Pengalaman Mengikuti Perpustakaan Keliling Galangpress Yogya dan Nonton Musik Blekothek
Penulis: Walentina Waluyanti - Nederland
Saya berkesempatan mengunjungi Galangpress Publisher di Yogyakarta, (16/9-2013). Sebenarnya kunjungan ini dalam rangka penerbitan buku saya, berjudul “Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen” (selesai cetak pertengahan Oktober ini, awal November beredar di Gramedia dan toko buku di Indonesia).
Namun keakraban dengan redaksi Galangpress yang bagai keluarga sendiri, membuat kunjungan saya ke kantor penerbit ini, berubah menjadi kunjungan kekeluargaan.
Foto: Penandatanganan surat perjanjian penerbitan. Dari kiri: Jan de Jonge, Walentina Waluyanti, Julius Felicianus (Direktur Galangpress), S. Uji Prastya (Manajer Redaksi), Sigit Suryanto (Editor).
Foto: Teguh Prastowo menyerahkan buku “Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen” kepada Walentina Waluyanti.
Dalam suasana akrab, diselingi canda dan tawa, saya bertemu tim redaksi Galangpress dan berbincang santai. Di kesempatan itu, kami berbincang tentang road show di radio dan beberapa kegiatan lain sehubungan dengan penerbitan buku ini.
Sesudah memperbincangkan sejumlah program, ada kegiatan Galangpress yang sebetulnya tidak ada hubungannya dengan penerbitan buku saya, tapi justru sangat menarik. Direktur Galangpress, Julius Felicianus mengatakan bahwa besok akan ada kegiatan perpustakaan keliling. Kegiatan ini memang rutin diadakan setiap bulan oleh Galangpress, mengunjungi sekolah-sekolah dasar di desa-desa terpencil di Jawa, dalam rangka menyebarkan semangat gemar membaca kepada anak-anak. Maklum, sekolah-sekolah dasar di desa-desa biasanya tidak memiliki fasilitas perpustakaan.
Karena itu salah satu kegiatan sosial yang diadakan oleh Galangpress adalah berinisiatif mengunjungi sekolah-sekolah dengan bus keliling yang juga berfungsi sebagai perpustakaan mini. Dengan maksud agar anak-anak desa juga mendapatkan kesempatan membaca buku-buku, sesuatu yang jarang mereka dapatkan karena keterbatasan fasilitas.
Bapak Julius bertanya pada saya, “Ibu Walentina tertarik mengunjungi desa-desa di sekitar Yogya sini? Besok perpustakaan keliling kami akan mengunjungi dusun Kenalan di Kecamatan Borobudur. Letaknya sekitar 10 km dari Candi Borobudur. Lokasinya di lereng Gunung Menoreh, di perbatasan antara Magelang dan Kulonprogo.” Saya yang memang ingin tahu bagaimana suasana pendidikan di desa-desa di Jawa, langsung mengiyakan ajakan ini.
Keesokan paginya, Mas Dwikoen, fotografer Galangpress, menelpon, “Sudah siap? Kita berangkat sekarang?”
Foto: Mas Dwikoen, fotografer sekaligus koordinator perpustakaan keliling.
Setelah sarapan, perjalanan yang mengasyikkan ke desa di Kecamatan Borobudur pun dimulai. Suami dan putri saya juga berkenan ikut dalam perjalanan ini. Di depan mobil yang kami tumpangi, tampak “bus perpustakaan” dikemudikan Mas Anta, membawa buku-buku untuk anak-anak sudah mendahului kami.
Setelah kira-kira lebih dari sejam perjalanan, akhirnya kami tiba di SD Kenalan. Dari halaman sekolah yang letaknya di atas bukit, kami dapat melihat ke bawah, ke arah hamparan sawah yang indah. Di balik keindahan ini, SD Kenalan ini termasuk daerah yang terancam longsor di musim hujan, sehingga pihak sekolah sangat berharap ada antisipasi dari Pemda setempat.
Foto: Suasana di halaman sekolah SD Kenalan, dusun Kenalan, Kecamatan Borobudur
Begitu pintu mobil terbuka, segera saja puluhan anak dengan riang menghampiri dan menyalami kami. Setelah menyalami langsung saja mereka menyerbu bus mini yang berisi buku-buku. Di antaranya, saya melihat cergam anak-anak yang ditulis oleh sutradara ternama, Garin Nugroho, teman karib Pak Julius, juga diterbitkan oleh Galangpress. Cergam karya Garin Nugroho terlihat sangat menarik. Buku-buku lain di antaranya buku ensiklopedi bergambar untuk anak, dengan ilustrasi berwarna yang membuat anak tertarik untuk menyimak.
