Catatan: Terima kasih kepada Pak Jimmy Frismandana atas apresiasinya. Tulisan Jimmy Frismandana Kudo (seorang guru Sejarah) ini, dimuat di Harian Riau Pos, 1 Maret 2015. Tulisan ini adalah review/resensi atas buku "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan" karya Walentina Waluyanti de Jonge. Isi buku ini juga dibahas oleh Guru Besar sejarah Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan, dimuat di Harian Kompas, klik Membongkar Mitos "Proklamator Paksaan"

Dwitunggal Soekarno-Hatta

Penulis: Jimmy Frismandana Kudo - Pekanbaru

Mendengar dua nama yakni Sukarno dan Hatta maka tidak dapat diragukan lagi bahwa kedua tokoh besar bangsa Indonesia ini memiliki andil besar dan kiprah luar biasa dalam sejarah panjang perjuangan membebaskan ibu pertiwi Indonesia dari belenggu kolonialisme. Kedua Bapak Bangsa dengan keunikan karakter masing-masing ini telah membawa Indonesia menuju kemerdekaannya yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 tepat pada saat bulan Ramadan berlangsung. Kedua manusia fenomenal ini sejak dari usia muda telah memikirkan secara matang untuk mewujudkan cita-cita besar agar Sang Saka Merah Putih berkibar dari Sabang sampai dengan Merauke. Cita-cita mulia ini tentu membutuhkan perjalanan panjang yang berliku sampai pada akhirnya Indonesia merdeka.

riau 01web

Foto: Dwitunggal Bung Hatta dan Bung Karno, 1945.

Dalam perjalanannya, Sukarno Hatta tidak dapat dipisahkan seperti persahabatan yang sudah diikat tali mati sehingga hanya maut saja yang dapat memisahkan mereka berdua. Maka, benar kiranya jika Sukarno Hatta disebut dengan dwitunggal. Kekhasan karakter masing-masing juga turut mewarnai hubungan mereka termasuk jurang-jurang perbedaan pemikiran mereka berdua yang dalam titik tertentu justru saling menguatkan persahabatan mendalam Sukarno Hatta.

DSC 0270 1

Foto: Putri Bung Hatta, Halida Hatta dan Walentina Waluyanti de Jonge pada acara bedah buku "Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan" untuk memperingati 113 tahun Bung Hatta di Bukittinggi, 12 Agustus 2015.

walentina06

Foto: Buya Syafii Maarif menerima buku “Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan” dari penulis Walentina Waluyanti de Jonge di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 21 Agustus 2015.

Buku "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan" karya  Walentina Waluyanti de Jonge ini merupakan buku yang sangat luar biasa hebat dan wajib dimiliki oleh siapapun yang mencintai dwitunggal Sukarno Hatta. Sehingga kita semua sebagai generasi emas penerus negeri ini dapat meneladani karakter dan perjuangan Sukarno Hatta yang sampai detik ini selalu relevan untuk dimaknai sepenuh jiwa dan dihayati sepenuh hati.

Buku dengan kata pengantar dari sejarawan Uiniversitas Indonesia, Dr. Peter Kasenda ini terdiri dari 5 bab berisi 70 judul kisah (tebal 610 hal.) ini, begitu kaya dengan kedalaman informasi bagi para pecinta sejarah terutama sejarah dwitunggal Sukarno Hatta.

riau 02web

Buku “Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan” karya Walentina Waluyanti de Jonge (Foto: Twitter MarcoNiee_23)

Sukarno identik dengan nation and character building sehingga selalu menekankan kepada pentingnya nilai karakter pada setiap insan. Hal tersebut salah satunya didapat Bung Karno dari Profesor Klapper sewaktu ia kuliah teknik. Ada satu kalimat yang tak pernah dilupakan Bung Karno (hlm.7), "Ir. Sukarno, ijazah ini dapat robek dan hancur menjadi abu di satu saat. Ia tidak kekal. Ingatlah bahwa satu-satunya kekuatan yang bisa hidup terus dan kekal adalah karakter dari seseorang. Ia akan tetap hidup dalam hati rakyat, sekalipun sudah mati.”

Pertengahan tahun 1950-an merupakan periode hubungan Sukarno Hatta menjadi retak sehingga akhirnya Bung Hatta, pecinta buku kelas wahid, mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI karena melihat sahabat seperjuangannya ini sudah mulai melenceng dari roh demokrasi itu sendiri. Bahkan, ketika Bung Karno mendekati Rahmi, istri Bung Hatta agar mau membujuknya untuk menjadi Wapres RI lagi, permintaan tersebut tak dapat dikabulkannya karena Rahmi memahami betul keteguhan prinsip suami tercintanya. Rahmi mengatakan (hlm. 528), “Sebagai seorang istri saya sepenuhnya dapat memahami prinsip suami saya itu. Berkat pengalaman hidup bersama bertahun-tahun, keyakinan saya terhadap prinsip Bung Hatta makin besar pula. Prinsip itu juga yang menyadarkan saya agar saya tidak perlu menghalangi sikapnya ketika Bung Hatta berniat untuk meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.”

