Pengalaman Bertetangga di Belanda

Walentina Waluyanti – Nederland

Menggoreng sambal terasi? Di Belanda, bagi yang tinggal di flat/apartemen, hal ini bisa menjadi masalah serius. Jangan sampai gara-gara masalah bau ini, si tetangga menelepon polisi. Maklum orang Belanda biasanya sensi betul dengan bau-bauan yang tidak biasa di hidung mereka. Meski tembok rumah saya tidak berdempetan dan terpisah beberapa meter dari tetangga, namun kalau masak balado udang petai misalnya, tetap saja saya memastikan jendela tertutup rapat. Jangan-jangan bau petai plus pedas terbawa angin, dan menyerbu hidung tetangga. Tapi jangan salah. Meski petai dan terasi itu bau, namun tak sedikit orang Belanda juga suka hidangan berbumbu terasi dan petai. "Hmm... lekker", kata mereka. Setelah diberitahu, "Yang Anda makan tadi, itu ada terasi dan petai-nya lho", baru mereka paham. Yaitu bumbu yang dinilai bau, jika diracik dengan tepat, bisa menambah lezat rasa masakan.

Makanan Indonesia memang tidak asing di Belanda, tapi ada juga segelintir Belanda totok yang mudah merasa terganggu dengan bau bumbu yang menurut mereka aneh. Meski di Belanda banyak orang Indonesia, namun tetangga saya umumnya Belanda totok. Oh ya, ada satu tetangga, yaitu eks pemain top sepak bola Ajax berdarah Maluku, tapi dia lahir di Belanda dan melebur jadi orang Belanda (meski banyak juga orang Maluku lainnya yang lahir di Belanda yang belum hilang ciri Malukunya). Selebihnya, tetangga sekitar adalah Belanda totok. Tetapi apakah murni Belanda totok? Dengan latar belakang historis ratusan tahun antara Indonesia dan Belanda, nyaris setengah penduduk Belanda umumnya ada darah Indonesianya, sedikit atau banyak, disadari atau tidak disadari.

Itu sebabnya event Pasar Malam di Belanda, selalu ramai dikunjungi, baik oleh orang Indonesia maupun orang Belanda sendiri. Pasar Malam adalah event festival yang memamerkan sekaligus menjual segala hal yang berbau Indonesia, mulai dari pakaian, makanan, mebel, dan pernak-pernik lainnya. Juga ada pagelaran aneka kesenian dan budaya Indonesia. Biasanya yang paling banyak diserbu orang di Pasar Malam adalah aneka jajanan khas Indonesia.

buurtfeest005wmAneka jajanan khas Indonesia dijual di Pasar Malam di Belanda. (Foto: W. Waluyanti)

buurtfeest007wmHarga (euro) es khas Indonesia, dijual di Pasar Malam 2013 di Belanda. (Foto: W. Waluyanti)

Orang Indonesia Bukan Orang Asing di Belanda

Ratu Juliana pernah mengakui dalam salah satu pidatonya bahwa hampir sebagian penduduk Belanda, ada campuran darah Indonesianya. Hanya saja banyak di antara mereka sudah tidak tahu lagi bahwa mereka itu berdarah Indonesia. Kalau pun tahu, mereka hanya bilang, “Konon menurut cerita orangtua saya, kakek-nenek kami dahulu berdarah Indonesia, tapi entahlah, saya tak tahu pasti.” Perdana Menteri Belanda pernah mengatakan, 1 dari 10 orang Belanda adalah berdarah Indonesia, termasuk si Perdana Menterinya sendiri. Perdana Menteri Belanda Mark Rutte memang dengan gamblang menyebutkan ia masih berdarah Indonesia. Begitu pula politisi kontroversial yang banyak bermasalah dengan kelompok muslim, Geert Wilders, sutradara film Fitna, juga berdarah Indonesia (ibunya berasal dari Sukabumi).

