Tak Perlu Minder seperti Kuli di Zaman Penjajahan

Oleh: Walentina Waluyanti

Sekian lama menjadi budak dan kuli di alam kolonialisme, memengaruhi mentalitas generasi turun-temurun. Pernah ada suatu masa, budak tak boleh mengucapkan kata “saya”. Sebagai pengganti kata “saya”, seorang yang lebih rendah kedudukannya mengatakan “kelom tuan” kepada tuannya. Kelom adalah sandal kayu, untuk menyebut kata “saya”. Juga pengganti kata “saya” ini sering digunakan kata “hamba”, artinya pelayan atau budak. Kata “saya” hanya boleh diucapkan dengan tegas oleh yang lebih tinggi kedudukannya terhadap kaum yang lebih rendah.

Menjadi bangsa yang sekian lama diperbudak, merupakan kenyataan dari perjalanan sejarah. Lukanya tertoreh dalam. Bangsa yang tadinya berbudaya tinggi, akhirnya menjadi terhinakan, akibat sekian lama hidup di bawah penjajahan.

Bagaimana mental seseorang bisa berubah total setelah ia menjadi kuli, dan akhirnya menjadi sangat minder dan rendah diri, digambarkan dengan pilu di dalam buku “Koelie” karya M.H. Szekely-Lulofs (1899-1958). Penulis buku ini lahir di Surabaya, keturunan Belanda, adalah seorang jurnalis dan novelis.

Foto-Koelie-ww-web

Foto: Buku “Koelie”

Buku terbitan tahun 1932 ini saya dapatkan dari toko yang menjual buku-buku antik di Belanda. Isinya memberi gambaran tentang kondisi kuli kontrak. Mereka hidup sengsara tak berkesudahan. Istilah “koelie” di masa kolonialisme merujuk pada pekerja kontrak, namun dalam prakteknya tak lebih dari bentuk lain dari perbudakan.

Budak tidak boleh bicara kalau tidak ditanya. Ia tidak punya pendapat. Dan memang tidak boleh berpendapat. Ia hanya berdiri menunggu perintah, dan melaksanakan perintah. Jangan berani bicara kalau tidak ditanya. Seorang budak tidak bisa dan tidak berhak mengucapkan kalimat, “Saya ingin itu…”  atau  “Saya mau ini…” 

Di dalam buku “Koelie” terdeskripsi, bagaimana kuli tidak boleh punya keinginan dan kemauan. Hanya baru mau memulai kalimat “Saya ingin… “, belum selesai kalimat itu, sang kuli sudah kena tampar dari mandor. “Apa kamu bilang? Kamu mau apa? Lancang! Jangan pernah mengucapkan kata itu lagi.” Jangan bicara kalau tidak ditanya, adalah doktrin yang harus diingat oleh budak.

Mandor dan centeng-centeng pribumi dari tuan besar perkebunan berusaha cari muka ke tuannya, dengan menunjukkan bahwa mereka adalah mandor dan centeng yang tegas. Dengan begitu mereka tetap bisa mempertahankan pekerjaannya. Para centeng dan mandor ini tak segan memakai cara kekerasan terhadap kuli yang dianggap tidak tahu diri. Sikap tidak tahu diri misalnya berusaha meminta apa yang dibutuhkan. Bahkan walaupun yang diinginkan itu hanyalah hal yang sangat mendasar sebagai manusia. Misalnya kuli yang minta izin ingin mencari pendamping hidup, setelah sekian lama tinggal melajang di barak khusus untuk para kuli. Seorang kuli tidak bisa memilih kapan ia bisa memilih pasangan hidup. Bahkan tidak bisa menentukan jika ingin menikah. Jika pun si kuli akhirnya mendapatkan pasangan hidup, itupun karena ditentukan oleh mandor.

Mandor hanya menunjuk seorang kuli wanita, “Hey! Kamu sudah bekerja selama sekian tahun, sekarang kamu boleh ikut laki-laki ini.” Dan tanpa bisa menolak, kedua kuli itu, akhirnya boleh tinggal bersama di sebuah barak kayu sederhana. Tidak ada upacara pernikahan apalagi pesta sekadar merayakan berkumpulnya dua sejoli itu. Mereka hanya punya satu dua helai baju. Upah mereka untuk makan sekadarnya pun tak cukup. Bahkan memiliki bantal pun menjadi kebutuhan paling mewah yang pernah diraih. Dan kejadian yang digambarkan oleh Szekely-Lulofs ini terus berlangsung hingga awal abad ke-20.

