Penulis dan Komentator
Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Klik! Musik itu saya stel. Pas musiknya. Pas ngetiknya. Saya mulai mengetik. Beberapa kalimat. Sebuah kalimat yang baru diketik, saya hapus lagi. Kalimat yang kalau diucapkan, maka komentar orang pasti, 'Alaaa, nenek-nenek juga tahu'.
Ya, iyalah. Siapa yang tidak kenal kalimat ini. 'Nenek saya bilang, kita harus selalu rendah hati. Tidak boleh sombong.' Coba, nenek siapa yang tidak pernah menasihati begitu? Bahkan orangtua, kakek nenek yang paling sombong pun bilang begitu. Lagi pula, bukankah nasihat semua agama juga begitu 'kan? Tentang ini, kita simak percakapan berikut.

“Kenapa sih somse begitu? Mentang-mentang!”
“Enak aja main tuduh!”
“Kenapa sih nggak menanggapi komentar? Pasti alasan kamu sibuk, nggak ada waktu 'kan? Basi!”
“Wah, bakalan main hakim “Arif Budi” nih!”
“Hakim Arif Budi gimana!?”
“Lha iya! Ujung-ujungnya pasti ke situ! Kalau berkomentar, itu artinya arif dan tidak sombong. Kalau tidak menanggapi komentar itu artinya budi-nya minus, sombong, tidak menghargai orang.”
“Jadi maksud kamu, walau no comment, tapi kamu baik budi. Nggak sombong, menghargai orang. Mau bilang begitu 'kan?”
“Ah, nggak penting apakah saya sombong atau tidak”.
“Ya penting, dong! Penulis sombong bikin orang malas baca tulisannya.”
“Oh, begitu, ya?”
“Yang kasih komentar lama-lama bisa jengkel, kalau komentarnya tidak ditanggapi”.
“Betul juga sih. Penulis juga tahu itu. Tapi... “
“Apanya yang tapi? Penulis apaan kamu? Cuma menulis thok. Habis itu kabur!”.
“Memvonis dari kacamata sendiri memang gampang. Sama gampangnya dengan menilai hitam putih. Tidak berkomentar artinya sengak, sok. Kita nggak tahu isi kepala orang. Tiap orang punya alasan sendiri. Mengapa berkomentar? Mengapa tidak ingin berkomentar? Tidak semua hal perlu dijelaskan”.
***
Interaksi antara penulis dan komentator adalah hal tak terhindarkan di media on-line. Dalam interaksi ini, ada rambu tak tertulis. Kalau diikuti, ya baik. Kalau tidak, ya tidak berarti dosa. Etika ini tidak selalu sama ukurannya pada setiap media. Tergantung ruangnya juga.
Ada ruang yang interaksi antara pembaca dan penulisnya, bukan target utama. Antara pembaca dan penulisnya tidak saling kenal. Karenanya, kalau saling cuek, tidak ada dampak apa-apa. Kalau penulis dan pembacanya cuek dan dicueki, ya no problem. Tidak akan timbul rasa tidak enak. Motivasi penulisnya, tak lebih dari sekedar menulis. Tidak jadi soal apakah tulisannya dikomentari atau tidak. Ada yang mau baca, itu sudah cukup. Begitu juga pembaca. Mengomentari tulisan, bukan karena kenal penulisnya. Tapi murni karena ingin berkomentar.
Menulis untuk komunitas on-line, misalnya komunitas citizen journalism (CJ), peta-nya lain lagi. Antara penulis dan pembaca umumnya saling kenal. Ada rasa keterikatan sebagai sesama anggota komunitas. Penulis tidak cuma menulis. Pembaca tidak cuma membaca. Penulis ya pembaca juga. Pembaca ya penulis juga. Begitu juga para komentator. Tak sedikit para komentator itu tidak hanya pembaca, tapi juga penulis.
Namanya juga komunitas. Unsur pergaulan sosial juga ikut mewarnai. Seperti halnya orang bergaul, ada yang menyapa. Dan ada yang disapa. Yang menyapa berharap sapaannya dibalas. Dan yang disapa, berusaha untuk balas menyapa di waktu berikutnya. Ada semacam kesepakatan tak tertulis tentang take and give. Ini kuberikan komentar padamu. Tapi kamu memberi komentar juga dong padaku. Walau ini tak wajib, tapi sepatutnya kurang lebihnya begitu. Yang jadi masalah, kalau aturan tak tertulis tadi tidak diikuti. Akan timbul rasa tidak enak satu sama lain. Ini bukannya tidak disadari oleh para anggota komunitas.
Para penulis, pembaca, komentator dalam komunitas CJ, umumnya bukan orang bodoh. Bisa dipastikan mereka umumnya terpelajar, berpendidikan, tahu etika. Mereka tahu sombong itu tidak baik. Juga tahu, rendah hati itu norma pantas. Mereka bukan anak kecil yang harus diajari tata krama seperti itu. Lihat saja. Tak sedikit penulis yang berusaha membalas satu per satu komentar pembaca. Juga penulis dan pembaca 'berkunjung' ke tulisan-tulisan lain, memberi komentar. Tak hanya berkomentar. Tapi juga sekedar menyapa, mengirim salam, atau saling menggoda. Terjadi interaksi antara para anggota komunitas. Penulis senang, pembaca senang, komentator senang.