Pergaulan Antar Orang Indonesia di Belanda

Hal di atas menggambarkan bahwa orang Indonesia bukanlah sepenuhnya “orang asing” di Belanda. Meski demikian, orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Belanda, biasanya sudah tahu untuk tidak bersikap “sok akrab” kepada orang Belanda yang berdarah Indonesia, bahkan kepada orang Indonesia sendiri, kalau belum betul-betul kenal baik. Pasalnya, tidak semua orang Belanda berdarah Indonesia itu yang merasa bangga dengan darah Indonesianya. Contoh paling nyata adalah Geert Wilders yang disebutkan di atas. Geert Wilders sering dituding berusaha menutupi darah Indonesianya, antara lain dengan mengecat pirang rambutnya. (Catatan: Tentang Gert Wilders, pernah saya tulis, silakan klik berikut ini ==> Si Gondrong Antagonis di Panggung Politik)

photo-6-web

Geert Wilders, politisi kontroversial yang berdarah Indonesia, selalu mengecat pirang rambutnya. 

Ada yang jelas-jelas rambutnya hitam, kulitnya sawo matang, namun tetap saja mengingkari darah Indonesia. Mereka seakan malu dan rendah diri dengan darah Indonesianya. Tipe ini biasanya tidak antusias jika pembicaraan mengarah ke topik tentang Indonesia. Bahkan ada juga yang cenderung mudah meremehkan sesamanya yang dianggapnya "masih Indonesia". Dikasih oleh-oleh makanan Indonesia karena si pemberi ingin menunjukkan persahabatan... ehhh si pemberi malah dihardik, "Saya sudah biasa dengan makanan Eropa. Ini makanan apa? Cuma bikin gatal tenggorokan!" Dikasih oleh-oleh baju dari Indonesia, si pemberi menerima komentar, "Wah, saya tidak biasa dengan pakaian murahan!" Oh, alamak! Bagai karikatur hidup, mereka tampak berusaha meninggikan diri, menutupi minder dengan cara meng-Eropa-kan diri. Misalnya bersikap tegas secara over acting, padahal orang Eropa sendiri tidak begitu-begitu amat. Kenyataannya memang tak sedikit orang Eropa yang bersikap straight to the point dengan cara sopan, tak terkesan kasar.

Dulu ketika masih tergolong pendatang baru di Belanda, saya norak, "sok akrab" jika bertemu orang Indonesia, langsung bertanya alamat dan nomor telepon mereka. Tetapi setelah mempelajari keadaan, saya sadar tidak seharusnya senaif itu, mentang-mentang bertemu orang yang warna rambut dan kulitnya sama dengan saya. Lama-lama saya mengerti mengapa orang Indonesia yang sudah bermukim lama di Belanda, biasanya berhati-hati bergaul dengan sesamanya orang Indonesia.

Maklum, orang Indonesia di Belanda datang dari beragam latar belakang. Karakter orang kadang ditentukan juga oleh latar belakang. Sehingga meski sama-sama orang Indonesia, tidak berarti lantas di negeri orang karakter mereka bisa cocok satu sama lain. Kadang ada juga sesama orang Indonesia di Belanda yang berkonflik. Ujungnya mereka saling menjelekkan, menyebarkan kejelekan “pesaing”-nya dari mulut ke mulut di antara sesama orang Indonesia di Belanda. Hal ini menjadi penyebab orang Indonesia banyak yang berhati-hati memilih pergaulan di antara sesama orang Indonesia sendiri. Saya lihat, meski ada yang bertetangga dengan sesama orang Indonesia, tidak otomatis lantas mereka saling akrab. Orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Belanda, umumnya tahu bagaimana menjaga jarak dan selektif dalam pergaulan dengan sesama orang Indonesia sendiri, sebelum terjadi hal-hal yang tak diinginkan.

Kebanggaan tentang Indonesia bagi Orang Belanda

Yang perlu digaris-bawahi, diskriminasi ras adalah isu sangat sensitif dan sangat ditentang di Belanda. Hak dan kewajiban setiap warganegara adalah sama di mata hukum, sejauh itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kalimat tadi bukan cuma basa-basi di bibir dan slogan kosong, tapi memang betul-betul dijalankan. Belanda sendiri konsisten menjalankan program integrasi dan pembauran, di antaranya mengangkat seorang muslim keturunan Maroko sebagai walikota di Rotterdam. Memang jumlah penduduk muslim di Belanda cukup besar. Mesjid bisa dijumpai di kota-kota di Belanda.

Orang Indonesia di Belanda sejajar hak dan kewajibannya, juga mendapat tempat layak di negeri kincir angin ini, sama seperti warga lainnya. Banyak orang Belanda yang saya kenal yang menghormati orang Indonesia, termasuk budaya Indonesia. Di pasar-pasar tradisional di Belanda juga ada gerai berbagai kebutuhan bagi orang Indonesia. Toko-toko Indonesia bertebaran di hampir setiap kota di Belanda. Menariknya, pembelinya bukan hanya orang Indonesia, tetapi orang Belanda juga.

