Pengalaman Hidup di Belanda:

Mana Ada Orang Belanda Setajir Anang Hermansyah?

Penulis: Walentina  Waluyanti – Belanda

Saya tinggal di Belanda. Saya sering merasa risih kalau pulang ke Indonesia, bersama suami yang berambut pirang. Bukan Buceri (Bule Cat sendiRi). Dia memang bule Belanda totok. Saat di Indonesia, kalau kami beli sesuatu di toko (yang tidak mencantumkan harga), harganya bisa dua atau tiga kali lipat dari harga yang sebenarnya. Begitu juga kalau ke rumah makan sederhana yang kebetulan tidak mencantumkan harga pada menu. Begitu mau membayar, wah... serasa membayar harga makanan di hotel bintang lima. Kesimpulannya, mereka menyangka kalau bule itu dari negara maju, dan pasti banyak duit… dan ini kesempatan untuk menaikkan harga suka-suka.

nyaris8

Penulis dan suami di kota Makassar. (Foto: Walentina)

Anggapan sebagian orang Indonesia bahwa bule pasti berduit, sama saja dengan anggapan banyak orang Eropa bahwa orang Indonesia itu miskin-miskin. Saya pernah kesal banget ketika ditanya orang Belanda yang pertanyaannya kampungan banget. Dia tanya, “Apakah orang Indonesia itu mampu beli mobil?” Dia baru sekali ke Indonesia, awal tahun 1990-an, dan menyaksikan gubuk-gubuk orang miskin di balik gedung-gedung tinggi. Kenangan ini rupanya terus melekat di ingatannya, sehingga menggeneralisasi bahwa orang Indonesia itu miskin-miskin. Persis, sama kayak orang Indonesia yang menganggap bahwa bule itu kaya-kaya.

Orang Belanda pasti kaget kalau mengetahui fakta, berapa banyak perempuan Indonesia yang membuang-buang duit ratusan juta bahkan milyaran hanya untuk "tas ber-merk"… dan hal ini hampir-hampir tak mampu dilakukan oleh para perempuan di Belanda? Orang Belanda mungkin akan heran, bahwa sekarang ini di Indonesia, punya mobil pun tidak hanya berlaku bagi orang kaya… sementara di Belanda yang katanya makmur justru tidak semua orang punya mobil, sebab tidak kuat membayar pajaknya. (Di Belanda, semua mobil, mewah maupun tidak mewah, tetap dikenakan pajak).  Jangankan mobil. Mereka yang pelihara anjing dan kucing pun, juga harus bayar pajak, dihitung per ekor untuk anjing/kucing itu.

Bule Belanda yang kere dan miskin pasti ada. Ada juga bule yang bokek melulu, bule yang tidak mampu bepergian ke luar negeri, tidak mampu beli tiket pesawat, juga tidak bisa beli mobil. Tetapi bule-bule Belanda yang tajir buanget seperti Raffi Ahmad, Syahrini atau Setyo Novanto (sebelum terciduk KPK), sulit dihitung dengan kalkulator. Mana ada orang di Belanda sekaya Anang Hermansyah, jumlah pilar rumahnya 60 biji, punya sejumlah perusahaan, pinya rumah berapa biji, jumlah pembantunya lebih banyak daripada jumlah penghuni rumahnya? Paling yang bisa begitu di Belanda, hanyalah keluarga kerajaan.

anang

Anang Hermansyah sekeluarga (Foto: kapanlagi)

Nyaris tak ada orang miskin, tapi...

Kelihatannya memang tidak ada orang miskin di Belanda. Setiap orang menerima jaminan sosial. Orang yang belum atau tidak bisa mendapat pekerjaan, menerima tunjangan dari pemerintah. Tunjangan ini tidak banyak, tetapi cukup untuk hidup layak sebagai manusia. Orang yang sakit juga ditanggung oleh asuransi. Pelajar juga menerima tunjangan studi. Para lansia menerima tunjangan hari tua. Sehingga lansia yang tidak punya pensiun pun, tidak perlu khawatir menjadi lansia terlantar.