Tapi kenyataanya? Tidak semua orang di komunitas itu memberi, atau menanggapi komentar. Tidak semuanya bisa menyapa dan membalas sapaan. Tak berperasaan-kah mereka? Sombong-kah mereka? Tidak tahu tata krama-kah mereka? Kurang ajar-kah mereka? Ada anggota komunitas, walau bahunya diguncang-guncang, namun tetap bungkam seribu bahasa.
“Takut ngomong ya? Ini alam demokrasi, bos. Sudah tidak jamannya tutup mulut. Jaman sekarang, jaman blak-blakan. Transparan. Jantan, bos! J a n t a n !”.
“Maksud kamu, jamannya menghormati kebebasan berbicara?”
“Orang 'kan punya mulut. Boleh ngomong apa saja”.
“Demokrasi artinya, menghormati kebebasan berbicara... it's OK! Bagaimana dengan kebebasan untuk tidak bicara? Menghormati kebebasan untuk tidak bicara, alias diam, juga bagian dari demokrasi 'kan?”
“Diam? Itu bukan demokrasi namanya!”
“Sok tahu, ah! Jadi apa dong namanya? Demo terasi?”
“Garing, ah!”
***
Hmm, yang jelas, mengomentari artikel, bukanlah perkara remeh. Itu juga makan waktu dan energi. Bagaimana pun sederhananya. Bobotnya bisa saja sama kreatifnya dengan menulis artikel. Sudah kreatif menulis artikel, ditambah kreatif menulis komentar? Penulisnya pasti punya tenaga ekstra!
Penulis, pembaca, komentator, yang aktif berinteraksi dalam sebuah komunitas, patut dihargai. Andil mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Bagaimanapun, mereka ikut berperan membuat komunitas menjadi lebih 'hidup'. Saya tertarik mengamati beberapa tipe penulis dan komentator di komunitas Citizen Journalism.
Tipe penulis:
1. Penulis ramah: Penulis ini bukan cuma menulis. Tapi dengan sabar dan ramah menanggapi satu per satu komentar.
2. Penulis gaul: Penulis ini bukan cuma sabar menanggapi satu persatu komentar. Tapi juga rajin meninggalkan komentar di semua tulisan. Bahkan juga menyapa satu per satu anggota komunitas.
3. Penulis antara ada dan tiada: Penulis ini tidak pernah memberi komentar apa-apa. Tidak pernah menyapa. Orangnya tidak pernah diketahui sosoknya. Namanya tidak jelas. Tak seorang pun di komunitas yang mengenal dirinya. Bahkan walau dituduh negatif, artikelnya diributkan, ia tetap memilih untuk tidak berkomentar, apalagi menyapa. Ia merasa kemunculannya sudah terwakili melalui tulisannya. Sudah cukup 'kan?
4. Penulis cuek: Kadang muncul. Kadang tidak. Bahkan ada ribut-ribut pun, ia tetap tak terpancing. Entah autis, entah tidak, ia seakan hidup di dunianya sendiri.
5. Penulis sniper: Kebalikan dari penulis cuek, penulis ini rajin meneliti satu per satu tulisan. Namanya juga sniper. Jadi spesialisasinya adalah tukang bidik. Siap mengarahkan tembakan. Siap-siap saja kalau sudah dibidik. DOR!!! Ini alamat perang polemik. Tapi begitulah dinamika berdemokrasi. Dan ini tidak berarti negatif 'kan?
6. Penulis santai kayak di pantai: Penulis ini mungkin saja bawaannya selalu ceria. Kalau ada yang rese, maka kalimat 'menulis apa saja', jadi solusi. Kenapa sih pusing-pusing soal materi tulisan, darimana, bagaimana hasilnya. Eits! Jangan salah lho! Walau menulis apa saja, tapi tidak 'asal saja', begitu katanya.
7. Penulis 'titik': Penulis ini pretensi-nya hanya ingin menulis sebaik yang ia mampu. Titik. Jurnalisme warga? Interaktif? Jejaring sosial? Apa itu?! Ia tidak mengerti kalau diprotes, karena enggan menanggapi dan ogah berdiskusi di kolom komentar. Lha, dirinya tidak pernah protes kalau komentator tidak mau bikin artikel. Lha kok, kenapa ia diprotes kalau tidak bikin komentar? Katanya, porsinya semata-mata adalah penulis … TITIK. Wah, logikanya memang logika pakai porsi. Bisa aja nih logika pangsit satu porsi. Hehehe...
8. Penulis hati-hati: Biasanya penulis semacam ini tercatat namanya di komunitas, bukan pakai nick-name, tapi identitas asli. Untuk orang yang pakai nama asli, ada cukup alasan mengapa harus berhati-hati di dunia maya. Dengan membatasi kemunculan, risiko tak diinginkan bisa diminimalisir. Komentarnya sangat sulit ditemui di hampir setiap artikel, bahkan di artikelnya sendiri pun tidak.