Tidak sedikit orang Belanda yang menjadikan Indonesia sebagai destinasi rutin setiap liburan. Mereka sangat antusias dan bangga menceritakan pengalaman liburan mereka di Indonesia. Kebanggaan orang Indonesia jika punya teman-teman dari luar negeri, hal ini juga berlaku bagi orang Belanda. Mereka juga merasa bangga jika punya teman-teman dari Indonesia. Jangan lupa, buat orang Belanda, Indonesia itu adalah luar negeri. Karenanya tak sedikit orang Belanda yang bangga memajang pernak-pernik Indonesia di rumahnya, misalnya pajangan wayang, taplak batik, mebel bambu, lukisan sawah, dan berbagai souvenir khas Indonesia. Bahkan ada toko mebel yang pemiliknya orang Belanda totok, dengan bangga memajang becak sebagai dekorasi di depan tokonya. Bagi orang Belanda, pajangan dari Indonesia, artinya adalah pajangan dari "luar negeri", dan ini memberi kebanggaan tersendiri buat mereka. Umumnya orang Belanda juga merasa belum lengkap pengalaman kulinernya, jika belum mencicipi makanan Indonesia. Karenanya, orang Indonesia atau orang berdarah Indonesia di Belanda yang malu pada akar budayanya sendiri dan melecehkan sesamanya orang Indonesia, adalah menggelikan.

Di Belanda, saya tidak punya pengalaman bertetangga dengan orang Indonesia. Tetapi entah apakah orang Indonesia atau orang Belanda, rasanya semua orang punya kebutuhan yang sama. Yaitu mencari lingkungan pergaulan yang di dalamnya ada rasa saling menghargai dan menghormati.

buurtfeest008wm

Lingkungan pemukiman penulis di Belanda, saat musim salju. (Foto: Walentina Waluyanti)

Negara Kecil, Lahan Terbatas, Rumah Kecil Harganya... Wow!

Belanda adalah negara kecil. Luasnya kira-kira sama dengan Pulau Jawa tanpa Madura. Penduduknya padat, bukan hanya orang Belanda, tetapi berbagai bangsa dari segala penjuru dunia. Karena negaranya kecil, penduduknya padat, maka lahannya sangat terbatas, rumahnya pun kecil-kecil. Rumah besar tentu ada juga, tetapi harga rumah besar di negara kecil berlahan sempit, tentu bukan harga bersahabat. Bahkan sepetak kamar mungil dan lahan sepetak di Belanda harganya bisa sangat “wow”, bikin tepok jidat. Rumah kecil harganya bisa sangat tinggi, tak sebanding dengan ukurannya, bisa senilai dengan rumah besar berkolam renang di Indonesia. Lahan kuburan saja, harganya bisa selangit. Umumnya warga Belanda mengantisipasi dengan mengasuransikan diri, agar ada jaminan mereka telah memiliki lahan pemakaman. (Tetapi yang memilih krematorium pun tetap mengasuransikan diri, mengingat biaya administrasinya dll yang juga tinggi).

Jenis hunian yang umumnya secara finansial masih terjangkau, adalah flat/apartemen. Orang Belanda tidak membedakan secara tajam antara flat dan apartemen. Flat lebih diartikan sebagai sebuah unit dari apartemen. Ada juga rumah yang tembok kiri kanannya menempel satu sama lain, berderet-deret di bawah satu atap panjang. Umumnya yang harganya lebih tinggi adalah rumah yang tembok kiri kanannya tidak menempel dengan tembok tetangga (berdiri sendiri), dengan kebun luas. Rumah jenis ini lebih mahal, karena harga lahan di Belanda memang sangat tinggi. Penyebabnya seperti yang sudah dijelaskan, secara geografis memang Belanda negaranya kecil, lahannya serba sempit dan terbatas. Karenanya soal hunian di Belanda menjadi salah satu masalah sosial tersendiri. Orang yang ingin memiliki hunian (sewa) tak jarang harus antri bertahun-tahun, terutama di kota-kota besar. Terakhir saya mendengar, untuk mendapatkan rumah sewa di Amsterdam, ada yang menunggu sampai 20 tahun...wow!