Warga negara Belanda bisa dikatakan tidak menghadapi ketakutan akan hari depan, karena mereka menerima tanggungan dan jaminan dari pemerintah. Paling tidak, orang tidak perlu takut mati kelaparan karena tidak punya uang untuk makan.

Tapi… ada tapinya. Semua jaminan sosial di atas, tidak begitu saja diperoleh secara gratis. Setiap warga negara Belanda, diwajibkan membayar pajak yang bermacam-macam itu. Dan pajak yang macam-macam ini. jumlahnya tidak sedikit. Oleh karenanya hampir tidak ada orang Belanda yang bisa kaya raya seperti orang kaya di Indonesia. Penghasilan yang mereka peroleh bisa saja berkurang lebih dari 50% karena harus membayat bermacam-macam pajak dan tagihan. Semakin tinggi penghasilan, semakin tinggi pula aneka pajak yang harus dibayar.

Masih mending di Indonesia., sepanjang orang ulet mau berusaha, penjual kacang goreng pun bisa punya harapan untuk jadi kaya raya. Seperti Liem Sioe Liong, konglomerat terkenal dan pernah menjadi salah satu orang terkaya di Asia, yang dikenal dekat dengan mantan Presiden Soeharto. Atau seperti Mbok Berek, berawal sebagai penjaja keliling menjajakan ayam goreng, hingga akhirnya punya rumah makan ayam goreng dengan cabang di mana-mana.

liem

Liem Sioe Ling, berawal dari penjual kacang goreng, akhirnya menjadi konglomerat. Ia dikenal dekat dengan Soeharto. (Foto: TheRoyalIndonesiaTV)

Tapi di Belanda? Buka usaha pun harus berhadapan dengan larangan ini itu. Mana bisa orang buka warung atau toko klontong di rumah sendiri? Mana bisa orang jadi penjaja keliling? Mana bisa orang bawa gerobak dan berjualan ke rumah-rumah? Bisa berurusan dengan yang berwajib, karena dianggap berdagang secara ilegal. Tempat berdagang, sekecil apapun itu, harus dengan izin resmi dan harus di tempat yang ditunjuk oleh peraturan, dan ini artinya harus membayar sewa bangunan yang tidak murah, belum termasuk membayar pajak dan izin ini itu.

Saya kenal seorang Belanda, pengusaha tegel keramik mewah yang perusahaan dan tokonya kelihatan mentereng sekali di Hilversum. Yang dijual tegel, mebel, perabotan mewah. Tapi rumah mereka sendiri… perabot dan mebelnya begitu sederhana. Sofanya hanya ditutupi kain biasa karena kulit sofanya sudah sobek, dan mereka belum bisa membeli sofa baru. Hanya dalam tempo singkat, saya dengar mereka bangkrut terlilit utang. Ini gambaran bahwa di Belanda orang yang berwiraswasta pun tidak semudah di Indonesia. Belum sempat berpikir tentang keuntungan usaha, mereka sudah ambruk terutama karena harus membayar pajak yang tinggi. Sementara di Indonesia, dengan mudah Anda bisa menjumpai pengusaha biasa yang tidak terkenal-terkenal amat, yang bisa saja memiliki sejumlah perusahaan.  Hal ini tidak mudah Anda jumpai di Belanda. Boro-boro sejumlah perusahaan, satu perusahaan saja dikelola dengan jantung dag dig dug. Syukur-syukur tidak bangkrut. Bahkan toko/perusahaan bergengsi dan terkenal di Belanda, yaitu V&D (Vroom & Dreesmann) yang punya cabang di berbagai kota, mengejutkan seluruh Belanda, ketika terbetik kabar bahwa perusahaan iini ditutup karena pailit.

nyaris3a

Toko bergengsi dan terkenal di Belanda, "V&D" akhirnya pailit.

