Penulis Berhak Menolak Jika Penerbit Mengunggah Naskah ke Buku Digital

Penulis: Walentina Waluyanti – Belanda

Penulis berhak menolak jika tak setuju penerbit mengunggah naskahnya ke buku digital. Dalam praktik, tak jarang penerbit menginformasikan kepada penulisnya setelah mengunggah sebuah naskah ke buku digital. Tindakan penerbit tersebut jelas merupakan pelanggaran hukum, yang bisa berujung pada tuntutan hukum. Memberi izin kepada penerbit untuk menerbitkan buku cetak, bukan berarti penulis itu memberi izin untuk mengunggah naskahnya ke buku digital. Secara baik-baik, penulis bisa menyampaikan keberatan atas pelanggaran itu dengan memberi dasar hukumnya, yaitu tindakan penerbit tersebut melanggar Pasal 49 UU Hak Cipta No. 19 Tahun 2012. Penerbit harus menginformasikan kepada penulis SEBELUM mengunggah naskah, BUKAN SESUDAH mengunggah naskah ke buku digital.

Hak penulis yang kadang diabaikan, yaitu hak menolak atau hak untuk tidak mengizinkan penerbit jika penulis tak menghendaki naskahnya diunggah ke buku digital (izin terbit diberikan penulis hanya untuk buku versi cetak). Bisa terjadi penerbit kelewat "PeDe", memutuskan secara sepihak tanpa mempertimbangkan persetujuan penulis, karena menganggap semua penulis "kebelet" ingin segera bukunya diterbitkan. Jika tak berhati-hati, ke-"PeDe"-an ini bisa kebablasan sampai akhirnya disadari atau tidak, terjadilah wanprestasi.

Untuk mencegah terjadinya kasus di atas, sebaiknya penulis mencermati Surat Perjanjian Penerbitan (SPPB) sebelum menandatanganinya. Jangan sampai terjebak menandatangani sesuatu yang tidak disetujui. Tak sedikit penulis karena saking senangnya naskahnya akan diterbitkan, tanpa meneliti isi kontrak, langsung menandatangani kontrak penerbitan atau SPPB yang disodorkan oleh penerbit. Umumnya penulis khawatir, jika tak segera menandatangani kontrak, kemungkinan penerbit akan membatalkan rencana penerbitan itu. Betulkah demikian?

Dalam perjanjian antara penerbit dan penulis, sebetulnya kedua belah pihak adalah mitra kerja yang sejajar. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah di antara keduanya. Jika penerbit boleh mengajukan apa yang menjadi haknya, demikian pula penulis punya hak-hak yang bisa dicantumkan di dalam perjanjian.

Perjanjian yang merugikan salah satu pihak bisa berujung pada sengketa hukum

Kekhawatiran penulis bahwa mungkin bukunya tidak akan diterbitkan, jangan sampai mengabaikan hak-haknya sebagai penulis. Di dalam bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan, penerbit yang baik akan memberi hak-hak imbang kepada penulis untuk menyampaikan permintaannya, tentu saja selama proporsional, logis, dan tetap menguntungkan kedua belah pihak. Ingatlah bahwa Surat Perjanjian Penerbitan harus berazaskan itikad baik; tidak boleh berpotensi merugikan salah satu pihak; tidak boleh ada klausul di dalamnya yang bertentangan dengan peraturan hukum. Surat Perjanjian Penerbitan mengandung konsekuensi yuridis, yaitu jika ada pelanggaran perjanjian, maka ini artinya berujung sengketa yang bisa dibawa ke pengadilan. 

Sebetulnya wanprestasi yang mungkin bisa dilakukan oleh pihak penerbit, bisa diantisipasi sebelumnya jika penulis membaca teliti pasal-pasal di dalam Surat Perjanjian. Sebaliknya penerbit juga mesti waspada, jangan lengah, menyangka bahwa penulis toh akan selalu pasif, pasrah jika terjadi wanprestasi, tidak berani melakukan gugatan. Di antara sekian banyak penulis, selalu saja ada penulis "nekad" (katakanlah begitu, apalagi kalau penulis itu dikitari oleh lingkungan pengacara yang merupakan teman-temannya sendiri), sehingga dengan dasar hukum yang kuat, ngotot menggugat penerbit ke pengadilan, karena merasa yakin akan mendapat uang ganti rugi yang harus dibayar oleh penerbit.

ramalannasib-2

Foto: justitie

Yang paling penting penulis harus tahu apa yang menjadi hak, wewenang, dan kewajiban penulis dan penerbit. Dan hal ini harus tercantum secara spesifik di dalam pasal-pasal perjanjian. Sebaiknya pasal-pasal perjanjian itu mempunyai judul untuk setiap klausul, agar bisa jelas pengklafikasian setiap klausul. Penulis juga harus bisa menyadari perbedaan antara istilah "hak, tugas/wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban". Misalnya kalimat, "Penerbit wajib mengunggah naskah ke buku digital"... ingat ini namanya bukan kewajiban... dan karena itu penulis berhak menolak kalimat tadi, jika penulis tak bersedia naskahnya diunggah ke buku digital. Jika tercantum kalimat "Penerbit bertanggungjawab mengunggah naskah ke buku digital"... perlu diperjelas dahulu, apakah memang penulis setuju naskahnya diunggah ke buku digital. Jika tidak bersedia, maka penulis berhak meminta kalimat tadi dihapus.