Para repatrian Indo/Belanda yang hengkang dari Indonesia ke Belanda pasca kemerdekaan 1945, kaget ketika mengetahui pemukiman yang mereka peroleh di Belanda, ternyata rumah-rumahnya kecil berdempetan seperti kotak korek api yang didempetkan satu sama lain. Soalnya umumnya mereka baru pertama kali itu menginjak Belanda, dan sebelumnya membayangkan Belanda jauh lebih modern daripada Indonesia. Sehingga melihat pemukiman rumah berdempetan seperti itu di Belanda, sama sekali jauh dari bayangan semula. Maklum, para repatrian itu sebelumnya turun-temurun tinggal di Indonesia dengan rumah sangat besar (lihat foto di bawah), taman yang begitu luas, hal yang tak bisa dengan mudah mereka peroleh di Belanda.

tempo001wm

Foto: Orang Indo Belanda zaman dahulu saat masih di Indonesia (Hindia Belanda). -  (Foto: Archief de Jonge)

Kontak Antar Tetangga

Di Belanda, ada jenis hunian yaitu pertama: flat/apartemen; kedua: rumah yang berdempeten (tembok kiri kanannya saling menempel dengan rumah tetangga); ketiga: rumah yang berdiri sendiri artinya tembok kiri-kanan-depan-belakang tidak menempel pada rumah tetangga. Yang jenis pertama dan kedua biasanya masih ada saling kontak dengan tetangga. Karena tembok mereka menempel dengan tetangga. Sedangkan jenis ketiga, biasanya jarang kontak dengan tetangga.

Saya sendiri tinggal di rumah yang temboknya tidak langsung berdempetan dengan tetangga, sehingga jarang berpapasan, bertemu muka, apalagi berbincang dengan tetangga. Paling-paling kalau misalnya kami sedang di barbeque di kebun belakang rumah, kadang terdengar anak-anak tetangga sebelah teriak-teriak riang kalau mereka sedang di kolam renang.

IMG 5499a-wm

Foto: Penulis dan suami, makan pecel, sambal goreng tempe, dan "nyate"/barbeque di kebun belakang rumah. Di latar belakang, gudang menyimpan alat-alat berkebun.

Menariknya, meski kami jarang bersinggungan dengan tetangga, namun setiap kali tetangga akan mengadakan pesta keluarga, mereka akan mengebel pintu rumah kami. Lalu mereka menjelaskan, bahwa besok akan ada pesta keluarga dan banyak tamu, mungkin akan sedikit ribut dengan musik keras. Sehingga sebelumnya mereka minta maaf dan mohon agar kami bisa memaklumi.

Begitu pula jika ada di antara tetangga yang akan pergi berlibur, maka kami akan menghubungi satu sama lain. Kami pamit satu sama lain, sambil minta tolong, agar rumahnya diawasi sekadarnya jika ada sesuatu yang mencurigakan. Saya beserta keluarga punya satu tetangga kepercayaan, yang selalu kami titipi kunci pada saat liburan. Mereka bantu mengawasi keamanan rumah, sambil membantu menyiram tanaman selama kami tidak berada di rumah. Hal ini biasa dilakukan di Belanda, hanya kepada tetangga yang sudah dipercaya selama bertahun-tahun. Karena itu setiap pulang liburan, saya selalu memberi oleh-oleh kepada tetangga kami yang penolong itu, meski mereka selalu mengatakan hanya menolong tanpa mengharapkan imbalan.

Perayaan "Hari Tetangga"

Meski sehari-hari jarang kontak satu sama lain, bukan berarti para tetangga di lingkungan rumah kami menyepelekan arti sosialisasi dengan tetangga. Di Belanda, setiap tahun ada perayaan “Hari Tetangga”. Tidak semua lingkungan merayakan “Hari Tetangga” ini. Terlebih kalau mereka bisa saling bertemu dan bertegur sapa hampir setiap hari, maka merayakan “Hari Tetangga”  kadang dirasa tidak terlalu penting. 

