Perangkap Loverboys
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Norak ah, kalau sampai Ge-eR. Saya bukan gadis remaja cantik jelita. Karena itu saya tidak perlu G dan R, ketika merasa ada cowok muda terus menatap dari sudut sana. Ketika itu saya sedang jalan-jalan sendiri di sebuah mall di Belanda. Tapi akhirnya risih juga terus ditatap begitu. Lalu saya pindah ke lantai atas, mencari keperluan yang ingin saya beli.
Eehhh, cowok itu ternyata ada lagi. Sekilas saya lirik. Boleh juga nih anak. Ganteng. Buat saya yang sok tua, cowok ini masih anak-anak. Mana ada bocah ganteng mau buang-buang waktu menatap emak-emak? Wah, pasti ada yang nggak beres, nih. Saya melirik rambut saya di depan cermin. Mungkinkah konde saya pindah ke jidat? Maskara saya meleleh hingga ke pipi? Lipstick mencang-mencong? Nggak ada yang aneh, tuh. Ristluiting jeans saya mungkin lupa terkancing? Kenapa cowok itu menatap sampai segitunya?
Lebih baik saya segera kabur dari toko ini. Saya cepat-cepat berjalan ke luar. Pfff...legaaa. Belum selesai menarik nafas lega, tiba-tiba saja seseorang berjalan di sebelah saya. Cowok itu lagi! Dia langsung menyambar dengan pertanyaan, “Sepertinya saya pernah kenal kamu. Tapi di mana ya?”.
Sekarang saya bisa menatap profilnya dengan lebih jelas. Umurnya kira-kira 25-27 tahun. Tinggi besar, gagah, tampan, atletis, putih bersih, berambut gelap, gondrong. Matanya seakan selalu tersenyum. Ekspresinya jenaka dan menyenangkan. Dari tampangnya, kelihatannya anak ini berdarah Latin. Dan jelas bukan cowok Belanda asli. Soalnya dia terus menerus berbahasa Inggris.
Saya yang masih kaget, asal jawab, “Oh ya? Mungkin juga ya?”.
Jawaban dia kemudian sepertinya sengaja dialihkan ke topik lain.“Kamu mau kemana? Kamu punya waktu nggak? Aku mau traktir kamu di cafe sana. Kita ngopi sama-sama, yuk!”.
Mendengar jawaban itu, kontan saya merasakan sesuatu yang tidak beres. Lalu saya jawab, “Saya nggak punya waktu. Sorry saya buru-buru”. Saya masih menolak dengan halus. Tapi dia terus berjalan, terus membujuk agar saya bersedia ditraktir. Semakin cepat saya berjalan, semakin cepat juga langkahnya mengikuti saya. Dan teruuus saja merayu. Sekali-sekali dia melucu dengan selera humor yang boleh juga. Taktiknya untuk terus merayu, bikin saya geleng-geleng kepala.
“Halaah...kamu ini 'young boy', kok capek-capek merayu tante-tante sih”, seru saya agak keras.
Ketika saya sudah kewalahan dipaksa-paksa terus, akhirnya saya bilang, “Heh, kamu cepat pulang. Udah ditungguin mama kamu!”. Dia langsung kabur tanpa ba bi bu.
Seandainya masih muda, cantik, dan belum menikah pun, alarm di otak saya langsung waspada, untuk tidak melayani pemuda ganteng itu. Mencurigakan, bukan cuma karena mengajak dating wanita yang kebetulan berpapasan di jalan, adalah cara yang tak lazim di Belanda. Pasalnya, beberapa tahun belakangan ini, Belanda sedang diramaikan oleh “kasus loverboys". Fenomena ini mulai terdeteksi sejak tahun 1995.
Di Belanda, loverboys sudah menjadi istilah baku yang ditujukan pada para pemuda yang suka mencari mangsa wanita, untuk dirayu, dipacari, kemudian dijual. Loverboys yang umumnya ganteng-ganteng itu, punya cara khas dalam menjerat mangsanya. Pertama, mereka mendekati seorang gadis, merayu dan memacari. Mereka biasanya sengaja mencari mangsanya di jalan, di sekolah, di mall. Bahkan juga melalui situs pertemanan dan chatting site.
Foto: Ikonrtv.nl
Di Belanda, loverboys digelari “serigala berbulu domba”. Soalnya cara mereka merayu dan mendekati wanita, memang maniiiiis tapi maut. Wanita akan merasa dirinya tersanjung setinggi langit. Dihadiahi barang-barang mahal. Sehingga mangsanya merasa dirinyalah satu-satunya yang paling penting bagi pria itu. Padahal tak jarang loverboys memacari beberapa wanita sekaligus dalam waktu yang sama, tentu di luar sepengetahuan para korbannya.