Mengunggah naskah ke buku digital tanpa izin penulis = pelanggaran hukum

Penerbit yang mengunggah naskah ke buku digital tanpa sebelumnya meminta izin kepada penulis, adalah tindakan melawan hukum, karenanya bisa dihukum. Penulis perlu mengetahui, UU manapun tak ada yang membenarkan kalimat bahwa penerbit WAJIB dan BERTANGGUNGJAWAB mengunggah naskah penulis ke buku digital. Dengan kata lain penerbit TIDAK PERLU WAJIB dan TIDAK PERLU BERTANGGUNGJAWAB mengunggah naskah ke buku digital, tanpa disertai perjanjian dan izin dari penulis. Persetujuan untuk menerbitkan  buku (cetak), harus dipisahkan dengan persetjuan untuk buku digital.

Yang  benar adalah, penerbit WAJIB memberitahu atau meminta izin penulis sebagai pemegang Hak Cipta, sebelum mengunggah ke buku digital. Kewajiban penerbit untuk meminta izin kepada penulis sebagai pemegang Hak Cipta, tersirat di dalam dalam Pasal 49 UU Hak Cipta Hak Cipta No.19 Tahun 2002.

Salah satu hak penulis adalah berhak menyetujui atau tidak menyetujui ke dalam bentuk apakah bukunya itu akan dipublikasikan. Apakah ke dalam bentuk buku cetak, ke dalam bentuk buku digital, atau kedua-duanya? Penulis harus terlebih dahulu memastikan ke dalam bentuk apakah bukunya akan dipublikasikan. Setelah itu, jika penulis menerima Surat Perjanjian, sebaiknya meneliti isi kontrak. Jika penulis ingin bukunya diterbitkan hanya dalam buku cetak, hendaknya penulis tidak menandatangani SPPB yang mencantumkan pasal yang menyatakan bahwa karya penulis akan diunggah ke dalam buku digital. Penulis berhak meminta penerbit meninjau ulang isi SPPB tersebut dan merevisi kembali sesuai tujuan penulis, jika hanya ingin bukunya diterbitkan ke dalam bentuk buku cetak.

Kontrak terpisah

Sebetulnya penulis juga berhak meminta kontrak terpisah, yang tidak mencampur-adukkan antara kontrak untuk penerbitan buku digital dan kontrak untuk buku cetak. Mengapa sebelum menandatangani kontrak, penulis harus terlebih dahulu memastikan, apakah kontrak itu mengatur tentang perjanjian penerbitan buku digital, buku cetak, ataukah keduanya? Jawabnya antara lain adalah agar tidak terjadi kasus seperti di bawah ini:

Penulis A mengirim naskahnya kepada penerbit mayor dengan harapan bahwa naskahnya akan terbit ke dalam buku cetak. Penulis A menandatangani kontrak bahwa bukunya akan diterbitkan. Tetapi apa yang terjadi? Jauh dari harapannya, ternyata bukunya hanya diterbitkan oleh penerbit dalam bentuk buku digital. Ketika Penulis A bertanya kepada penerbit kapan bukunya akan terbit? Penerbit menjawab, bukankah bukunya sudah terbit (dalam buku digital) dengan kata lain penerbit telah memenuhi kewajibannya? 

Ternyata tanpa disadari penulis A, pasal isi kontrak itu lebih bertitik-berat kepada penerbitan buku digital. Padahal maksud penulis A mengirim naskah ke penerbit mayor itu adalah karena menyangka bukunya akan diterbitkan ke dalam buku cetak. Penulis A kecewa. Kalau tahu cuma begini hasilnya, bukankah ia tidak perlu menggunakan perantara penerbit mayor itu? Bukankah ia secara langsung bisa mengunggah naskahnya sendiri atau mengirim langsung ke Penerbit E-book, tanpa perlu repot-repot ke penerbit mayor tersebut, dan mengurus royaltinya sendiri? Penulis A mahfum, mencari profit adalah sesuatu yang wajar dalam industri penerbitan, tetapi cara yang digunakan membuatnya merasa terjebak. Ketika penulis A menanyakan kembali, kapankah buku dalam versi cetak akan diterbitkan, penerbit hanya menjawab "nanti", tanpa jadwal pasti. Kesalahan penulis A adalah sebelum menandatangani SPPB, tidak mengecek bahwa kontrak itu ternyata tidak mencantumkan klausul jadwal penerbitan.