Nah, di lingkungan kami, karena belum tentu bisa setiap hari ada kontak dengan tetangga, maka perayaan “Hari Tetangga” menjadi penting. Setiap tahun kami menyempatkan berkumpul dengan tetangga dekat, merayakan "Hari Tetangga" ini. Maka dibangunlah tenda besar di taman dekat rumah. Dengan pekerja khusus yang dipanggil, tenda itu disulap menjadi tempat pesta. Kami masing-masing membawa makanan. Ada yang membawa makanan Italia. Ada yang membawa bahan makanan untuk barbeque. Saya membawa makanan khas Indonesia yang disukai orang Eropa, misalnya semur daging ataupun rendang. Ada yang membawa macam-macam salad dan seterusnya. Semua hidangan itu ditata rapi di meja. Di antaranya, foto di bawah ini.

rendang002wm

Rendang ala Walentina. (Foto: Walentina Waluyanti)

buurtfeest001wm

Salad dengan saus dan irisan tipis ikan salem, salah satu sajian khas Belanda. (Foto: Walentina Waluyanti)

buurtfeest002wm

Irisan aneka sosis, irisan keju, irisan mentimun, dan saus mustard sebagai cocolan adalah khas cemilan yang biasa dihidangkan dalam pesta-pesta di Belanda. (Foto: W. Waluyanti)

Semua boleh menyantap segala jenis makanan yang dihidangkan di meja. Musik disetel kencang. Kami semua bergembira. Sebagaimana orang Belanda umumnya, di pesta semacam ini mereka minum bir, anggur dan jenever. Pria satu-satunya yang tidak minum alkohol, hanya suami saya, yang memang dasarnya tidak doyan alkohol. Saya sebagai perempuan Indonesia yang tidak mengerti di mana letak enaknya alkohol, hanya memilih minuman sari buah ataupun teh. Biasanya ada saja tema pesta yang setiap tahunnya ditentukan bervariasi. Misalnya tema Hollywood, maka semua tetangga akan datang ke pesta dengan mengenakan kostum ala bintang Hollywood. Tahun berikutnya, bertema pakaian tradisional Jerman, dan tetangga berusaha berkostum sesuai tema. Tetapi ada juga yang cuek saja dengan tema, dan datang berpakaian biasa saja.

buurtfeest004wm

Seorang ibu tetangga berkostum sesuai tema pakaian tradisional Eropa, pada perayaan "Hari Tetangga". (Foto: W. Waluyanti)

Bagasi Terlantar di Bandara

Perayaan "Hari Tetangga" selalu meriah, tak jarang jadi ajang curhat, atau sekadar saling tukar kisah dan pengalaman. Sambil makan-makan dan minum-minum, kami saling berbincang. Topik pembicaraan biasanya menyangkut keluarga, perkembangan anak-anak, ataupun tentang pernak-pernik pekerjaan masing-masing. Salah seorang tetangga saya adalah manajer sebuah departemen di KLM. Juga ada seorang pramugari senior di KLM. Kami saling berbincang. Saya bertanya, apakah bisa terjadi ada bagasi yang tidak pernah diambil oleh pemiliknya? Di luar dugaan, ternyata kejadian seperti itu kadang terjadi. Pemiliknya sudah dihubungi, tetapi bagasi tidak juga diambil. Setelah isi bagasi diperiksa, tak ada hal mencurigakan di dalamnya.

Jika bagasi itu termasuk dalam penerbangan route internasional, maka biasanya setelah melewati tenggang waktu tertentu, bagasi itu akan dihancurkan. "Benda-benda itu tidak dilelang negara?", tanya saya. "Tidak!", jawab "si tetangga KLM". Sebab bagasi itu masih termasuk dalam wilayah internasional, sehingga pemerintah tak bisa mengklaim bagasi itu sebagai benda milik negara yang bisa dilelang begitu saja. Lagi pula bagasi yang ditelantarkan pemiliknya ini biasanya isinya tidak penting. Tampaknya pemiliknya sendiri sudah memperhitungkan hal ini. Kopornya lecek, isinya hanya baju tak seberapa harganya, celana dalam, dan sikat gigi… hehehe…

Kemalingan

Topik aktual juga selalu jadi bahan pembicaraan seru. Misalnya soal keamanan lingkungan yang makin rawan akhir-akhir ini, termasuk di lingkungan pemukiman kami. Padahal dulunya Belanda adalah negara aman. Banyak yang menyalahkan hal ini sebagai dampak bertambahnya arus kedatangan pendatang ilegal dari berbagai negara, serta meningkatnya pengangguran. Biasanya setiap liburan, tak jarang terjadi kemalingan di rumah-rumah yang penghuninya pergi berlibur. Namun kejadian seperti ini biasanya hanya terjadi di kota-kota besar.

