditangkap, sementara kasus yang mencoba diungkapnya malah semakin kusut dan tak juga jelas statusnya hukumnya. Atau ada juga juga kasus suap di mana si penerima suap ditahan, sedangkan si pemberi suap meskipun akhirnya juga ditangkap malah diberi fasilitas mewah di penjara bak kamar hotel mewah berbintang. Masih banyak lagi contoh kasus korupsi yang malah dipetieskan dan pelakunya melenggang bebas di luaran.. dan masih banyak lagi, masih banyak lagi.. Sekarang yang terpenting dari yang penting lagi adalah, sanggupkah presiden SBY menjalankan perintah hukuman mati kepada pelaku korupsi tanpa pandang bulu?
Tentang hukuman mati terhadap koruptor ini sebenarnya beliau sudah membuka kemungkinan itu lewat perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dinyatakan Undang-Undang Nomor 20/2001 pasal 2 ayat 2 yang berbunyi: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Nah, mari kita tunggu saja pertunjukannya dan bukan sekedar pertunjukan “adegan curhat” yang selama ini kita saksikan. Lha jelas aneh, seorang presiden mengeluh kepada rakyatnya.. Sebelum curhatnya baru-baru ini tentang adanya ancaman pembunuhan dari teroris (?), dulu beliau ini malah pernah menyalahkan seekor kerbau tak berdosa yang dipaksa seseorang untuk ikut berdemo. Lho? Seekor kerbau tak pantas untuk ikut berdemo? Bagaimana kalau diganti dengan monyet saja yang memang sudah terbiasa mendemokan kebolehannya dalam pertunjukan Topeng Monyet?
Tapi sepertinya kita harus dipaksa maklum karena memang menjadi seorang pemimpin di sebuah negara besar adalah tidak mudah adanya. Apalagi dengan maraknya ledakan dan kebocoran tabung gas elpiji 3 kg / 12 kg yang merata hampir di pelosok negeri, bahaya terorisme, harga-harga yang terus merangkak naik, kasus banjir lumpur yang tak kunjung beres dan masih banyak lagi masalah-masalah lainnya yang perlu perhatian serius. Waaaah…. Bener juga nih bisa stress kalau nggak curhat.. Hanya ada yang aneh, kenapa curhatnya kok harus disampaikan ke rakyatnya?! Kenapa kok nggak curhat ke kalangan terbatas saja?
Hmm.., jadi teringat dengan kata-kata Parto di acara komedi Opera Van Java “Di sini gunung di sana gunung, dalangnya bingung yang nonton ikut bingung”. Mungkin karena karena penontonnya ikut bingung maka tiba-tiba muncul di situs pertemanan dunia maya, seorang anak bangsa yang kreatif (meskipun iseng) dengan membuat akun ber-nickname esbeye. Si empunya akun ini juga memasang foto profil presiden SBY dan memasang status dengan kata-kata yang intinya “ternyata puyeng juga jadi presiden.” Konyolnya, status curhat itu mendapatkan komentar dari para pimpinan negara-negara sahabat. Ah, suatu kreatifitas dari anak bangsa yang mengharukan..
Kembali ke hukuman mati buat tikus pengerat. GCN-ers, kalaupun seandainya ada yang tidak setuju dengan pelaksanaan hukuman mati buat koruptor karena itu dianggap melanggar HAM lah.., dianggap tidak sesuai dengan agama lah.., diaggap tidak pantas lah.. dan bla bla bla lah, mungkinkah ada alternatif lain yang agak mendingan untuk memberantas “hama” ini?
Saya jadi ingat bahwa dulu pernah ada – wacana pemakaian Baju Khusus Koruptor bagi pelaku tindak pidana korupsi dengan maksud membuat efek malu dan jera bagi pemakainya yang selama ini tampak wangi – necis – trendy seperti yang sudah disebutkan di atas. Bahkan beberapa tahun sebelumnya juga ada program penayangan wajah koruptor yang disiarkan TVRI setelah Berita Nasional pukul 19.00 wib. Lalu bagaimana kabarnya sekarang? Alih-alih program “mulia” itu berjalan, yang ada malah timbul kekhawatiran akan adanya peluang “proyek” baru dalam pembuatan baju tersebut. Jadi, proyek untuk pemberantasan korupsi pun rawan DIKORUPSI! Ah, sayang sekali…, padahal saya dulu sempat “tega hati” dengan membayangkan bagaimana seandainya Arthalyta yang cantik mulus itu berkaos oblong saja dengan tulisan KORUPTOR di punggung dan dadanya. Maaf ya, saya hanya bisa membayangkan Arthalyta yang cantik mulus itu memakai kaos seragam korupsi.. Bagaimana dengan Gayus? Aaaah…, dia sih dikasih kaos dari bahan karung goni saja...