Pilunya kondisi di yang digambarkan di buku “Koelie” itu berlangsung sekian lama sehingga pengaruhnya membentuk mental kaum pribumi, \hingga akhirnya rasa percaya diri itu terkikis.

Di dalam konteks kekinian, luka-luka penuh kekerasan sebagai bangsa yang pernah terjajah, apakah masih nampak bekasnya?

Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang punya budaya rendah hati, jangan suka menonjolkan diri. Ini tidak salah. Namun kadang dilakukan terlalu berlebihan. Akibatnya “rendah hati” sering kebablasan menjadi “rendah diri”. Sehingga jika ada orang yang terkesan punya prinsip dan punya percaya diri yang besar, maka orang itu akan dicap “sok”.

Yang lucu, di Belanda saya pernah mendengar seorang Belanda berkata, Sukarno pasti berdarah campuran Eropa, itu sebabnya percaya dirinya kuat seperti orang Eropa. Ini menurut dugaannya. Sampai sekarang banyak orang Belanda mengira, bahwa karakter Sukarno bisa demikian karena pernah mengenyam pendidikan di Belanda. Padahal kenyataannya tidak demikian.

Sifat-sifat positif dari kerendah-hatian orang pribumi di masa kolonialisme, malah kadang jadi termanipulasi. Karena sifat rendah-hati orang Indonesia, ini malah menguntungkan pihak penjajah. Soalnya kerendah-hatian orang Indonesia, membuat ego superioritas Eropa tidak merasa terancam. Malah bertambah kokoh.  

Orang yang punya rasa percaya diri yang besar, diterjemahkan sebagai sikap kesombongan, Percaya diri berarti sombong (?), dan ini dianggap mengundang persaingan, bagi kaum yang lebih tinggi kedudukannya. Di zaman penjajahan, ini dianggap sebagai kelancangan jika ada kaum budak yang berani menunjukkan sikap percaya diri kepada kalangan yang “lebih tinggi”.

Buku “Koelie” yang saya baca itu, membawa saya kepada suatu gambaran. Bahwa kaum budak yang terus-menerus direndahkan, akhirnya percaya, bahwa mereka memang hina, tidak sederajat, dan tidak pantas bersikap percaya diri seperti tuannya. Mereka percaya bahwa mereka hina, karena sering dihardik, “Kowe ini siapa?”

Akhirnya mentalitas di atas terbentuk turun-temurun, dengan selalu berpikir, “Ya, siapa sih saya ini?” Mereka percaya bahwa mereka tak bisa berbuat apa-apa untuk kehidupan ini. Sementara orang-orang di dunia barat merampas dan memijakkan kakinya di panggung dunia, dengan berkata gagah, “Inilah saya, di sini saya hadir!”… bersamaan dengan itu pula mereka menguasai hampir semua lini melalui revolusi industri. Sementara itu bagi bangsa yang diperbudak masih terus mengiang-ngiang di telinganya, “Siapa sih saya ini, saya tidak sederajat dengan mereka!”

Jika para founding fathers di masa itu ikut-ikutan berpikir “Siapa sih saya”, mungkin mereka tidak pernah akan sukses meraih kemerdekaan. Dan memang kepercayaan diri yang kuat dari para pendiri bangsa akhirnya ikut mengubah haluan dunia. Mereka punya keberanian menepuk dada dengan percaya diri sembari berseru, “Inilah saya! Ini Tanah Air Saya! Kami menuntut kemerdekaan!”. Mereka punya keberanian menyuarakan apa yang mereka pikirkan.

Sukarno mungkin tak akan pernah melahirkan Pancasila, jika ia jatuh mental oleh ejekan bahwa ia ingin mengubah dunia.

Mental rakyat yang pernah terjajah ini juga tak luput menghinggapi saya. Sebelum tinggal di Belanda, saya tidak terbiasa menunjukkan foto ataupun karya saya kepada orang-orang sekitar. Saya dengan bodoh membiarkan diri dilemahkan oleh mental tempe, hanya karena takut dikomentari, “Hey, memangnya kamu siapa? Artis juga bukan.” Di bangku SMA, saya hanya menumpuk karya-karya tulis saya, karena takut dikatakan teman-teman bahwa saya ingin pamer. Saya takut menunjukkan karya saya. Saya takut tampil. Kalau menurut istilah sekarang, tingkah itu bisa disebut narsis dan sok pamer. Ini takut. Itu takut. Walaupun akhirnya memang harus “pamer” kalau ada pameran lukisan. Ya, namanya juga pakai istilah dengan kata dasar “pamer”… pameran lukisan. Ya harus pamer, masak lukisan diumpetin di WC.