Tetangga sebelah adalah seorang arsitek yang gemar automotif. Ia memiliki beberapa mobil unik dan motor gede. Kami semua menyimak ceritanya ketika rumahnya dibobol maling dan motornya melayang, pada saat ia pergi berlibur. Tak lama setelah motornya dicuri, ia membeli motor lagi. Belum lama motor baru itu dinikmatinya, ehhh… motor gede itu dicuri lagi.

Begitu juga tetangga yang lain. Yang saya heran, tetangga itu seorang ahli hukum, mestinya mengerti bahwa dokumen penting seperti paspor tidak seharusnya ditinggal begitu saja di meja pada saat bepergian. Suatu hari ketika mereka sekeluarga pergi berakhir pekan, rumah mereka kemalingan. Jendela rumah mereka besar, dengan kaca tembus pandang, gordin terbuka, semua bisa terlihat dari luar. Sebagaimana kata pepatah, "kesempatan mengundang maling". Di meja ada laptop dan paspor. Bukan hanya kedua benda tadi yang digondol maling, tetapi juga benda-benda berharga lainnya ikut ludes. Termasuk koleksi berbagai arloji mahal dan antik yang dipajang di lemari khusus di living room.

Beberapa jam setelah peristiwa di atas, polisi datang ke setiap tetangga menanyakan apakah kami semua melihat sesuatu yang mencurigakan pada sekitar jam kejadian itu. Polisi juga datang ke rumah kami, mencari keterangan yang mungkin berguna. Rumah kami hampir berhadapan dengan rumah ahli hukum itu. Saya mengatakan, saya memang sempat melihat mobil parkir di depan rumah tetangga itu. Tetapi saya berpikir mungkin itu cuma tamu saja. Lagi pula yang saya lihat berdiri di dekat mobil adalah perempuan berambut pirang cantik dan modis, yang sama sekali tak terlihat mencurigakan. Lagi pula bukankah mereka sering kedatangan kenalan dan keluarga? Sampai sekarang saya penasaran, apakah yang saya lihat itu adalah “tamu tak diundang”?

buurtfeest003wm

Suasana perayaan "Hari Tetangga" di lingkungan pemukiman penulis di Belanda. Tampak di latar depan, peralatan barbeque juga disiapkan. (Foto: W. Waluyanti)

Dengan bincang-bincang itu, kami bisa saling akrab dan lebih mengenal satu sama lain. Tetapi pesta kecil pada “Hari Tetangga” itu bukan sekadar berhenti pada hura-hura saja. Keluhan tentang keamanan di atas misalnya, menjadi keluhan yang ditampung dan dicatat. Keresahan warga atas masalah ini kemudian diajukan ke Balai Kota. Tak lama setelahnya kami semua mendapat undangan ke Balai Kota untuk rapat dengan pejabat Balai Kota dan mencari solusi untuk bersama mengatasi masalah keamanan ini.

Yang menarik dari pesta “Hari Tetangga” itu, penyelenggaraannya mendapatkan subsidi dari Pemerintah Kota. Misalnya untuk pemasangan tenda, memang ada budget untuk itu. Pesta pada “Hari Tetangga” ini memberi kesan tersendiri. Tak saya sangka, di balik sifat individualistis orang Belanda, ternyata masih punya kepedulian dalam kehidupan bertetangga. Padahal di Belanda sama sekali tak ada jabatan yang setara dengan Pak RW, Pak RT, juga Kepala Lingkungan. Tetapi jika ada keluhan warga, Kantor Balai Kota langsung cepat tanggap memberi reaksi. ***

Artikel terkait, silakan klik:

Rahasia Kincir: Berada di Bawah Permukaan Air Laut, Mengapa Belanda Tidak Tenggelam?

Mana Ada Orang Belanda Setajir Anang Hermansyah?

Pengalaman Camping di tengah Dinginnya Alam Eropa

Memangnya Kamu Siapa, Menajiskan Logat Orang?

Berkunjung ke Pasar Terbesar di Eropa

Pengalaman: Asyiknya Lebaran Jadul

Kompas TV bertamu ke rumahku

Secuil Kisah dari Belanda dan Tragedi Bawang

Cerita dari Belanda: "Mendingan Bir Ketimbang Perempuan!"

Mendingan mana, Korupsi atau Prostitusi?

Makan Sate di Belanda, Ogah Sate Palsu

walentina01Walentina Waluyanti - Nederland

About Me

 

{backbutton}

Add comment