Jadwal penerbitan

Surat Perjanjian Penerbitan seharusnya mencantumkan klausul jadwal penerbitan, yang memberi kejelasan jadwal pada bulan berapa dan tahun berapa buku akan diterbitkan. Pencantuman klausul JADWAL PENERBITAN adalah lazim dan sudah merupakan aturan standard dalam perjanjian penerbitan. Justru salah satu dasar mengapa Surat Perjanjian Penerbitan itu diadakan, karena para pihak dalam perjanjian tentu telah punya target jadwal kapan buku itu akan terbit. Tanpa tahu kapan jadwal buku itu diterbitkan, apa gunanya Surat Perjanjian itu dibuat? Oleh karenanya pencantuman pasal tentang JADWAL PENERBITAN, justru sangat krusial dan harus dinyatakan jelas di dalam SPPB. Apabila lewat dari periode tersebut naskah belum diterbitkan, maka penulis berhak menarik kembali naskahnya.

Bagaimana jika Surat Perjanjian Penerbitan tidak mencantumkan klausul JADWAL PENERBITAN? Jika demikian, maka penulis berhak meminta penerbit merevisi SPPB tersebut, agar ada pencantuman pasal/klausul jadwal penerbitan, sebelum penulis terjebak pada situasi "digantung dan terus menanti tiada akhir".

Perjanjian harus dibuat berdasarkan itikad baik, dan ini harus tercermin pada isi perjanjian yang meminimalisasi segala kemungkinan terjadinya wanprestasi. Dengan semakin derasnya trend buku digital dengan segala kekhususannya, sudah saatnya ada pemisahan antara kontrak buku digital dan kontrak buku cetak.

Penyebab buku digital lebih menguntungkan penerbit ketimbang buku cetak

Sekarang ini digitalisasi buku merupakan lahan yang mulai dilirik penerbit. Maklum, penerbitan buku digital membuat penerbit bisa meraup keuntungan lebih besar dengan biaya rendah, dibanding jika memproduksi buku versi cetak. Dengan hanya mengunggah karya penulis ke dalam buku digital, penerbit nyaris tak mengeluarkan biaya produksi dan distribusi seperti kalau membuat buku cetak, ditambah penerbit memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar melalui royalti pengunggahan buku digital. Dan sampai kapan batas waktu royalti buku digital itu bisa dinikmati penerbit? Apakah memang betul sampai batas waktu yang tertera di kontrak? Runyamnya, malah ada Surat Perjanjian Penerbitan yang tidak mencantumkan batas waktu kontrak.

Begitu sebuah karya terpublikasikan melalui buku digital, sifat digitalisasi dan elektronis itu sendiri, membuat banyak hal yang otomatis berada di luar kesanggupan jangkauan penulis, yang menyulitkan sistem pengawasan. Jika hal ini terjadi, pihak yang dirugikan biasanya adalah penulis, karena pasal-pasal Surat Perjanjian umumnya belum cukup memadai untuk melindungi hak-hak penulis.

Memang digitalisasi buku bisa membawa keuntungan royalti yang lebih kepada penulis, dibanding royalti atas buku cetak. Namun dalam kasus penulis A di atas, hendaknya tidak dilupakan, penerbit meraup keuntungan lebih banyak lagi. Padahal sebetulnya keuntungan yang lebih banyak bisa diurus sendiri oleh penulis, jika ia memang bermaksud menerbitkan bukunya secara langsung secara digital, tanpa perlu melalui penerbit (cetak).

Kalaupun penulis setuju bukunya diunggah ke dalam buku digital, maka sebaiknya penulis terlebih dahulu memastikan apakah pasal-pasal isi kontrak itu adil, transparan, seimbang, spesifik, dan mendetail, mencerminkan itikad baik, dan saling menguntungkan. Tanpa pengaturan isi kontrak yang disusun secara spesifik dan mendetail, maka perjanjian itu menjadi rawan sengketa, karena masing-masing pihak bisa menafsirkan menurut versi masing-masing. Sebaiknya pasal-pasal dalam Surat Perjanjian Penerbitan tidak bersifat terlalu umum, melainkan diatur secara mendetail dan spesifik, dan tiap pasal diberi judul sebagai spesifikasi tiap perkara. Pasal-pasal yang disusun mendetail dan spesifik dalam Surat Perjanjian Penerbitan Buku (SPPB), bisa menghindarkan "interpretasi karet" yang mungkin bisa ditarik-ulur seenaknya oleh pihak yang lebih kuat, yang mengakibatkan pihak yang lemah tergencet dan dirugikan.