Rumah saya di Belanda tidak jauh dari pusat perbelanjaan. Kalau saya jalan-jalan ke mall, kadang-kadang saya melihat ada beberapa toko yang baru dibuka. Ehh… tahu-tahu beberapa bulan kemudian toko itu sudah tutup, diganti dengan toko baru. Ternyata toko yang baru buka itu pun kemudian bernasib sama juga dengan toko sebelumnya. Ah, begitu sulitkah berwiraswasta di Belanda?

Yang paling banyak dikeluhkan oleh warga Belanda adalah soal bayar pajak yang begitu mencekik. Sampai-sampai rakyat Belanda bilang, pemerintah Belanda menjajah rakyatnya sendiri. Saya bilang, dulu mereka menjajah rakyat Indonesia, sekarang tidak ada yang dijajah, ya yang dijajah rakyat sendirilah. Apalagi keluarga kerajaan yang kaya raya itu dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Coba... ini apa namanya kalau bukan menjajah rakyat sendiri? Begitu omelan kenalan saya yang orang Belanda.

Tapi harus diakui bahwa hasil dari pajak yang dibayarkan itu, memang bisa dilihat dengan mata. Jalan-jalan, infrastruktur, tata kota dan fasilitas umum tertata rapi... memberi kenyamanan dan kemudahan bagi warganya. Semua rakyat memperoleh jaminan sosial yang cukup. Ini semua tentu bisa dimungkinkan karena semua warga wajib membayar pajak (kecuali keluarga kerajaan).

nyaris2a

Keluarga Kerajaan Belanda: Raja Belanda Willem Alexander dan istri Putri Maxima, serta ketiga putri, dari kiri: Ariane, Amalia (Putri Mahkota), dan Alexia. (Foto: RTL Nieuws)

Berani Ngemplang Pajak?

Bayar pajak di Belanda, adalah wajib hukumnya. Berani ngemplang pajak? (Ngemplang=menghindari kewajiban membayar utang). Ini tidak mungkin bisa terjadi. Saya heran, membaca berita orang yang hidupnya mewah seperti Raffi Ahmad dan Syahrini kok bisa menunggak bayar pajak. Mana mungkin ini bisa terjadi di Belanda? Pemerintah tidak akan membiarkan ini terjadi. Di Belanda, Anda berani tidak bayar pajak, pasti akan didatangi tukang tagih. Satu kali diberi peringatan. Kedua kali masih nunggak, dikasih peringatan lagi. Tiga kali peringatan masih tidak bayar? Siap-siap saja, tukang tagih ini punya wewenang untuk menyita apa saja barang berharga yang ada di rumah Anda. Bisa-bisa rumah dan mobil Anda pun ikut melayang. Tergantung berapa jumlah tunggakan Anda. Barang-barang berharga ini akan dilelang sebagai pengganti harga tagihan pajak yang tidak Anda bayar itu.

Bahkan kerap terjadi, orang yang tidak bayar pajak tidak akan dibiarkan lolos di bandara. Mereka terpaksa membatalkan penerbangannya, karena nama mereka sudah masuk daftar hitam di imigrasi. Petugas imigrasi yang memerika identitas Anda, akan menyetop Anda dan tidak akan meloloskan Anda untuk melanjutkan perjalanan.

Kadang-kadang saya berpikir, sebetulnya negara-negara di Eropa Barat seperti Belanda, dari segi sosial ekonomi, mungkin modelnya sama dengan negara-negara sosialis. Hampir semua orang kondisi ekonominya sama saja. Hampir tidak ada orang yang kayaaa sekali, juga tidak ada orang yang miskiiiin sekali. Perbedaan tajam antara yang kaya dan miskin, hampir tidak ada. Apa yang bisa dinikmati oleh orang yang satu, bisa juga dinikmati oleh orang lainnya. Mau liburan? Hampir setiap orang bisa menikmati liburan ke luar negeri. Tapi harus kerja keras, menabung dan hidup hemat. Kalau mau hidup layak, tidak mungkin orang bisa hidup mewah dan foya-foya. 

