Si Meneer Memberiku Inspirasi dalam Menulis

Penulis: Walentina Waluyanti

Meneer Belanda ini adalah dosen favorit kami. Bukan saja karena wajahnya ganteng seperti Kevin Costner. Tapi juga karena kepintarannya menghidupkan suasana di dalam kelas. Ia  kocak, punya selera humor yang baik, membuat pelajarannya menarik untuk disimak. (Catatan: Meneer/mijnheer, sebutan pada pria, dalam bahasa Belanda artinya bapak atau tuan).

Ini adalah kejadian bertahun-tahun lalu di Belanda. Hari itu si meneer berdiri di depan kelas. Pelajaran yang diberikannya adalah Bahasa Belanda. Saya satu-satunya orang Indonesia yang duduk di kelas itu. Pelajaran Bahasa Belanda itu diikuti juga oleh peserta lain dari berbagai bangsa. Ada yang dari Inggris, Turki, Maroko, Rusia, Yugoslavia, Polandia, Spanyol, dan negara lain dari Eropa.

Sang meneer dosen mengajukan pertanyaan kepada kami, “Ada satu hal yang sangat dikenal menjadi ciri khas Belanda. Kalian tahu apa itu?”

Ada yang menjawab, “Klompen!” (Sandal tradisional khas Belanda yang terbuat dari kayu). Yang lain berseru, “Kincir Angin!... Oranye!… Keju!”

Pak dosen menggelengkan kepalanya terhadap semua jawaban yang diberikan. Karena tak ada yang mampu menjawab dengan tepat, maka ia pun memberi jawabnya.

Meneer dosen itu berkata, “Ciri khas Belanda, adalah… kikir!”

Gerrr… seisi kelas riuh tertawa. Lalu dosen itu menerangkan tentang kikir, yang dikatakannya sifat khas orang Belanda.

Kata dosen, “Coba saja kalian bertamu ke rumah orang Asia. Mereka akan menyajikan makanan dengan sajian lengkap dan royal di atas meja. Tapi kalau Anda diundang makan ke rumah orang Belanda? Belum-belum, si tuan rumah bertanya ke tamunya, Anda mau berapa kentang? Satu atau dua?”

Penjelasan dosen di atas membuat kami semua tertawa terbahak-bahak. Sejak itu kami sering iseng memanggil dosen kami itu dengan sebutan “Meneer Gierig”, artinya Pak Kikir. Setiap dipanggil begitu, ia tak marah, hanya nyengir.

Meneer Kikir mengutarakan sifat kikir di atas, dengan uraian yang dilebay-lebay-kan. Sekadar membuat kami semua tertawa. Agar suasana kelas tak membosankan. Namun esensi yang hendak yang ia sampaikan itu memang betul. Di Eropa, image kikir memang image yang melekat pada orang Belanda. Dan ini pun disadari sendiri oleh orang Belanda.

Orang Belanda umumnya tahu apa sisi negatif dari karakter bangsa mereka. Dan karena itu mereka juga tak mudah tersinggung jika diejek dengan predikat kikir ini. Soalnya sebelum orang lain menertawakan sifat mereka, orang Belanda sendiri sudah duluan menertawakan diri. Namun tawa itu bukanlah tawa kebanggaan atas sisi negatif itu, melainkan tawa pahit, mengakui kelemahan diri.

Saya sendiri menangkap perkataan dosen tadi dari sisi lain. Kata-kata dosen itu memberikan pada saya pelajaran tentang satu hal. Yaitu tentang kemampuan “otokritik” , dan kemampuan menertawakan diri sendiri.

Otokritik, kritik terhadap diri sendiri, bisa diterapkan sebagai jurus dalam “Ilmu Menulis”. Sportif menertawakan kesalahan diri adalah salah satu contoh bentuk otokritik. Pada saat orang tertawa, maka ia menjadi rileks. Saat menjadi rileks, maka seorang penulis tak sulit untuk membuat jarak dengan tulisannya sendiri.

Kadang diperlukan jarak untuk mampu menilai kekurangan diri. Dan saat berjarak dengan tulisannya, penulis tidak lagi menjadi penulis. Ia menjadi pembaca objektif yang bisa jernih melihat kekurangan tulisannya itu. Ia mampu meneropong, dan mengakui kelemahan dan kekurangan tulisannya. Selanjutnya, timbul itikad untuk memperbaiki kekurangan itu.

Namun otokritik, kritik terhadap tulisan sendiri, juga bisa seperti pisau bermata dua. Penulis bisa menjadi kritikus terbaik dalam menilai tulisannya sendiri. Karena hanya penulis itu yang mengenal kekurangan dirinya sendiri dengan baik. Kemampuan mengakui kekurangan diri akan disertai kemampuan mendiagnosa. Si penulis itu akan tahu penyebab kelemahan tulisannya, maka ia tahu “obat” apa yang harus digunakan untuk meningkatkan keterampilan menulis itu.

Sebaliknya, penulis juga bisa menjadi kritikus terburuk terhadap tulisannya sendiri. Yaitu ketika si penulis menjadi pencinta yang sangat narsistis terhadap diri sendiri. Sehingga tak mau dan tak mampu lagi melihat kekurangan diri. Menutup mata terhadap kekurangan diri, menyebabkan lumpuhnya kemampuan mendiagnosa. Tanpa kemampuan mendiagnosa, mustahil menentukan “obat” yang tepat untuk meningkatkan keterampilan menulis.

Penulis: Walentina Waluyanti

{backbutton}

Add comment