HUMOR

Surga Madame Syurga

Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti –Nederland

Ting tong! Terdengar bunyi bel pintu. Dari jendela tampak dua pria bule dengan stelan jas lengkap. Rapi. Penampilan keduanya sangat formal. Apakah mereka datang untuk urusan dinas? Tapi hari ini libur. Lagi pula rasanya saya tidak ada janji dengan siapa-siapa. Dengan rasa ingin tahu, saya membuka pintu.

"Selamat siang, mevrouw", sapa kedua pria di depan pintu dengan senyum lebar.

Sudah menjadi kebiasaan, jika ada tamu yang tidak dikenal, saya tidak perlu mempersilakan masuk. Sambil tetap berdiri di depan pintu, saya mendengarkan maksud kedatangan mereka.

1preachers1

Oh, rupanya kedatangan itu, seperti yang mereka katakan, untuk memperdengarkan sabda Tuhan. Ingin membacakan penggalan  kalimat ayat suci. Mereka bertanya apakah saya punya sedikit waktu untuk mendengarkan mereka. Yang menarik, mereka tidak bertanya agama saya.

"Apa agama-mu?"

Pertanyaan ini mungkin lazim di Indonesia. Tapi tidak begitu di Belanda. Orang tidak bertanya, juga tidak peduli apa agama Anda. Bahkan juga tidak perduli kalau Anda tidak beragama. Kalau Anda memperkenalkan diri dengan berkata, "Hallo, kenalkan. Nama saya Pak Kumis dan saya komunis" – orang juga cuma cuek bebek. Paling reaksinya cuma, "Oh ya?" sambil sedikit cengengesan seperlunya.

Oleh karena kedua pria di depan pintu itu tidak bertanya agama saya; mereka hanya ingin memperdengarkan sabda Tuhan... maka saya berpikir positif saja. Toh mereka tidak peduli apa agama saya. Mereka hanya melakukan kerja suka-rela. Ingin menyebarkan kalimat baik pada orang lain. Apa salahnya?

Sesudah mereka selesai membaca ayat suci, saya bilang "Dank u wel." (Terima kasih).

Lalu saya bersiap-siap menutup pintu. Tapi mereka masih melanjutkan, "Siapa nama Anda?"

Saya menyebutkan nama saya yang inisial-nya hampir mirip nama website itu.

"Nama saya? Nama saya Wewe Gombel."

"Oh, nama Anda bagus sekali."

Hmm, kalau pujian ini sih rasanya bukan basa-basi. Hehehe......paling tidak saya masih bisa sedikit GR.

"Anda tertarik dengan kalimat suci tadi?", tanya pria yang berperut makmur.

"Eh......ya...ya...ya!", jawab saya sambil berusaha secepatnya mengalihkan mata saya juga ke matanya.

Malu juga kan kalau cuma melihat perutnya saja.

Singkatnya, mereka berkata nanti ingin datang lagi. Lalu saya diberi sebuah brosur berisi tanya jawab tentang ketuhanan. Saya tidak berkata apa-apa. Karena terus terang, ini pengalaman baru buat saya. Sebelumnya belum pernah mendapat kunjungan seperti ini. Belakangan saya tahu, orang Eropa yang umumnya bukan penganut agama, biasanya enggan membuka pintu untuk "penyebar kalimat suci" semacam ini. Jumlah orang Eropa yang masih menganut agama, sekarang ini persentasenya sangat kecil.

1preachers3

Ternyata kunjungan selanjutnya, yang datang bukan lagi dua pria itu. Tapi pasangan suami istri. Orang Indonesia. Rupanya mereka tahu saya orang Indonesia. Dan mungkin karena itu mengutus pembaca sabda yang juga orang Indonesia.

Si ibu begitu ramah. Menyapa hangat dan berbicara dalam bahasa Indonesia. Saya tergerak mempersilakan mereka masuk. Mungkin karena tiba-tiba saja merasa senasib, bertemu rekan senegara di negeri orang.

Saya lupa bahwa mereka datang sebagai penyebar sabda Tuhan. Ini Belanda. Tidak seharusnya saya terlalu sentimentil, hanya gara-gara ketemu rekan senegara. Bisnis adalah bisnis. Dan memang begitu sikap yang ditunjukkan tamu itu.

Percakapan selanjutnya, membuat saya bingung. Karena tiba-tiba saja saya mendapat kuliah tentang Tuhan, agama, surga dan neraka.

"Kamu percaya adanya surga?", tanya ibu itu.

"Kalau menurut agama saya sih begitu. Tapi rasanya semua agama mengajarkan begitu 'kan?", jawab saya.

"Tapi kalau menurut kamu sendiri bagaimana?", ibu itu masih mengejar terus.

Saya mulai capek dengan pertanyaan tentang Tuhan, surga, neraka, Tuhan, surga, neraka... Agama yang seharusnya membawa kesejukan, malah terkesan menjadi begitu garing akibat dua tamu ini.

"Menurut kamu, apakah kalau kamu nanti mati, kamu bisa masuk surga?", tanya ibu itu serius.