Jika korbannya sudah berhasil dipacari, perlahan-lahan gadis itu akan dipisahkan dari keluarga dan lingkungannya. Diajak liburan bersama, kemudian diajak tinggal bersama. Loverboys berusaha membuat gadis ini terikat secara emosional dengan dirinya. Gadis ini lalu dihasut untuk melawan orangtuanya. Jika gadis itu sudah terbuang dari keluarganya, otomatis hidup gadis itu akan tergantung dalam segala hal pada loverboys. Dan ini artinya korban sudah masuk perangkap.
Ketika si gadis sudah betul-betul jatuh cinta berat, maka si gadis sudah terjerat menjadi korban. Selanjutnya gadis ini dipaksa menjadi “mesin uang”buat loverboys. Si gadis sudah tidak bisa lagi menolak saat dijual jadi pelacur, atau dipaksa menjual drugs. Atau malah dicekoki drugs, hingga kecanduan. Kalau sudah kecanduan, tanpa dipaksa pun seseorang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan duit.
Duit dari hasil kerja si gadis, harus diserahkan pada loverboys. Biasanya si korban sulit menolak saat dipaksa. Karena korban sudah dicekoki “hubungan hutang budi”. Loverboys mengaku punya utang demi membiayai hidup si gadis. Dan utang itu harus dibayar. Dengan duit maupun bayaran dengan cara lain. Kata loverboys, gadis itu mesti “tidur” dengan si pengutang atau membantu si pengutang melancarkan bisnisnya (bisnis drugs).
Keterangan foto: Gambar ini diperagakan oleh model (bukan loverboy dan korbannya)
Korban sendiri biasanya takut melaporkan diri ke polisi, karena ditakut-takuti oleh loverboy, bahwa si gadis itu sendirilah yang kriminal, karena menjual obat-obatan terlarang secara ilegal. Bahkan banyak kasus, si korban dianiaya jika tidak patuh pada perintah loverboy.
Kasus loverboys di Belanda, sudah dianggap masalah sosial serius. Kasus ini paling banyak ditemukan di Amsterdam. Maklum, di Amsterdam ada pusat prostitusi yang terbesar di Belanda. Umumnya pelakunya (89%) adalah para pemuda pendatang, berusia antara 16-30 tahun. Korbannya sebagian besar gadis muda, bahkan tak jarang masih di bawah umur, 12-13 tahun. Ini tentu meresahkan. Para orangtua, terlebih yang punya anak gadis mulai cemas. Apalagi jumlah korban semakin meningkat. Menurut data, setiap tahun sebanyak 1000-1500 wanita yang menjadi korban loverboys. Miris melihat bagaimana gadis pelajar kehilangan masa depan, akibat dijual sebagai pelacur oleh para loverboys.
Begitu meresahkannya kasus ini, sehingga perusahaan telpon Vodafone di Belanda ikut menunjukkan kepedulian untuk mengantisipasi (NRC Handelblad, edisi 3 November 2010).Perusahaan Vodafone melatih pegawainya untuk mengenali pembeli telpon yang patut dicurigai sebagai loverboys dan korbannya. Rupanya banyak kasus, seorang gadis di bawah umur dipaksa membeli telpon genggam mewah oleh seorang pemuda (diduga loverboys). Bukan hanya itu, pulsa telpon juga harus dibayar sang gadis. Ini tentu mencurigakan. Karena di Belanda, adalah janggal jika gadis-gadis di bawah umur punya cukup uang untuk membeli telpon mahal. Nyaris tak ada orangtua yang memberi uang saku berlebihan pada anak mereka. Vodafone menghimbau pegawainya untuk segera menghubungi biro perlindungan anak dan remaja, jika melihat ada pembeli yang disinyalir sebagai loverboys dan korbannya.
Bagi yang sudah telanjur menjadi korban, pemerintah menyediakan jasa profesional, untuk memulihkan mental si korban. Agar selanjutnya bisa hidup normal di tengah masyarakat. Kasus ini juga membawa hikmah bagi para orangtua. Yaitu berusaha mengakrabkan diri dengan anak gadis mereka.
Orangtua berusaha berperan sebagai sahabat terpercaya bagi si anak. Juga berupaya agar anak mau terbuka menceritakan masalah mereka. Tantangan bagi orang tua, apakah bisa memberi perasaan aman dan terlindung bagi anak. Sehingga anak tak perlu terjerumus akibat perlindungan semu di luar sana.
Walentina Waluyanti
Nederland, 3 November 2010
{backbutton}