Tips Menulis ala Walentina

Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

*) Catatan penulis: Tulisan ini adalah jawaban untuk beberapa email yang masuk, yang hampir semuanya senada. Yaitu meminta saya membuat artikel tentang tips menulis.

Kebiasaan menulis bisa timbul dari kebiasaan merenung. Meresapi apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Reaksi berikutnya, pikiran saya melompat-lompat liar. Seolah semua ide ingin keluar mendesak rongga kepala. Sayang rasanya kalau pikiran itu dibiarkan mengawang-awang. Biasanya yang meronta-ronta di dalam pikiran itu, membuat saya gelisah. Jiwa yang gelisah seakan memanggil-manggil... Menulisl! Menulis!

tips-1-web

Saya memulai mengetik kata pertama yang ada di kepala. Kalau kurang menarik yaa.....biar saja. Toh kalau sudah selesai menuangkan unek-unek, nanti saya masih bisa koreksi sana-sini. 

Buat saya menulis itu sama dengan dialog dengan pembaca. Cuma dialog itu saya sampaikan dalam bahasa tulisan. Dan apa yang paling saya utamakan ketika mulai menulis?

Yang paling saya nomor-satukan, pertama-tama saya selalu menanamkan di pikiran bahwa pembaca atau orang yang saya ajak berdialog itu adalah orang cerdas. Bahkan saya tidak peduli dengan pendapat yang mengatakan banyak pembaca yang masih bodoh dan malas membaca. Pikiran ini saya buang jauh-jauh ketika menulis. Jangan sekali-sekali memulai tulisan dengan sikap merendahkan pembaca. Ini malah bisa mempengaruhi kualitas tulisan penulisnya sendiri.

Ketika menulis, yang perlu saya ingat adalah tulisan saya dibuat atas dasar dialog dengan pembaca cerdas, kritis dan tahu apa saja. Tidak peduli siapapun pembaca itu. Akhir-akhir ini banyak media terjebak dengan jargon “menjadi media yang cerdas”. Saya percaya pada idealisme di balik kalimat itu. Maksudnya tentu positif. Namun sayang, dalam perkembangannya jargon itu membuat media cenderung menjadi arogan dan monolog. Anda tentu paham apa beda monolog dan dialog.

Saya pikir, di jaman teknologi informasi ini, sudah saatnya jargon “media cerdas” diganti menjadi “jadilah media untuk pembaca yang cerdas”. Saya tidak perlu menjawab pertanyaan jahil, bagaimana dengan pembaca bodoh? Untuk menjawab pertanyaan jahil ini, saya kuatir jawaban saya juga menjadi jahil. Jawaban jahilnya, yaitu yakinlah...ketika orang membaca tulisan anda, maka semua orang pasti akan menjadi cerdas......

tips 7 web

Penulis Walentina Waluyanti dan Menlu Retno Marsudi. Di latar belakang berbaju batik, tampak suami Ibu Retno Marsudi. (Foto: koleksi pribadi)

Dulu, sebelum hadirnya teknologi informasi, media dan penulis bisa saja  merasa yang paling tahu segalanya. Dan pembaca cuma pasif menerima. Tapi sekarang keadaan sudah berbeda. Bukan saatnya lagi media dan penulis meng-klaim bahwa dirinya-lah yang cerdas, dan pembaca mesti menyimak. Sekarang saatnya media dan penulis harus membalik dalil itu menjadi “pembaca-lah yang cerdas” karena itu media dan penulis perlu terus berpacu meningkatkan diri tanpa cepat berpuas diri.

Ketika menulis, saya cuma merasa berdialog dengan pembaca dalam bahasa sendiri. Ngobrol biasa saja. Santai. Selama dialog itu saya tidak boleh lupa, pembaca tulisan saya adalah orang-orang kritis.

Nah, pada saat kita menghargai pembaca, secara otomatis akan tergerak untuk membuat tulisan seakan berdebat dengan orang pandai. Dengan sendirinya segala elemen yang diperlukan untuk mempersembahkan sebuah tulisan, juga akan menjadi fokus utama. Baik itu dari segi keakuratan, etika,  teknik penulisan, struktur, bangunan kisah, logika, ejaan, penggunaan bahasa, dan unsur lainnya.

Resep pertama, dan yang paling esensial, jangan pernah pandang enteng pembaca. Kalau penulis mulai pandang enteng pembaca, maka tulisannya menjadi tidak kritis. Jika penulis berpikir bahwa pembaca itu bodoh, maka tanpa sadar penulis itu membuat tulisannya sekelas dengan kelas pembaca yang “dipikirnya bodoh”.