"Maksudnya kalau saya berbuat baik, nanti saya masuk surga kan?", kata saya kenes. Sumpah! Ketika mengucapkan kalimat tadi, saya merasa bak gadis kecil imut yang lagi lucu-lucunya, yang sedang ngemut permen kojak.

Tak disangka, ibu itu tiba-tiba menyergah, "Ooooh.....itu salah. Tidak otomatis setiap orang baik bisa masuk surga. Tiket ke surga itu tidak begitu saja kamu dapatkan walau kamu berbuat baik." Lalu dijelaskannya alasannya dengan panjang lebar.

Ibu itu berbicara tentang surga seakan-akan dirinya adalah Kepala Biro Fasilitas dan Keuangan Departemen Surga.

Saya mulai menunjukkan bahasa tubuh bahwa saya ingin segera mengakhiri percakapan ini. Tapi karena dicecar terus dengan pertanyaan itu, saya jadi jahil juga.

Dengan menarik napas, saya juga mulai ikut-ikutan pidato.

1bible1

Saya nyerocos, "Buat saya pribadi, surga itu tidak perlu dicari jauh-jauh. Keimanan saya yang percaya pada-NYA, sebetulnya adalah 'surga' itu sendiri. Iman saya yang membisikkan tentang kebaikan ajaran-NYA, sebenarnya adalah 'surga' itu sendiri. Penyesalan saya akan dosa yang sudah saya perbuat, itu adalah 'surga' itu sendiri. Surga yang sebetulnya sudah di genggaman itu, bisa saja berubah jadi neraka. Tergantung pilihan saya saja. Soal apakah sesudah berakhirnya hidup, saya bisa masuk surga atau tidak, itu bukan otoritas saya. Biarkanlah otoritas lain yang mengurus itu semua. Saya hanya berusaha melakukan atau tidak melakukan apa yang dibisikkan oleh 'surga' di dalam nurani saya tentang kebaikan dan kejahatan."

Sesudah ngomong kayak mitraliur begitu, sejenak nafas saya tersengal. Maklum sok ngomong kayak nabi. Padahal jadi nabi palsu pun, casting itu tidak bakalan cocok buat saya.

Dan bagaimana reaksi sang tamu? Ehhh, sudah pidato panjang lebar sampai keselek, rupanya pidato saya tadi tidak mengesankan buat kedua tamu saya itu. Apa boleh buat. Pidato saya tidak laku.

Ibu itu berkomentar, "Wah, kamu ini terlalu banyak berfantasi. Kelihatannya kamu masih harus belajar banyak tentang agama. Saya akan datang tiap minggu, untuk memberi pelajaran itu. Bagaimana?" 

"Ehm...terima kasih, saya memang perlu belajar. Tapi saya akan belajar sendiri", tolak saya halus.

"Oooooh....tidak bisa. Kamu tidak bisa belajar sendiri. Kamu perlu pembimbing untuk memahami sehingga kamu bisa memperoleh keselamatan di surga", sabda ibu itu dengan ekspresi kesurga-surgaan. Melihat ekspresinya, tiba-tiba saya teringat istri Bung Karno yang asal Jepang. Yaitu Ratna Dewi Sukarno alias Naoko Nemoto yang menerbitkan buku berisi kumpulan fotonya yang sedang berpose telanjang ria. Aksinya yang "syur" itu membuatnya dijuluki Madame Syuga. Ya, saya jadi ingat Madame Syuga, mantan geisha cantik itu. Entah mengapa. Mungkin karena dua-duanya sama-sama mahir menawarkan surga. Meskipun surga-nya si Madame Syuga tentu lain dengan surga-nya si Madame Syurga di depan saya ini.

Madame Syurga telah berbaik hati menawarkan niatnya agar saya bisa masuk surga. Sekarang saya hanya bisa garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

Pikiran saya berputar-putar bagai pusaran air berkekuatan 7,9 skala richter.

Tawaran surga Madame Syurga itu bagai back sound reklame "Mau tiket ke surga!? Mau tiket ke surga!? Mau tiket ke surga!? Dapatkan segera!!!"

Reklame itu bergema berulang-ulang di telinga sampai kepala saya berdenyut-denyut. Saya membayangkan diri saya seperti bintang iklan obat sakit kepala. Dengan menempelkan tangan di pelipis kiri dan kanan sambil berteriak kencang, "TIDAAAAAK...!!! Lalu dengan special effect, di film itu seolah kepala saya diputar-putar kayak komidi putar.

"Rasain kamu Wewe Gombel!", begitu saya ngeledek diri sendiri.

"Minggu depan saya akan datang lagi. Supaya kamu tahu bagaimana mendapatkan tiket ke surga. Oke?", Madame Syurga terus mendesak saya.

1preachers4

Saya jadi pusing tujuh puluh tujuh keliling. Huuuh! Sekarang repot 'kan?

Saya coba menimbang-nimbang apakah harus menghindari kedatangan Madame Syurga ini. Tapi syurga, eh...surga kok dihindari? Jangan-jangan dosa-dosa saya semakin berlipat ganda jika menolak mata kuliah filsafat surga ini?*** (Penulis: Walentina Waluyanti)

fr wwWalentina Waluyanti, penulis buku "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan"

About Me

{backbutton}

Add comment