Bung Karno dan Bung Hatta sama-sama telah meletakkan tinta emas yang selalu kekal abadi sepanjang perjalanan negara Indonesia tercinta ini. Bung Karno, sang orator ulung, dengan pleidoinya yang sangat terkenal Indonesia Menggugat dan Bung Hatta, sang ekonom handal, dengan pleidoinya yang maha dahsyat Indonesia Merdeka telah menyadarkan masyarakat Indonesia saat itu untuk segera dengan strategi matang serta taktik penuh perhitungan untuk menuju Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil, dan makmur sesuai dengan esensi dan hakekat murni dari kemerdekaan itu sendiri.

Keduanya juga saling memuji dalam hal perjuangan menuju kemerdekaan. Pada tahun 1943, ada kalimat yang dilontarkan keduanya yang sangat indah sekali karena satu sama lain saling memahami kehebatan masing-masing. Kata Hatta pada Sukarno (hlm. 222), “Jelas, kekuatan Bung adalah menggerakkan massa. Jadi, Bung harus bekerja secara terang-terangan.” Bung Karno menjawab, “Betul. Dan Bung Hatta mendampingi saya. Bung Hatta terlalu terkenal untuk bisa bekerja di bawah tanah.”

Satu hal yang dapat kita contoh termasuk dipahami oleh para elit dan para pejabat yang memegang amanah masyarakat Indonesia ini adalah dari naik turun dan panas dingin hubungan dua anak manusia sensasional ini adalah persahabatan mereka sangat erat walaupun perbedaan pemikiran politik di antara dwitunggal ini juga begitu nyata. Bung Karno dan Bung Hatta sangat paham bahwa politik adalah politik dan persahabatan tetap persahabatan.

riau 03web

Foto: Bung Hatta dan Bung Karno di Kaliurang, Yogyakarta.

Sejarah adalah saksi bisu. Dwitunggal Sukarno Hatta bukan dewa sehingga masing-masing juga tidak luput dari kesalahan dan cela. Politik terkadang dalam beberapa hal memang terasa kaku dan arogan. Namun, satu hal yang pasti adalah sahabat dan persahabatan tidak bisa dan tidak akan pernah bisa untuk dipolitikkan. Keduanya merupakan dua hal yang amat berbeda. Persahabatan dwitunggal ini kalau kita mau jujur sangat sulit untuk dicari pada perpolitikan nasional dewasa ini yang mementingkan politik di atas segalanya sehingga hubungan pribadi dan pertemanan yang awalnya baik menjadi hancur berantakan karena perkara politik.

Menutup tulisan ini, penulis ingin sekali untuk mengutip kalimat panjang dari maha karya Walentina Waluyanti de Jonge ini perihal dwitunggal Sukarno Hatta yang dalam banyak hal berbeda tetapi pada akhirnya dapat mewujudkan persatuan Indonesia. Gabungan sifat yang berbeda antara Sukarno dan Hatta ini (hlm. 530) justru banyak dipercaya sebagai kolaborasi komplet yang menguntungkan langkah-langkah meraih cita-cita kemerdekaan yang dibutuhkan Indonesia pada zamannya. Yang menarik, meski keduanya berbeda bagai siang dan malam, namun di dalam perbedaan justru keduanya bisa menciptakan persatuan nasional yang akhirnya membawa kepada kemerdekaan. Keduanya bagaikan pengejawantahan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tetapi satu, dan bisa mempersatukan. Hormat kita semua setinggi-tingginya pada dwitunggal Sukarno Hatta! Merdeka!*** (Penulis: Jimmy Frismandana Kudo, Guru Sejarah dan PPKN SMA Darma Yudha, Pekanbaru This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.)

Catatan Walentina: Review buku Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan, juga ditulis Guru Besar sejarah Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan, dimuat di Harian Kompas (foto di bawah), klik berikut ini: Membongkar Mitos "Proklamator Paksaan".

review2

Foto: Resensi di Harian Kompas yang ditulis Guru Besar Sejarah Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan, tentang buku Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan, karya Walentina Waluyanti de Jonge (Foto: Dr. Baskara T. Wardaya)

Artikel terkait: Serunya Sukarno Hatta

 

{backbutton}

Add comment