Resep kedua, selalu berpikir bahwa tema apapun yang ditulis, pasti tema itu sudah pernah dibaca orang.  Jangan pernah berpikir bahwa yang kita tulis itu tidak pernah diketahui orang lain. Kalau penulis berpikir bahwa yang ditulisnya itu adalah hal yang tidak pernah diketahui pembaca, maka itu adalah awal sikap sombong dan takabur.

Secara bercanda, saya sering bilang sombong itu sebagian dari iman. Siapa sih yang tidak pernah sombong? Namun ketika menulis, saya tendang makhluk laknat yang bernama sombong itu jauh-jauh.

tips-3-web

Saat menulis, saya tendang makhluk laknat yang bernama sombong itu jauh-jauh. (Selesai nulis sombong lagi ?)

Memangnya kenapa kalau takabur dan sombong? Alasan untuk tidak sombong dan takabur, tidak muluk-muluk. Masalahnya, takabur bisa membuat penulis kehilangan sendi penting dalam menulis. Sendi itu adalah kendali dan fokus. Bagaimanapun juga, hanya dengan sikap rendah hati dan hati-hati, penulis bisa tetap menjaga keseimbangan, kendali dan fokus. Tanpa ini, tulisan bisa terkesan mentah.

Ingat, sekarang jaman di mana informasi tak lagi bisa dibendung. Itu sebabnya mengherankan membaca berita beberapa waktu lalu. Tentang profesor asal Indonesia kok bisa lalai menghasilkan karya jiplakan. Penulis yang lalai melakukan hal itu, disadari atau tidak, adalah refleksi sikap kurang menghargai pembaca. Seakan belum percaya di jaman ini pembaca bisa dengan cepat mendeteksi segalanya. Informasi apapun akan dengan cepat menjalar, secepat jalaran api yang tersiram bensin.

Walaupun sebuah tema sudah banyak dibaca orang lain, tidak berarti bahwa penulis tidak bisa menyajikannya dari sudut pandangnya sendiri. Kita kenal ada banyak penulis yang dengan orisinalitas dan keunikannya, toh bisa menampilkan tema yang sudah disajikan ribuan kali dengan kesan “fresh”.

Dengan berpikir bahwa tema yang kita tulis itu pasti juga sudah diketahui orang lain, maka itu akan menjadi pendulum bagi penulis untuk bertanggung jawab, hati-hati,  rendah hati serta terkendali.

Ketika penulis mempublikasikan tulisannya, maka penulis itu sudah memasuki ranah publik.

Ini artinya mau tidak mau, konsekuensinya adalah  penulis mesti mengakui nilai-nilai yang berlaku di dalam ranah publik, di antaranya tanggung jawab.

Seluruh dunia boleh saja melecehkan tulisan anda. Tidak apa-apa. Tenang saja. Tapi anda berhak marah jika ada satu hal yang dilecehkan, yaitu prinsip sebagai penulis yang bertanggung-jawab. Bak ksatria dengan pedang di pinggang,  “tanggung jawab” adalah samurai penulis.

Seberapapun sederhananya tulisan itu, hargailah tulisan anda sendiri sebagaimana anda menghargai sebuah karya ilmiah dengan berpegang pada sikap ksatria, “tanggung jawab adalah pedang-ku”. Alasannya sangat rasional. Bukan emosional. Tanggung jawab itu fitrah manusia.

Bagaimanapun ecek-eceknya tulisan kita di mata orang, tapi satu hal yang tidak boleh dilepaskan, lagi-lagi...tanggung jawab. Bukan dalam arti sempit seperti mempertanggungjawabkan tulisan pada dewan penguji, tapi dalam arti luas yaitu tanggung jawab pada nurani. Konsekuensinya, penulis mesti memperhatikan segi keakuratan dan segi etika. Juga imbang dan  netral. Kalaupun mesti berpihak, jangan sampai berpihak pada yang tiran dan jelas-jelas korup.

tips-4-web

Penulis tidak perlu latah jadi antagonis hanya karena ingin gagah-gagahan.

Kadang situasi membuat keberpihakan menjadi tak terhindarkan.  Jika demikian situasinya, penulis tidak perlu “gengsi”  berpihak pada kebaikan. Juga tidak perlu menjadi tokoh antagonis hanya karena ingin tampil beda dan gagah-gagahan.

