Satir Walentina (Lanjutan “Oh, Belanda! Rasain!")

Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Catatan penulis: Tulisan ini ditujukan untuk para penanggap atas tulisan saya "Oh, Belanda Rasain!".

Menarik juga melihat tulisan parodi karikatural saya itu begitu seru diperdebatkan. Yaitu sebuah tulisan SATIR saya yang slengean, berjudul “Oh, Belanda! Rasain!”. Walau sudah memperhitungkan bahwa suatu ketika ada yang akan membidik tulisan saya, tapi di luar dugaan, yang terbidik justru tulisan eksperimental saya. Dan bukan tulisan-tulisan saya yang jauh lebih serius lainnya.

satir1-web

Lebih dari itu, saya senang bahwa tulisan saya itu bisa didiskusikan...ini artinya kondisi berapresiasi menjadi lebih hidup. Suami yang tahu isi artikel saya, bercanda menggoda saya, “Angel's advocate, rasain!”. Dia tentu tahu bagaimana saya, dan karena itu senyum-senyum dengan isi tulisan “Oh, Belanda! Rasain!”.

Mungkin ada tulisan saya tentang Amerika, dan negara lain yang tanpa saya sadari telah membuat kokiers di negara yang bersangkutan tak suka dan tersinggung. Itu sudah risiko, seorang penulis bisa disangka yang tidak-tidak. Pretensi saya hanya berkarya dan menulis. Dunia tulis-menulis adalah dunia penjelajahan saya. Penjelajahan yang sangat mengasyikkan, menantang daya pikir dan daya cipta.

Tulisan HL itu, secara tak langsung malah membela mereka yang tinggal di Belanda, termasuk saya (walau mungkin HL tidak bermaksud demikian).

Kambing hitam: Satir dalam “Oh, Belanda! Rasain!”

Simbolisme kata “kambing hitam” dalam pembukaan kalimat “Oh, Belanda! Rasain”, itu sendiri adalah ekspresi sinisme saya. Saya tertarik melihat gejala “living caricature” dan antagonisme dalam perilaku yang tidak menyukai orang Indonesia di Belanda, lalu yang jadi kambing putih adalah Belanda. Itu semua mengilhami saya, kayaknya bagus juga nih dibikin jadi tulisan satir. Sinisme itu sendiri adalah bagian dari gaya satir penulisan.

Satir adalah salah satu bentuk seni. Satir bisa berbasis kritik dan fenomena sosial yang biasa disampaikan dalam gaya parodi, humor pahit, komedi absurd, sindiran, sinisme, karikatur, sarkasme, dan bentuk lain.

Saya tidak menyalahkan jika ada yang tidak bisa menangkap makna satir dan ironi dalam  tulisan “Oh Belanda! Rasain!”. Syukurlah masih ada pembaca bernama Butet dengan indra keenamnya (ciaileeh) bisa menangkap makna tulisan saya itu.

Ketika Butet menghubungkan tulisan saya “Oh, Belanda! Rasain!”, dengan gaya Stephen Colbert, saya langsung mahfum. Yaitu Butet mengerti bahwa gaya tulisan saya itu adalah satir. Di dalamnya terkandung unsur-unsur seni menulis yaitu gaya ironi, sinisme, sindiran, humor karikatural pahit.

satir2-web

Foto: Stephen Colbert

Stephen Colbert yang disebut Butet itu, selain sebagai penulis satir, dikenal juga sebagai komedian dan TV host.

Berikut ini saya kutip komentar Butet:

dua jempol deh buat tulisannya Mbak W......gaya nulis mbak sekarang mengingatkan saya sama Steven Colbert.....

Posted by: butet | Kamis, 20 Januari 2011 | 03:47 WIB

Ada pertanyaan, mengapa saya menulis tulisan seperti itu? Tentu ada sebabnya. Selama ini memang saya banyak menulis seputar tema sosial, politik, tokoh, dengan sekilas ilustrasi kejadian historis. Kenapa kok ituuu terus? Ya, karena tema tadi tidak jauh-jauh dari minat saya. Tentunya lebih mudah menulis sesuatu yang dikuasai, sesuai minat dan spesialisasinya masing-masing. Seperti juga saya tidak akan mempermasalahkan penulis yang terus menulis tentang Amerika. Malah saya berterima kasih, pengetahuan saya diperkaya dengan spesialisasi penulis tersebut.

Bagaimanapun latar belakang pendidikan, pengalaman batin, pengamatan, wawasan, minat, turut mempengaruhi seorang penulis dalam memilih genre dan tema tulisan. Saya tidak akan menulis sesuatu yang tidak saya akrabi dan kuasai. Bahkan untuk satu kata pun, saya tidak akan menulis satu kata yang tidak saya mengerti.

