Tukang Becak dan Kawin Lari di Makassar
By Walentina Waluyanti
Ingatanku tentang peristiwa itu tak terlupakan. Selain menulis, aku memang senang melukis. Namun lukisan karyaku sebagai illustrasi di tulisan ini, bukanlah sekadar karya iseng. Saat aku menyapu kanvas dengan kwas berlumur cat acrylic, menyelesaikan lukisan “Tukang Becak Makassar” di bawah ini, peristiwa itu membayang kembali. Ada kisah di baliknya yang akan kuceritakan kepadamu…
Painting "Becak of Makassar" by Walentina Waluyanti (Don't print without permission)
Saat itu aku masih duduk di SD. Ketika masih kecil di Makassar, aku sering ke sekolah naik becak langgananku. Di Makassar, tukang becak biasa disapa dengan panggilan “Daeng”.
Seperti biasa, hari itu aku menumpang becak Daeng Tola’. Ia mengayuh dengan riang, sambil bersiul-siul. Namun keceriaannya sekonyong-konyong terhenti. Kurasakan hentakan rem yang keras. Becak berhenti sangat mendadak. Aku sangat terkejut melihat apa yang kemudian terjadi. Begitu becak berhenti, tak ada angin, tak ada hujan, Daeng Tola’ lari sekencang-kencangnya seperti dikejar setan. Ia lari secepat kilat memasuki halaman rumah orang. Sempat kulihat ia melemparkan pecinya ke halaman rumah itu, sebelum akhirnya menerobos masuk melewati pintu pagar.
Aku terlongo-longo melihat kelakuan Daeng Tola’. Ada apa? Mengapa ia berlari pucat seakan baru bertemu hantu? Mengapa ditinggalkannya aku di becak begitu saja? Daeng Tola’, istri dan anak-anaknya, sudah akrab dengan keluarga kami.. Karenanya, tingkah Daeng Tola’ di hari itu sungguh ganjil. Apa yang sebenarnya terjadi?
Belakangan baru aku tahu dari cerita ibu, bahwa Daeng Tola’ menikahi istrinya dengan cara “kawin lari”, atau di Makassar disebut “silariang”. Kawin lari biasanya dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai, namun tak bisa menikah karena tak direstui orangtua. Dalam kasus Daeng Tola’, ia tak mendapat restu orangtua dari gadis pujaannya, karena tak mampu memberi uang mahar sesuai jumlah yang diminta.
Sesuai adat Makassar, pria yang ingin menikahi seorang perempuan, harus memberi uang mahar yang disebut uang panai’. Dan ketika itu Daeng Tola’ tidak mampu menyerahkan uang mahar yang diminta oleh keluarga calon istrinya. Karena tak mampu membayar uang mahar, maka Daeng Tola’ pun melarikan gadis yang dicintainya itu. Sampai mempunyai beberapa anak pun, istri Daeng Tola’ tetap tak berani kembali ke orangtuanya, karena ia dianggap telah melanggar kesucian adat.
Saat Daeng Tola’ lari terbirit-birit meninggalkanku di becak, belakangan baru aku mengerti. Rupanya Daeng Tola’ melihat seseorang, saudara laki-laki dari istrinya di kejauhan, tampaknya menuju ke arahnya. Pria itu membawa badik terhunus. Karena itu Daeng Tola’ yang merasa nyawanya terancam, segera lari, masuk ke halaman rumah orang. Karena menurut adat Makassar, orang yang sudah lari ke halaman rumah orang, artinya orang itu sudah minta perlindungan. Dan orang yang sudah berada di bawah perlindungan, tidak boleh dibunuh. Juga Daeng Tola’ sempat melemparkan pecinya ke halaman, karena jika peci itu sudah berada di halaman rumah orang, itu artinya simbol bahwa Daeng Tola’ telah memasuki teritori perlindungan. Dan ini artinya ia jangan dibunuh.
Demikianlah, adat yang keras ini juga punya aturan, tidak sembarangan melakukan kekerasan begitu saja. Bahkan jika seorang ingin menghunus badiknya, ini tidak boleh dilakukan dari arah belakang. Menikam dari belakang, bagi orang Makassar adalah cara keji dan pengecut yang pantang dilakukan. Pria itu ingin membunuh Daeng Tola’, karena menurut adat yang dipahaminya, begitulah cara menegakkan harga diri, orang Makassar menyebutnya siri’.
Daeng Tola’ harus menerima konsekuensi. Karena ia berani melanggar aturan adat, membawa lari anak gadis orang (yang lalu menjadi istrinya), maka ia harus menerima hukuman. Ini berarti penghinaan bagi keluarga si gadis. Karena itu Daeng Tola’ selalu waspada, setiap saat ia bisa saja mati terkena tikaman badik. Namun satu hal yang jelas, ia tak akan pernah ditikam dari arah belakang, karena ini melanggar adat.
Peristiwa ini sangat berkesan buatku. Nuansa adat yang terkesan begitu keras, namun toh tetap harus memegang aturan main yang tegas, pantang untuk dilanggar. Soal aturan adat dan harga diri yang harus ditegakkan, soal pengorbanan demi memperjuangkan cinta, mengaduk-aduk perasaanku. Saat itu, baru aku tahu, bahwa banyak masyarakat kecil, seperti tukang becak yang terpaksa harus melakukan silariang (kawin lari), karena tak mampu membayar uang mahar.
Seiring dengan perkembangan zaman, tampaknya penegakan aturan adat dengan menggunakan “bahasa badik”, sudah tidak lagi segarang dulu. Masyarakat yang sudah melek hukum, membuat penegakan aturan adat perlahan-lahan tergeser, tergantikan oleh penegakan aturan hukum positif.
Penulis: Walentina Waluyanti
{backbutton}