Ramalan Nasib
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Ibu Tien seakan tidak percaya ketika seorang peramal membaca garis tangannya. Ya, bagaimana Ibu Tien bisa percaya? Soalnya saat diramal itu, dirinya masih ibu rumah tangga biasa. Ia diramal akan duduk sama rendah, dan berdiri sama tinggi dengan presiden Soekarno. Terbukti, ramalan itu jadi kenyataan. Suharto, suaminya jadi presiden.
Fatmawati pernah dipuji seseorang tentang keberuntungannya berjodoh dengan Soekarno. Jawab Fatmawati, “Memang saya pernah diramal akan menikah dengan orang kaya”. Sukarno yang geli mendengar jawaban naif itu, jadi malu hati. Maklum, ketika itu Fatmawati yang baru dipetik Sukarno, masih begitu belia. Soekarno lalu mengoreksi, “Ah, saya bukan orang kaya, saya cuma orang berilmu.”
Bagaimana kalau seseorang diramal buruk? Diramal buruk, seseorang yang sangat percaya dan terobsesi dengan ramalan, bisa bereaksi lebay. Saking lebay-nya reaksi seseorang, bisa saja ramalan buruk yang diucapkan oleh peramal gadungan sekalipun, malah bisa jadi kenyataan...bukan karena ramalan itu sendiri. Tapi reaksi ketakutan akibat cemas dengan nasib buruk yang akan menimpa. Tidur tak nyenyak, makan tak enak. Malah jadi penyakit. Tak sedikit yang terjerat klenik demi memperoleh ajian menolak ramalan buruk.
Lebay, istilah yang makin gencar terdengar belakangan ini. Istilah yang mulai terdengar tiga empat tahun lalu. Ini menyaingi populernya istilah narsis yang sudah dikenal lebih dulu. Lebay bisa berarti berlebihan dalam menilai sesuatu atau diri sendiri, dengan mengenyampingkan pendapat orang lain. Tapi belakangan ini makna lebay makin kabur, dan bisa dilekatkan dengan apa saja yang tidak disukai.
Foto: Fatmawati Soekarno
Kalau Anda bersuara sedikit yang kurang mengenakkan orang lain, Anda dianggap lebay. Kalau Anda menuntut hak Anda, bisa jadi Anda dianggap lebay, karena tidak melakukan kewajiban. Pada saat Anda melakukan kewajiban, Anda juga lebay karena seperti robot yang serba`wajib melulu, tidak mengerti hak. Kalau Anda memuji prestasi Indonesia, Anda dianggap lebay, tidak mau mengakui kekurangan. Kalau Anda meneliti kekurangan Indonesia dengan maksud mudah-mudahan dikoreksi, Anda dianggap lebay, karena dianggap tidak bisa melihat prestasi.
Menilai sesuatu lebay atau tidak lebay, tergantung juga bagaimana latar belakang seseorang. Latar belakang studi hukum dan ketatanegaraan, tanpa sadar memengaruhi pandangan saya dalam menilai.
Jika saya menghimbau orang yang copy-paste tulisan saya, agar mencantumkan nama saya sebagai penulis...itu karena otomatis ingat, sanksi Undang-Undang Hak Cipta bukannya tak bertaring. Jika saya menyensor sebuah gambar telanjang, itu karena secara refleks saya sadar efek sanksi Undang-Undang Anti Pornografi yang berlaku untuk semua media di Indonesia.
Ini kelihatan sepele. Tapi dua pihak bisa bertarung di pengadilan, karena menyepelekan hal-hal yang kelihatannya sepele. Bagi orang yang memakai kacamata disiplin ilmu non-hukum, sikap saya itu bisa jadi dinilai narsis dan lebay.
Sebelum lahirnya istilah narsis dan lebay, dulu ada istilah “sok”. Jika orang berbuat baik, dikatakan sok baik. Jika orang berbicara tentang moral, dikatakan sok bermoral. Sikap dan tingkah laku orang bisa menjadi mati langkah, jika sudah di-”skakmat” dengan kata-kata “sok, narsis, dan lebay”. Efek kata-kata ini tidak bisa dianggap remeh. Seakan menghindari kata “sok baik”, orang malah bangga kalau bisa melakukan sesuatu yang dipikirnya “gagah”. Misalnya melanggar etika, norma, nilai-nilai, bahkan hukum dan undang-undang.
“Wah, tampil beda nih”, begitu kata mereka. Ini mengingatkan pada situasi sekarang, ketika orang berbicara tentang nilai-nilai kebaikan, malah dicap lebay. Sok baik. Berlebihan.