Saya juga sangat menggemari filsafat dan sastra. Kegemaran akan bacaan filsafat, membuat saya cenderung kontemplatif dalam tulisan. Dan karena gemar sastra, saya suka mengamati beberapa gaya dalam menulis. Ada gaya satir, absurd, karikatural, ironi, sinisme, sindiran, sarkasme, ortodoks,  slogan, simbolik, fabel, atau gabungan antara beberapa gaya.

Apapun gaya yang digunakan, gaya itu sekedar sarana. Apakah itu saya tulis dengan gaya seenaknya, slengean, semaunya, karikatural...itu sekedar eksplorasi saya sebagai penulis. Yang lebih penting adalah MAKNA di balik tulisan. Makna apa yang terkandung di balik tulisan “Oh, Belanda! Rasain!”?

Apakah makna di balik teriakan tokoh “SAYA” yang diceritakan di dalam “Oh, Belanda! Rasain!”? Dengan memakai tokoh “SAYA” dan bukan tokoh “DIA”,  penulisnya tidak menyakiti siapa-siapa.

Tapi kalau konteksnya memang perlu untuk menyakiti/shock therapy, maka penulis juga tidak segan-segan menggunakan tokoh “DIA”, atau “KAMU”. Mengapa tidak?

Absurd

Saya sangat mengagumi novel absurd dan satir berjudul “Olenka” karya Budi Darma. Penulisnya, yaitu Budi Darma (1937) adalah seorang mantan rektor, dosen, dekan, dan mantan ketua jurusan sastra Inggris di IKIP Surabaya. Ia berwajah ilmuwan, dengan perilaku tertib.

Tapi keliaran tokoh “SAYA” dalam karyanya, ditulisnya dengan keliaran dan kegilaan watak yang begitu mencengangkan. Novel ini pertama kali saya baca ketika masih kuliah. Saya bisa membaca novel itu berulang-ulang tanpa kenal bosan.

satir3-web

Satir dan absurditas dalam novel “Olenka”, mengilhami saya memasukkan watak kegoblokan, kegilaan, ketidakwarasan, dan keliaran tokoh “SAYA” secara absurd dalam tulisan “Oh, Belanda! Rasain! (Terima kasih Butet, sudah menangkap dengan jeli). Memang dibutuhkan mata dan imajinasi seorang seniman untuk menangkap makna tulisan “Oh, Belanda! Rasain”.

Untuk semakin menghayati antagonisme tokoh “SAYA”, sambil menulis itu saya menyetel musik rock metal hingar bingar, supaya “ruh” itu bisa masuk ke dalam tulisan.  Karena itu, tulisan ini saya sebut tulisan eksperimental.

Mengapa saya sampai menulis dengan gaya SATIR seperti itu? Sebagaimana satir, isinya adalah ironi, sinisme, dan sindiran. Lengkapnya, komentar saya sebagai berikut:

Trims Mas HL. Maaf baru menanggapi. Karena nggak tau kalau ada artikel ini. Tadi baru saja ada yang kirim email ke saya,  beritahu kalau Mas HL menyinggung tentang saya. Waduh...saya ketinggalan kereta nih. ====Saya senang Mas HL menulis ini untuk sedikit bikin melek orang-orang. Nggak nyangka artikel slengean saya itu diambil serius. Terus terang aja, artikel yang  saya tulis “Oh, Belanda! Rasain!” itu adalah bentuk sinisme saya pada orang yang tidak bisa berdiskusi jernih dan obyektif, tentang Indonesia. Kalau saya ngomong tentang Indonesia, mentang-mentang saya tinggal di Belanda, malah saya yang diejek...ngaca lihat Belandamu. Lha, padahal saya ini orang Indonesia, hidung pesek. Masak disuruh ngaca jadi orang Belanda. Jadi sekalian aja saya bantuin orang-orang itu mengejek Belanda. Biar pada puas. Sekalian juga pamer lukisan. Hehehe... Kalau kita berusaha meneropong Indonesia...ujung-ujungnya selalu..yang salah itu Belanda. Walaaah....Jaman sudah berubah pikirannya masiiiiih terus dendam masa lalu. Apa nggak bikin kurus? Padahal menurut data, orang yang masuk surga itu adalah orang yang berat timbangannya...hehehe...

Artikel “Oh, Belanda! Rasain!” adalah bentuk ironi sekaligus sinisme terhadap perilaku yang menyerang penulis yang tinggal di Belanda, jika menulis tentang Indonesia. Seakan penulis Indonesia yang tinggal di Belanda sudah tidak punya hak beropini tentang negara Indonesianya, hanya karena tinggal di Belanda. Salahkah kami, hanya karena kami tinggal di Belanda, tanah eks penjajah?