Tapi jalan kehidupan keras berbatu, seiring bertambahnya usia, akhirnya menyembuhkan penyakit “mental lembek’ ini secara alami.

Saya yang pernah tinggal di negara terjajah dan kini tinggal di negara yang perrnah menjajah, akhirnya mempelajari satu hal. Yaitu, saya menyadari Belanda tempat saya bermukim, tidak lagi sama dengan Belanda di zaman kolonialisme. Belanda sekarang adalah negara yang tidak melihat siapa Anda, melainkan melihat apa karya Anda. Mereka hanya melihat apa yang bisa Anda lakukan.

Lingkungan tempat saya tinggal memberikan saya pelajaran. Yaitu di dunia barat, jika Anda terlalu pemalu dan tak punya rasa percaya diri dalam menunjukkan prestasi, maka akan sulit bagi seseorang untuk meraih tempatnya.

Sebaliknya jika Anda percaya diri menunjukkan eksistensi dan kemampuan, maka Anda tak perlu takut dituduh narsis, sok, atau sombong. Intimidasi semacam ini yang dulunya biasa saya dengar di Indonesia, sama sekali tak saya jumpai di Belanda. Orang hanya fokus pada karya, kemampuan, dan prestasi Anda. Setidaknya begitulah pengalaman yang saya lihat di Belanda.

Situasi di atas memacu orang untuk berlomba-lomba berkarya, mengaktualisasikan diri, berprestasi. Karena sekecil apapun karya Anda, selama karya itu bisa bermanfaat, maka ini artinya adalah hidup dan kehidupan. 

Akhirnya saya menyadari, bahwa di negara tempat saya tinggal, mereka tak peduli siapa saya, dari mana latar belakang saya, apakah saya dari keluarga miskin atau keluarga kaya... mereka tak peduli. Saya bukanlah siapa-siapa, namun jika saya melakukan sesuatu sebaik mungkin, maka mereka tidak gengsi memberi apresiasinya.

Di negeri ini, satu-satunya yang bisa membantu saya hanyalah potensi diri saya sendiri. Siapa yang tak kenal menyerah menggali potensi dirinya, maka Belanda akan memberi tempatnya. Mereka hanya melirik jika orang tersebut punya kemampuan. Dan justru perilaku mereka inilah yang mendorong setiap orang berpacu meraih prestasi. 

Saya bukan siapa-siapa, namun mereka bersedia menunjukkan penghargaan atas karya saya. Sebaliknya, siapa yang enggan berkarya dan malas menggali kemampuannya, niscaya akan tersingkir. Walaupun saya bukan siapa-siapa, tetapi lingkungan memberikan penghargaannya kepada saya, bukan karena NAMA, namun karena rasa percaya diri untuk berkarya. Untuk bisa diterima dalam lingkungan, saya harus tidak minder menghasilkan sebuah prestasi. 

Buku “Koelie” membuka mata saya bagaimana efek intimidasi penjajah menghancurkan mental, agar rakyat harus tetap minder dan terus terbelakang. Tidak boleh pinter, dan jangan sampai berani setitik pun melebihi Tuan Besar.

Ya, kini bukan lagi zaman penjajahan. Tak ada alasan untuk minder dalam berkarya. Tak perlu takut tampil untuk menunjukkan karya, selama Anda merasa benar. Saya bukanlah rakyat terjajah, yang harus terus minder, sembunyi takut-takut, dan percaya dengan intimidasi penjajah bahwa saya berasal dari bangsa yang rendah. Percaya diri secara proporsional, tidak harus berarti sombong.

Walaupun sekarang saya sudah bermetamorfosa dari maklhuk yang minder menjadi makhluk yang percaya diri dalam berkarya, namun tetap menunduk takzim kepada jajaran jurnalis warga senior di Kompasiana ini. Kepada mereka saya layak berguru.

Penulis: Walentina Waluyanti

Catatan: Tulisan ini dipersembahkan untuk Almarhum Rahmat Yunianto, jurnalis Metro TV  (wafat 4/8/2013), sebagai tanda duka cita. (Kalau bukan untuk kepentingan urusan program TV yang tak sempat terlaksana itu, mungkin saya tidak akan pernah meng-up-load video lukisan saya di You Tube). Selamat jalan Mas Rahmat Yunianto!

{backbutton}

Add comment