Tetapi memasuki tahun baru, mungkin memang perlu narsis, lebay, dan sok (dalam arti positif)...terutama bagi yang cemas setelah membaca ramalan buruk shio dan zodiak. Tidak perlu ke dukun minta ajian penolak ramalan buruk. Cukup narsis saja, percaya bahwa Anda adalah pribadi yang pantas menerima nasib baik. Mungkin perlu lebay untuk percaya kalimat basi...yaitu sepanjang hati, niat dan sikap Anda bersih dan baik, maka sesakit-sakitnya jatuh, sejelek-jeleknya ramalan...tetap saja hasilnya enak. Tidak peduli dikatai “sok” dan munafik karena punya komitmen pada nilai-nilai kebaikan. Karena apapun kata orang, kebaikan Anda bukanlah urusan orang lain. Ini soal pribadi antara Anda, nurani, dan mungkin juga Tuhan Anda. Orang lain tak perlu ikut campur. Dalam hal begini, maka “narsis, lebay, dan sok” tak ada ruginya. Bisa bikin plong hati dan pikiran...tak peduli apapun ramalan zodiak dan shio tahun depan.
Berkaitan nasib dan ramal-meramal ini, saya tertarik mengutip sebuah kisah sufi yang saya baca dari buku Anthony de Mello. Kisah berikut ini mencerminkan bagaimana setiap orang pada dasarnya punya kekuatan untuk meramal dan mampu memberi sugesti pada diri sendiri ke arah positif.
Oda Nobunaga, adalah jendral dari Jepang yang hidup di pemerintahan Shogun abad ke-16. Suatu hari Nobunaga mengambil keputusan penting. Hari itu musuh mesti diserang. Padahal pasukan Nobunaga jumlah prajuritnya hanya sepersepuluh dari jumlah prajurit musuh. Melihat besarnya jumlah pasukan musuh, membuat para prajurit Jendral Nobunaga jadi ciut nyalinya. Nobunaga sadar, secara psikologis ini bukanlah awal yang baik untuk memulai perang. Prajuritnya sudah merasa kalah sebelum perang dimulai. Ini tidak boleh dibiarkan.
Akhirnya Nobunaga punya solusi untuk mengatasi masalah ini. Ketika ia bersama prajuritnya menuju medan perang, Nobunaga berhenti di sebuah kuil untuk berdoa. Setelah berdoa, ia berbicara di depan prajuritnya, “Saya akan melemparkan mata uang. Lihat! Ada dua sisi gambar di koin ini. Sisi yang satu gambar kepala, sisi yang lain bergambar angka. Kalau setelah koin ini saya lempar, dan gambar angka yang terlihat...ini artinya nasib kita akan kalah perang. Kalau gambar kepala yang terlihat, artinya kita akan menang. Ayo! Kita akan sama-sama melihat nasib kita melalui koin ini. Saya lempar sekarang!”.
Foto: Oda Nobunaga, painting by Giovanni Niccolo
Hup! Jendral Nobunaga melempar koin itu. Ternyata yang tampak di tanah adalah gambar kepala. Semua prajurit bersorak riuh rendah, bertepuk tangan. Karena itu artinya, ramalan menentukan nasib mereka, yaitu...menang perang!
Maka semua prajurit yang tadinya tak bersemangat karena ciut nyalinya, sekarang berubah 180 derajat. Semua prajurit Nobunaga berangkat dengan hati membuncah. Penuh semangat! Karena yakin bahwa mereka akan memenangkan perang. Dan memang betul. Perang itu dimenangkan oleh pasukan Jendral Nobunaga dengan mudah.
Ketika mereka kembali dari medan perang, seorang ajudan berkata pada Nobunaga, “Tak seorang pun bisa mengubah takdirnya”. Dijawab oleh Nobunaga, “Betul”. Tapi jawaban itu belum selesai...lalu ditunjukkannya sebuah rahasia dari takdir itu.
Di atas meja ditaruhnya koin yang digunakannya sebagai alat peramal beberapa hari lalu. Oh...ternyata koin itu punya dua sisi gambar yang sama! Kedua sisinya bergambar kepala!
Tergolong apakah keberhasilan pasukan Nobunaga itu? “Kekuatan doa? Kekuatan takdir? Ataukah kekuatan iman yang yakin bahwa sesuatu akan terjadi?”, tanya Anthony de Mello dalam bukunya.
Menurut saya, pertanyaan di atas bukan untuk dijawab. Tapi menarik direnungkan sambil memasuki gerbang tahun baru. Syukur-syukur kalau kita masih punya waktu untuk 'ora et labora'.
Selamat tahun baru. Semoga berkat dan lindungan-NYA menyertai kita semua. Amin.
Walentina Waluyanti
Penulis buku Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen
{backbutton}