Baiklah kalau begitu, ternyata program penayangan wajah koruptor di televisi itu juga tak berlangsung lama, dan program pemakain baju khusus koruptor pun mandeg entah nyangkut di mana. Alternatif lain yang “agak manusiawi” untuk menghindari ancaman hukuman mati mungkin begini. Bila seorang koruptor itu telah terbukti secara hukum dan siap dipidanakan, maka negara harus segera mengusut tuntas seluruh aset, rekening, tabungan dan semua hartanya atas nama si koruptor itu sendiri plus seluruh keluarganya dengan pembekuan minimal 10 tahun. Jadi semua harta atas nama pelaku, istri, dan anak bahkan orang tuanya sekalipun (ingat kasus Gayus yang menitipkan harta haramnya atas nama istri maupun keluarganya) harus dibekukan untuk diserahkan kepada negara selama 10 tahun sampai nanti benar-benar kerugian negara bisa dikembalikan.
Yang kedua adalah semua harta atas nama saudara kandung, saudara sepupu maupun kerabat juga harus dibekukan dalam jangka waktu tak terbatas lepas dari apakah itu terbukti terlibat atau tidak dengan si koruptor. Bila terbukti aset yang dimiliki berasal dari si pelaku korupsi, maka harus disita juga oleh negara. Terdengar kejam? Tapi lebih kejam mana dari hukuman mati? Mungkin. Tapi ini akan lebih menimbulkan efek jera atau bahkan membuat seseorang itu akan berpikir puluhan kali sebelum melakukan korupsi.
Kenapa begitu? Karena biarpun diancam hukuman matipun, si pelaku korupsi itu masih bisa “berpikiran positif” dengan mengatakan “aaaah… nggak papa deh gue mati, toh hasil korupsi ini bisa dinikmati sama anak-cucu..” Nah, dengan menyita harta semua kerabat yang berhubungan darah langsung ini diharapkan bisa menjadi pelajaran yang ampuh dan sunguh-sungguh menimbulkan efek ngeri bagi calon pelaku korupsi.
Siapa yang nggak ngeri bila dia melakukan korupsi 10 milyar tapi nantinya aset keluarga yang berhubungan darah secara langsung akan disita oleh negara sebesar 100 milyar?? Lagipula, siapa juga yang mau dari salah satu keluarga itu ikut-ikutan menanggung dosa yang tidak mereka lakukan? Terbayang kah apa yang akan terjadi pada keluarga Arthalyta dan Gayus atau siapapun itu bila cara ini dijalankan? “Enak aja loe yang korupsi, gue kena ciduk juga..”, mungkin begitulah kira-kira mereka menggerutu.
Tapi, sistim yang “agak manusiawi” ini bukannya tidak mempunyai kelemahan apabila disangkutkan dengan (lagi-lagi) mahluk yang bernama HAM. Iya dong, pastinya mereka akan menuduh bahwa itu melanggar HAM karena sama saja “mematikan” rejeki orang lain ( baca: keluarga si koruptor). Kelemahan kedua adalah bila kebijakan tersebut malah disalahgunakan oleh si pelaku korupsi yang mempunyai dendam ke keluarganya dengan berpikiran, “toh gue udah kenyang korup dan cukup puas selama ini, biarin juga mereka juga ikut mampus..” Wah, repot juga ya?!
GCN’ers, dari hukuman yang pantas buat para koruptor tersebut di atas mungkin ada yang setuju dengan hukuman kurungan “hanya” seumur hidup. Memang jika dibandingkan dengan hukuman mati atau hukuman pembekuan rekening keluarga si koruptor, kelihatannya hukuman seumur hidup masih agak tampak lebih “manusiawi”. Tapi tunggu dulu. Apakah pemerintah kita juga sudah siap dengan menyediakan fasilitas sel-sel bagi mereka, apalagi dalam jangka waktu seumur hidup? Ah, lagi-lagi susah juga.. Nanti malah jangan-jangan urusan kurung-mengurung di sel ini dibisniskan pulak! Atau sudah? Wah, kalau begini kapan dong kita bisa lepas dari yang namanya korupsi, kolusi dan nepotisme?
Akhirnya kita hanya bisa berharap dengan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi ini dari seluruh sendi bangsa tanpa pandang bulu atau tebang pilih. Yang tak kalah penting adalah, mencegah terciptanya peluang-peluang untuk berkorupsi dan menanamkan budaya malu bahwa korupsi itu DOSA Jika semua itu tercapai, tidaklah mustahil Indonesia kelak akan bisa menduduki peringkat, yaaah… jangan muluk-muluk dulu deh, paling tidak 10 besar negara terbersih dari korupsi menurut survey Transparency International. Amin.
PS: Bagi yang membaca artikel ini selagi jam kantor, ingat ya… tindakan Anda ini juga termasuk korupsi lho, yaitu korupsi waktu. Hahaha..!
Salam Semangat!
Artikel terkait:
Bertemu KPK di Den Haag: Bambang Widjojanto Tak Boleh Bawa Istri
Mendingan Mana, Korupsi atau Prostitusi?
{backbutton}