Terus terang saja, melihat gaya hidup orang berduit di Indonesia, membuat saya yang tinggal di Belanda bagai menyaksikan dunia fantasi. Gaya hidup mereka nyaris tak mungkin bisa dijumpai di Belanda. Ada yang menghadiahkan anaknya dengan mobil seharga ratusan juta. Ada yang merayakan ulang tahun anak usia setahun dengan memboyong seluruh keluarga sampai baby sitter dan asisten RT ke Amerika, Jepang ataupun ke Eropa. Ada yang merayakan pesta perkawinan dengan mengundang 2000 orang di hotel berbintang lima… ccck... ccck… mana ada orang Belanda yang bisa melakukan itu?

Orang Belanda bisa ternganga melihat bagaimana Raffi Ahmad merayakan ulang tahun anaknya yang super mewah. Sampai-sampai ia bersama istri dan anak pun datang ke lokasi dengan menggunakan helikopter, untuk menghindari macet. Mana ada seleb Belanda yang bisa begitu?

nyaris4a

Raffi Ahmad, Nagita dan Rafathar ke lokasi ulang tahun untuk menghindari macet. (Foto: Harian Riau)

Mana ada perempuan Belanda yang bisa seperti Syahrini, hidup bersenang-senang, melulu ke luar negeri dengan privé-jet, shopping di kota-kota termahal di dunia… belanja baju, tas, sepatu, parfum ber-merk, berharga milyaran? Mereka terekspos, karena mereka orang terkenal. Tetapi berapa banyak orang kaya lainnya yang tidak terekspos yang bisa bergaya hidup mewah seperti itu? Dan gaya hidup seperti ini, hampir-hampir sangat sulit dijumpai di Belanda. Bahkan gaya hidup para selebnya pun tidak sampai semewah itu.

"Kemewahan" orang Indonesia

Meskipun banyak juga jumlah orang miskin di Indonesia, tapi banyak juga orang yang tidak perlu kaya pun, bisa menikmati hidup yang sebetulnya lebih “mewah” dibanding umumnya orang Belanda. “Kemewahan” macam apa yang sebetulnya bagi orang Indonesia biasa-biasa saja, yang umumnya jarang dijumpai di Belanda? Coba lihat saja, umumnya orang Indonesia tidak perlu kaya pun, tapi mereka punya PRT ataupun pengasuh bayi (tidak perlu suster profesional). Ini hampir tidak ada di Belanda. Membayar “nanny” di Eropa? Wah, nyaris tak ada orang Eropa yang melakukan ini, kalaupun ada, hanya bisa dihitung dengan jari.

Orang Indonesia juga tidak perlu kaya-kaya amat, tapi mereka bisa makan dan jajan hampir sepanjang hari. Setiap ada gerobak lewat di depan rumah, makan lagi… makan lagi. Di Belanda mana ada kebiasaan jajan dan gerobak lewat? Orang Indonesia yang baru pertama kali ke Belanda biasanya akan mudah merasa lapar. Seperti saya juga dulu begitu. Sepanjang hari bawaannya pengen makan melulu. Setelah bertahun-tahun tinggal di Belanda akhirnya terbiasa untuk tidak jajan. Soalnya orang Belanda pada pagi dan siang hari hanya makan roti. Barulah “makan berat” pada malam hari. Di luar waktu makan pagi, siang, dan malam, umumnya mereka tidak punya kebiasaan jajan.

Apalagi “kemewahan” orang biasa-biasa saja di Indonesia yang jarang dijumpai di Belanda? Umumnya orang Indonesia, bukan orang kaya pun, masih bisa merayakan ulang tahun dengan meriah, dan masih bisa mengundang banyak orang. Di Belanda, jarang orang Belanda yang kalau ultah mengundang banyak orang. Paling cuma mengundang keluarga dekat, kalaupun ditambah teman-teman, jumlahnya paling banyak biasanya lebih kurang 10 orang. Makanannya pun bukan makanan berat seperti di Indonesia, yang ada nasi lauk pauknya. Paling di pesta ulang tahun orang Belanda, hanya keju yang dipotong kecil-kecil, ketimun dan sosis yang diiris tipis… itu pun orang biasanya ambil satu iris dua iris. Masih untung kalau ada sedikit gorengan. Kasihan amat. Saya yang orang Indonesia, tidak tega bikin pesta di rumah dengan makanan yang begitu “kikir” menurut saya. Orang Belanda umumnya senang kalau datang ke pesta orang Indonesia di Belanda. Soalnya makanannya aneka macam, banyak dan bisa makan sepuasnya… karena orang Indonesia selalu masaknya buanyaaak. Hahaha….