Bukan hanya penerbit, penulis (juga penulis pemula) punya hak bernegosiasi

Peluang terjadinya wanprestasi tidak perlu terjadi jika penulis menyadari bahwa dirinya adalah mitra kerja sejajar dengan penerbit, karenanya juga punya posisi setara dengan penerbit dalam membela hak-haknya. Hak bernegosiasi adalah juga hak penulis, dan ini adalah sesuatu yang wajar sebelum menandatangani kontrak. Penerbit umumnya tahu, penulis lebih mengutamakan ambisi ingin agar bukunya dipublikasikan, takut jika bukunya tidak diterbitkan. Ketakutan penulis ini terkadang dimanfaatkan penerbit. Sehingga yang terjadi di dalam perjanjian penerbitan, adalah kondisi yang timpang. Umumnya penerbit sudah siap dengan draft kontrak yang telah dibuat dan ditandatangani sebelumnya. Dan karena draft itu dibuat oleh penerbit sendiri, maka isinya lebih bertitik berat kepada kepentingan pembuatnya. Sementara penulis hanya bisa terima saja dan tandatangan. Tak jarang hak-hak penulis menjadi terabaikan, tetapi ini baru disadari setelah kontrak itu ditandatangani. Mau protes, sudah terlambat. Karena sudah telanjur menandatangani kontrak tanpa meneliti.

Dalam pengalaman saya sendiri, saya menolak dan TIDAK BERSEDIA jika buku saya diunggah ke buku digital, baik buku "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan", maupun buku "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen". Saya rasa jika penulis menyampaikan dengan baik-baik, maka penerbit bisa memahami. Justru jika penulis menyampaikan keinginannya, maka penerbit yang bijak akan melihat hal ini sebagai bahan masukan. Saya berpendapat perlunya ada pemisahan antara kontrak perjanjian/Surat Perjanjian Penerbitan Buku untuk buku digital dan kontrak untuk buku cetak. Ini mengingat ada terlalu banyak aspek yang perlu didetailkan dalam perjanjian buku digital. Melalui penerbitan buku digital, ada banyak kompleksitas yang sulit terhindarkan, yang berada di luar kendali penulis. Dan semua kompleksitas itu umumnya tidak cukup tertampung melalui pengaturan pasal singkat di dalam kontrak yang dicampur-aduk dengan penerbitan untuk buku cetak.

Surat Perjanjian tidak boleh cacat hukum

Dengan semakin maraknya digitalisasi buku, kita tunggu saja, penerbit manakah di Indonesia yang berani menjadi pelopor, dalam melakukan terobosan inovatif dengan membuat kontrak terpisah yang secara spesifik dan mendetail khusus mengatur kontrak untuk buku digital (tidak dicampur-aduk dengan kontrak buku cetak). Karena pada dasarnya UU Hak Cipta mengatur bahwa penggandaan dan penyebaran informasi di dalam jaringan internet atau mengunggah sebuah karya ke dalam buku bentuk buku digital itu hanya diperbolehkan, setelah terlebih dahulu memeberitahu/meminta izin kepada pemegang Hak Cipta (BUKAN SESUDAH MENGUNGGAH KARYA PEMEGANG HAK CIPTA).

Dalam praktik, sering terjadi salah kaprah, menyangka bahwa pemberian izin untuk penyebaran buku cetak, sama dengan pemberian izin untuk pengunggahan buku digital. Padahal keduanya jelas berbeda pengaturan hukumnya. Selain itu, dalam hal strategi penanganan, tentu ada perbedaan siginikan antara buku digital dan buku cetak.

Yang perlu digarisbawahi, Surat Perjanjian Penerbitan tidak boleh mengandung unsur melawan hukum. Misalnya, di dalam kontrak penerbitan tercantum kalimat bahwa penerbit akan memberitahu penulis, apabila naskahnya telah selesai diunggah ke dalam buku digital. Kalimat ini sendiri jelas mengandung unsur melawan hukum, karena melanggar UU Hak Cipta yang menyatakan bahwa suatu karya hanya dapat diunggah ke komputer/internet (dalam hal ini buku digital), jika sebelumnya telah meminta izin kepada penulis, bukan sebaliknya, sesudah menggunggah naskah tersebut.

Jika sebuah perjanjian memuat pasal yang mengandung unsur melawan hukum, maka perjanjian itu cacat hukum dan dapat batal demi hukum. Naskah yang diunggah oleh penerbit ke buku digital tanpa terlebih dahulu minta izin kepada penulisnya, merupakan tindakan pelanggaran hukum yang bisa diperkarakan ke pengadilan.

fr wwWalentina Waluyanti

Penulis "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan"

{backbutton}

Add comment