Selanjutnya kami menuju ruang guru, berbincang dengan kepala sekolah Pak Suroto, serta guru yaitu Pak Simus dan Pak Adit. Dari perbincangan, kami memperoleh gambaran bahwa sekolah ini mendidik 65 murid-murid dari keluarga petani kecil. Karena itu sekolah ini berorientasi pada konteks lingkungan dan budaya pertanian.
SD ini juga cukup kreatif dan inovatif. Misalnya membentuk Republik Anak Kenalan dengan memilih presidennya, yaitu Eva Andarini (12), yang berpidato pada Hari Kemerdekaan, dengan menyatakan bahwa kita patut meneladani para pejuang yang tak kenal menyerah. Republik Anak SD Kenalan ini juga menerbitkan majalah sekolah setiap bulan. Majalah ini memuat berbagai karya murid, juga memuat kegiatan sekolah, dan redaksinya dikelola sendiri oleh murid-muridnya.
Kegiatan SD Kenalan ini menimbulkan kekaguman saya pada tim guru, karena kekayaan ide dalam memotivasi murid untuk menggali potensi mereka masing-masing. Misalnya membentuk komunitas sesuai bakat murid. Ada komunitas Lintang Menoreh bagi yang senang menulis, komunitas Wiji Thukul bagi yang berminat pada pertanian, komunitas Blekothek bagi yang berminat pada musik, dan komunitas lainnya. Selain komunitas untuk murid, ada juga kelompok pemberdayaan bagi orangtua/wali, misalnya dengan mengadakan kelompok pengembangan 1.000 kambing. Maklum, peternakan kambing di desa ini turut memberi penghasilan tambahan bagi petani. Kegiatan sosial yang juga penting, SD Kenalan juga mengadakan Gerakan Mengasuh Anak Tani (GeMATI), mengajak pihak ketiga untuk menjadi orangtua asuh bagi murid SD Kenalan.
Setelah perbincangan dengan guru dan kepala sekolah selesai, dan anak-anak puas membaca, saya berkenan berbincang-bincang dengan anak-anak di pendopo sekolah.
Dengan menggelar tikar kami semua saling sharing. Anak-anak bertanya tentang bagaimana kesan-kesan dan pengalaman tinggal di Belanda. Bagaimana kebiasaan dan budaya Belanda? Beberapa anak juga tidak malu-malu mencoba kemampuan bahasa Inggris mereka dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Pak Jan de Jonge.
Foto: Anak-anak mencoba berbahasa Inggris dengan Pak Jan de Jonge
Menyenangkan melihat anak-anak yang walaupun tinggal di desa, tapi mereka cerdas, percaya diri, dan kreatif. Sesungguhnya ini mencerminkan kualitas pendidikan di sekolah.
Di kesempatan ini juga saya berkenan memberi pelajaran menggambar. Ketika saya mengatakan akan mengajarkan menggambar kepada seorang anak, semua anak menyerbu. Akhirnya Pak Guru berinisiatif mengambil papan tulis, agar semua anak dapat melihat.
Foto: Memberi pelajaran menggambar kepada anak-anak
Akhirnya acara kunjungan perpustakaan keliling ini pun berakhir. Sebelum kami meninggalkan sekolah, anak-anak SD Kenalan unjuk kebolehan dalam bidang musik. Mereka menyuguhkan pertunjukan musik dengan menggunakan berbagai barang bekas. Misalnya kaleng bekas, botol bekas, tong bekas air mineral, bambu, kentongan, alat-alat masak, dan berbagai barang-barang yang sebetulnya telah dibuang sebagai sampah. Tapi sampah ini berhasil mereka berdayakan sebagai instrumen musik yang sungguh menghibur.
Grup musik ini mereka namakan grup “Blekothek” yang kira-kira artinya biarpun sederhana tapi keren. Pertunjukan musik dari Blekothek ini pernah diliput oleh Metro TV di bulan Februari lalu.
Kunjungan ini sungguh berkesan. Ini adalah pengalaman pertama saya, ikut dalam kegiatan seperti ini. Yang lebih penting, kini saya mengetahui “peta” situasi dan kondisi yang sebenarnya, sehingga di tahun-tahun mendatang, saya harap kunjungan saya bisa lebih bermanfaat. Karena sekarang saya telah punya gambaran, hal-hal apa yang mesti dipersiapkan agar kunjungan berikutnya lebih berdaya dan berhasil guna.
Foto: Grup musik Blekothek yang menggunakan instrumen barang-barang bekas.
Foto: Grup musik Blekothek SD Kenalan, keunikannya membuat Metro TV ikut meliput.
Penulis dan foto: Walentina Waluyanti
{backbutton}