Kadang penulis membuat hal manusiawi yaitu kekeliruan. Jika toh demikian, penulis yang bertanggung-jawab tahu betul bahwa itu karena khilaf semata. Bukan karena sengaja  ingin menyesatkan. Dan kalau pun itu terjadi, penulisnya sebaiknya dengan jantan (walaupun penulisnya perempuan), mau mengakui kesalahannya.

Penulis tentu saja bukan orang suci. Tapi setidaknya jangan sampai tuli terhadap bisikan antara “ya” dan “tidak”, antara “baik” dan “jahat” di dalam nuraninya. Kalaupun misalnya penulis itu bajingan, jangan sampai mengajak orang lain bajingan seperti dirinya. Bagaimanapun, tanggung jawab moral ketika memasuki ranah publik tetap harus dijunjung tinggi. Penulis yang mengabaikan tanggung jawab, akan menerima konsekuensinya. Sekali lagi, pembaca bukan orang bodoh.

Resep ketiga, tentu saja semua orang tahu, yaitu banyak membaca. Sebanyak mungkin. Yang sangat penting adalah membaca bacaan bermutu. Penting, karena penulis yang dibesarkan oleh bacaan bermutu akan sangat menentukan karakter penulis dan karakter tulisannya. Karakter tulisan akan sangat menentukan mutu tulisan. Yang jelas, membaca adalah syarat mutlak yang harus rajin dilakukan oleh penulis manapun. Dengan membaca bukan saja mengenyangkan jiwa, tapi juga meluaskan wawasan. Bukankah menulis itu pada dasarnya adalah meng-kaji sesuatu dengan bersandar pada wawasan?

tips-5-web

Buku koleksi Bung Karno: Bahasa Perancis, Belanda, Inggris (Sumber foto: Detik.com)

Tentang resep membaca ini, saya tertarik dengan resep Bung Karno. Cara Bung Karno membaca yaitu dengan menyerap substansi bacaannya. Bukan sekedar mengingat, menghafal dan membeberkan fakta, kejadian, data, nama-nama, angka-angka tanpa menangkap jiwa tulisan. Bagi Bung Karno bacaan bukan sekedar referensi dan sumber data, tapi juga lebih dari itu, mempunyai roh dan jiwa yang mampu ditangkapnya.

Sesudah mencerna esensi bacaan, di alam fantasi dan alam pikirnya diajaknya buku itu berdebat.  Itu sebabnya bukunya tidak pernah “selamat”. Menjadi kumal, dan penuh coretan di sana-sini. Digarisbawahinya hal-hal yang penting dan menarik. Lalu ditambahinya catatannya sendiri.

Kebiasaan itu sudah dimulainya ketika masih pelajar. Padahal tak jarang buku itu bukan bukunya sendiri. Kadang buku itu adalah buku pinjaman yang baru dibeli temannya, bahkan temannya ini belum sempat membaca bukunya sendiri. Ketika buku itu sudah babak belur, barulah buku itu dikembalikannya pada si pemilik buku. Kebiasaan membaca Bung Karno ini tidak ada salahnya ditiru. Maksudnya bukan mau meniru kebiasaan Bung Karno yang bikin buku pinjaman babak belur...hehehehehe.....

Kebiasaan membaca Bung Karno itu memberi saya pelajaran tentang bagaimana memperdebatkan these yang menghasilkan antithese. Pertentangan antara these dan antithese ini kemudian melahirkan synthese. Dari proses antara these, antithese yang bermuara pada synthese itulah lahir maha karya Bung Karno yang disebut Marhaenisme yang dijabarkannya dalam tulisannya.

tips-6-web

Bung Karno juga adalah seorang penulis andal.

Ajaran penting Bung Karno itu memang lahir dari pergulatannya dan pertentangannya terhadap ajaran Marxisme dari buku Karl Marx “Das Kapital” yang dibacanya.

Masih banyak soal teknis lainnya tentang cara menulis, yang terlalu panjang untuk dibahas dalam satu tulisan ini saja.

Tentu saja apapun resep menulis yang anda terima, yang paling penting adalah “be yourself'.

Bercerita dalam gaya bahasa sendiri, tanpa meniru gaya orang lain, selalu akan membuat karya lebih hidup. Soal berbobot atau tidak berbobot, biarlah serahkan penilaian itu pada pembaca. Yang jelas, apapun gaya anda, sekali lagi, “jangan sekali-sekali meremehkan pembaca”.

Baca juga, silakan klik:

Cara Memulai Tulisan

KOMPAS TV Bertamu ke Rumahku

Walentina Waluyanti

Nederland, 17 Maret 2010

{backbutton}

Add comment