9. Penulis 'cute': Mungkin juga 'cute'-nya, karena gayanya yang innocence saat mohon pengertian pembaca. Katanya, “CJ itu 'kan tempat orang belajar menulis. Jadi kalau tulisan salah-salah, sedikit atau banyak, ya boleh-boleh saja”. Tentu saja tidak semua penulis CJ berpikir begini. (Meski harus diakui, proses belajar itu tidak kenal kata mandeg!) Tapi bagaimana ya kalau misalnya definisi CJ tiba-tiba memblunder? Saya bayangkan akan membaca definisi di Wikipedia, “Citizen Journalism adalah tempat bagi warga untuk belajar menulis” (??#%&??)
10. Penulis semangat '45: Penulis ini semangat menulisnya di kolom citizen journalism, seperti orang lagi migrain. Maksud saya, orang sakit kepala 'kan biasanya pakai ikat kepala. Jadi ya kayak pejuang '45 di film-film itu. Ia menganggap citizen journalism sudah saatnya diangkat harkatnya. Ia tidak rela kolom citizen journalism dikonotasikan jadi kolom 'tempat sampah'. Kolom CJ memang harus memberi tempat bagi hak demokrasi rakyat. Tapi juga tidak begitu saja pasrah mengorbankan diri sebagai tempat pembuangan. Baginya, CJ juga punya hak untuk memperjuangkan kualitas. Tidak berarti boleh sembarangan dan asal saja. Penulis tipe ini, sulit untuk saya lewatkan satu pun tulisannya. Sesudah membaca, saya kepalkan tinju ke atas, sambil teriak, MERDEKA BOENG!!! Hehehe....

Tipe komentator:
1. Komentator sesepuh: Ini komentator yang sudah dikenal semua anggota komunitas. Komentarnya selalu tampil di setiap tulisan. Sebagaimana sesepuh, mereka luwes merangkul setiap anggota. Mereka adalah komentator menyenangkan. Disenangi semua penulis dan pembaca.
2. Komentator selektif: Komentarnya hanya pada tulisan tertentu. Misalnya karena penulisnya itu ia kenal dekat. Atau tulisan itu menarik perhatiannya, dan perlu dikomentari.
3. Komentator pukul rata: Kebalikan di atas, komentarnya diberikan pada semua tulisan. Tanpa kecuali. Dengan konsistensi komentar-komentarnya, mereka mampu membangun simpati. Juga pandai menjalin pertemanan dengan sesama warga komunitas.
4. Komentator bayar utang: Wah, penulis A kemarin sudah memberi komentar di tulisan saya. Jadi saya harus balas kasih komentar di artikelnya juga.
5. Komentator penulis (atau penulis komentator?): Komentarnya diuraikan secara lengkap dan rinci. Seperti menulis artikel. Bahkan komentarnya berisi info lebih lengkap daripada artikel yang dikomentarinya.
6. Komentator muatan listrik: Ada dua jenis muatan listrik. Positif dan negatif. Begitu juga komentator. Ada komentator yang selalu tampil dengan nada positif. Bahkan walau mengkritik, tetap saja mampu mengatakannya dengan enak. Komentator yang sering negatif, menghujat, sinis, melecehkan, mudah dibaca langkahnya. Karena itu mudah diantisipasi.
7. Komentator kreatif: Ide untuk berkomentar selalu adaaa saja.
8. Komentator Sule: Kocaknya kayak Sule. Mampu bikin orang ngakak di setiap komentarnya.
9. Komentator supporter: Rajin memberi semangat pada setiap penulis untuk tetap berkarya.
10. Komentator favorit: Penulis punya penggemar, itu biasa. Tapi penulis juga bisa nge-fans pada komentator. Umumnya komentator tak menyadari, mereka juga punya penggemarnya sendiri. Punya pengagum rahasia. Ciaileeh. Komentarnya selalu dinanti-nanti. Ia mampu membuat komentar menjadi menarik. Tak kalah menariknya dari membaca artikel. Bedanya cuma penulis artikel bersuara di kolom artikel, komentator bersuara di kolom komentar.
11. Komentator tidak tega-an: Baginya, sesama anggota komunitas semuanya adalah teman. Sekali memberi komentar pada teman yang satu, artinya juga mesti adil memberi komentar pada teman yang lain. Padahal tidak semua orang, termasuk dirinya, sanggup menyediakan waktu untuk memberi komentar secara adil merata (kok jadikayak jurus poligami). Solusinya, ia lebih sering memilih no comment.
Tipe apapun, sepatutnya jurnalisme tidak hanya menghormati hak untuk bebas berbicara. Tapi juga menghormati hak untuk mengomentari kebebasan berbicara itu. Bagaimana dengan no comment? Walau setiap penulis berterima kasih pada semua komentator tulisannya, tapi tidak harus berprasangka, apalagi melecehkan dan menghakimi mereka yang memilih 'no comment'. Bukankah hak untuk diam, tidak berkomentar juga sejajar dengan hak berbicara?
Walentina Waluyanti
Nederland, 6 April 2012
{backbutton}