nyaris5a

Foto: Pesta ulang tahun di rumah penulis, makanan orang Indonesia selalu lebih melimpah dibanding pestanya orang Belanda. (Foto: Walentina)

Umumnya kalau mereka mengundang 5 -7 orang pun ini sudah dianggap banyak. Memang ada juga yang merayakan ultah dengan meriah dan mengundang banyak orang, namun ini biasanya pada usia-usia penting saja. Misalnya usia 18 tahun (di Belanda ini adalah tanda memasuki usia dewasa / bukan 17 tahun), usia 25, 50, 60 dan seterusnya.

Begitu pun pesta pernikahan. Orang Indonesia yang biasa-biasa pun bisa saja mengundang ratusan orang, di gedung yang cukup indah, makanan melimpah, dengan band/penyanyi ataupun orkes dangdut seperti di kampung-kampung. Ini belum terhitung kelas menengah ke atas yang jumlah undangannya bisa sampai ribuan, dengan kemeriahan yang lebih mewah lagi. Pihak yang mengundang berpakaian seragam dengan barisan pagar ayu dan tamu-tamu berpakaian indah dan mahal. Sementara pesta pernikahan di Belanda… seorang direktur pun, sudah untung kalau bisa mengundang 20-50 orang. Tamu-tamu yang sedikit itu pun hadir dengan pakaian biasa-biasa saja, tidak semewah seperti di Indonesia.

nyaris6a

Salah satu pesta pernikahan di Belanda, sederhana tidak semewah seperti umumnya pesta pernikahan di Indonesia. (Foto 2B-Home)

Saya pernah memperlihatkan video pernikahan keluarga saya di Indonesia yang tamunya ratusan dengan makanan melimpah.  Orang-orang Belanda itu umumnya terheran-heran melihat video itu. Mereka bertanya, mengapa begitu banyak tamu yang diundang? Bagaimana menyediakan begitu banyak makanan untuk orang sebanyak itu? Bahkan kertas undangan pernikahan pun, mereka nilai mewah, yang bagi orang Indonesia sebetulnya biasa saja. Saya bilang, undangan pernikahan di Indonesia memang dibuat seindah mungkin. Juga saya katakan pesta pernikahan dengan ratusan tamu adalah lazim di Indonesia. (Saya teringat, bahkan tukang becak di belakang rumah saya di Makassar pun sanggup mengundang ratusan tamu pada pernikahannya, ditambah nanggap orkes dangdut). Kalau orang kaya raya dan terpandang, bisa mengundang sampai ribuan tamu. Orang-orang Belanda yang bertanya itu, mereka bukanlah orang miskin… tapi cara mereka menunjukkan keheranan, seakan-akan mereka berasal dari negara miskin. Ketika mereka mereka bertanya begitu, baru saya sadar, bagaimana sederhananya sebetulnya gaya hidup orang Eropa. Bahkan meski punya mobil pun, mereka tidak menggunakannya kalau tidak benar-benar perlu, dan lebih memilih naik sepeda. Ketika belum zaman terorisme, Perdana Menteri Belanda pun ke kantor dengan hanya naik sepeda.

Dengan perbandingan di atas, lucu juga rasanya kalau bule yang liburan ke Indonesia dianggap duitnya melimpah. Padahal orang-orang Indonesia yang berusaha memeras para bule itu, mungkin saja hidupnya lebih nyaman dibanding hidup si bule di negara asalnya. *** Penulis: Walentina Waluyanti

Artikel terkait, klik: Pengalaman Bertetangga di Belanda

walentina01Walentina Waluyanti

Penulis buku "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen"

 

{backbutton}