Menghujat di luar kepantasan adab manusia? Ah, saya tidak yakin si penghujatnya serius ketika mengucapkan itu. Selera humor orang kan macam-macam. Tapi namanya juga penulis. Hujatan dan caci maki bukan untuk diratapi. Itu semua malah memicu kreativitas, sehingga tertarik menyusun tulisan satir, ironi, sinisme berjudul “Oh, Belanda! Rasain!”.

Kira-kira analoginya sama dengan ilustrasi berikut ini. Seorang ayah lelah setelah bekerja seharian. Ia ingin istirahat. Tapi anak-anaknya terus ribut berteriak mengganggu tidurnya. Ditegurnya anaknya untuk berhenti mengganggu. Tapi anak-anak itu tidak menggubris. Teruuus saja rusuh. Akhirnya ayahnya berteriak, “Ayo, ayo! Terus ribut! Ribut saja terus! Teruuus! Ayo! Jangan berhenti!”. 

Hanya satu cara yang tidak ingin dipakai sang ayah untuk mendiamkan anaknya. Yaitu kekerasan. Ia tidak akan berkata pada anaknya, “Kamu tidak mau berhenti ribut? Saya tempeleng kamu!”. PLAK! Apalagi mengumpat dengan makian dan kata caci maki tak pantas. Kalau mau, apa sih susahnya memaki kasar pada anak kecil. Tapi orangtua lebih suka tidak memakai cara kekerasan sadis pada anaknya. Kecuali orangtua gila.

Main keras, main kasar, bahkan main badik itu gampang. Saya tumbuh di tengah-tengah budaya SIRI' artinya “harga diri” di Makassar. Di kala SIRI' (harga diri) itu diinjak, maka sekali badik keluar dari sarungnya, pantang untuk disarungkan kembali sebelum badik itu berlumur darah. Tentunya maknanya jangan diekstrimkan. Makna implisitnya adalah, orang yang kelihatannya sabar, banyak senyum, rendah hati, cengengesan, diam jika diinjak-injak, jangan diartikan orang itu takut.

satir4-web

Pura-pura jahat

Mengikuti emosi itu gampang. Yang susah dan jadi tantangan bagi semua penulis termasuk saya, yaitu tidak menyakiti pembaca yang telah menyakitinya. Bahkan walau pembaca itu memakinya dengan kata sumpah serapah penghuni kebun binatang dan kelamin. Saya mengagumi penulis penuh kendali, yang tidak balas mencaci pembacanya dengan kata yang sama kualitasnya. Karena caci maki itu sendiri sudah merupakan “mesin jawab otomatis” yang memantul kembali ke si pengucapnya sendiri.

Penulis yang memiliki kecerdasan inteligensi tinggi (IQ), itu banyak. Tapi jika boleh memilih, maka penulis favorit saya adalah penulis yang juga mempunyai kecerdasan emosi (EQ). Soalnya emosi saya belum cerdas-cerdas amat. Yang jelas, bagi saya situasi “kekerasan”, ada keuntungannya sendiri. Yaitu memudahkan saya untuk segera mengenali, “Oh, yang itu, tho”.

Tulisan dicaci-maki itu biasa. Yang tidak biasa, kalau ada penulis yang berani caci maki pemimpin redaksi, tidak pakai nickname. Kalau pakai nickname mencaci maki penulis yang bernama Wewe Gombel, lalu giliran ngomong ke Pemred tiba-tiba semanis malaikat...ini sih anak kecil juga bisa. Dulu saya masih katrok (sekarang juga masih, tapi belum dipatenkan). Kalau ada yang begini dan begitu, ingin cepat membela diri. Tapi akhirnya caci-maki jugalah yang mematangkan seorang penulis. Otomatis itu juga akan berpengaruh pada kualitas tulisan. Sekarang kalau sedikit-sedikit membela diri, saya malah malu sendiri.

Bukan tidak mungkin, banyak orang hanya menikmati permainannya dengan pura-pura jahat memaki-maki. Padahal mungkin saja mereka mengetik itu sambil tertawa-tawa. Tidak serius. Siapa tahu di dunia nyata, ternyata orangnya malah bukan orang, melainkan malaikat? Saya yakin, orang tak mungkin sekasar itu kalau di dunia nyata. Buktinya kebanyakan yang memakai kata-kata hujatan di dunia maya, adalah orang yang tak pernah mau menunjukkan jati dirinya.

satir5-web

Dihina itu masih lebih untung daripada menghina? Tergantung. Mungkin tergantung apakah orang yang dihina itu masih punya sebatang rokok di sakunya. Untung ada rokok. Tanpa sedikit pun melirik penghinanya, ia lebih memilih menyalakan rokoknya, menghirupnya dalam-dalam dan berlalu dengan cuek.

Walentina Waluyanti 

Nederland, 29 Januari 2011

{backbutton}

Add comment