Pasar di Belanda, Ada Terasi Sampai Petai
Penulis: Walentina Waluyanti - Nederland
Artikel terkait, silakan klik ==> Secuil Kisah dari Belanda dan Tragedi Bawang
Saya membuka lemari di dapur. Persediaan apa yang sudah habis? Teh melati? Gula jawa? Atau cemilan ala Indonesia seperti kacang Bogor? Seperti umumnya ibu-ibu lainnya, menginspeksi persediaan dapur sudah menjadi rutinitas. Untungnya berbagai kebutuhan dapur khas Indonesia bisa dengan mudah didapatkan di pasar dan toko-toko Indonesia di Belanda. Terlebih dari rumah saya, jarak dari rumah ke pusat perbelanjaan (Centrum) di pusat kota, sangat mudah dan cepat dijangkau hanya dengan berjalan kaki tak sampai 5 menit.
Salah satu gerai di pasar kota Almere-Stad, menjual berbagai bumbu/bahan makanan khas Indonesia. (Foto: Walentina)
Salah satu toko Indonesia di Kota Almere-Stad. (Foto: Walentina Waluyanti)
Meski suami saya orang Belanda, namun ia juga menggemari kuliner Indonesia. Lemari dapur sudah pasti selalu komplit dengan persediaan bumbu dan bahan kebutuhan dapur Indonesia. Emping mlinjo dan krupuk lainnya, kripik pisang, tempe, tahu, singkong, ikan asin (jambal, peda, dll), ikan teri kering, cabe rawit, aneka sambal, dan bahan makanan khas Indonesia lainnya, menjadi kebutuhan keluarga.
Sejak sekitar akhir tahun 1950-an/1960-an, sudah bermunculan toko Indonesia di Belanda. Tetapi ketika itu jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Letaknya pun masih di kota besar saja. Namun kini toko Indonesia di Belanda tumbuh seperti jamur di musim hujan. Dari sayur kangkung, telor asin, gula jawa, daun sirih, air kapur sirih, daun dan buah pepaya, rambutan, salak, durian, langsat, leci, petai, terasi, tempe, tahu, lengkuas, jahe, sereh, minuman tradisional seperti serbat, aneka jamu dan lainnya? Bahkan "minyak antik" seperti minyak urang-aring, minyak kemiri, minyak tawon, minyak kayu putih, minyak angin, semuanya bisa dijumpai di pasar tradisional di Belanda.
Kualitas bahan makanan dari Indonesia umumnya berkualitas bagus, karena dikirim dari Indonesia dengan mematuhi syarat kualitas ekspor. Tetapi di Belanda, tak semua kebutuhan dapur Indonesia diimpor dari Indonesia. Ada juga yang berasal dari negara Asia lainnya, misalnya Thailand, Filipina, Vietnam. Tempe dan tahu segar pun bisa didapatkan mudah, tak perlu didatangkan dari Indonesia. Karena di Belanda pun telah ada pabrik pembuatan tempe dengan kualitas kacang kedelai yang sangat baik.
Belanjaan khas kebutuhan dapur orang Indonesia di Belanda. (Foto: Walentina Waluyanti)
Dengan majunya dan semakin cepatnya transportasi, bahan yang dijual pun semakin baik mutunya. Bahan-bahan itu tidak sempat “membusuk”di jalanan, sudah tiba di tujuan dengan selamat. Beberapa tahun lalu saya tidak pernah puas jika makan tempe di Belanda. Karena warnanya sudah agak kecoklatan dengan bau menyengat. Tadinya saya mengira itu terjadi di satu toko saja. Tetapi saya bandingkan dengan toko lainnya, ternyata juga sama saja. Mungkin karena saat itu tempe masih diimpor, sehingga ketika tiba di Belanda, kondisinya tidak lagi segar. Sekarang ini kualitas tempe dan tahu di Belanda sudah jauh lebih baik mutunya. Warnanya putih bersih, rasanya enak, tak kalah enak dengan tempe Indonesia. Padahal tempe itu tempe made in Nederland.
Omong-omong tentang pasar tradisional di Belanda, biasanya alasan orang ke pasar karena ingin mendapatkan bahan yang masih segar. Misalnya sayuran yang berasal langsung dari petaninya. Ikan laut yang masih segar, daging-dagingan yang langsung dijual oleh tukang dagingnya sendiri. Pilihannya pun lebih banyak. Ada beberapa bahan yang kadang tak bisa didapatkan di toko-toko swalayan besar.
Yang menarik, dulu saya melihat di stand penjual sayur (Eropa), biasanya sulit dijumpai sayuran Asia. Jenis sayuran Asia hanya bisa dijumpai di toko Asia. Bisa juga di pasar tradisional yang khusus menjual kebutuhan dapur Indonesia. Namun sekarang ini sudah berubah. Penjual sayur orang Belanda pun sudah mulai menjual sayuran yang dibutuhkan oleh orang Asia. Misalnya sawi hijau, sawi putih, mangga, semangka, singkong, cabe rawit, cabe besar. Tampaknya dengan menginternasionalnya kuliner dari berbagai bangsa, masyarakat Eropa pun sudah semakin meng-internasional dalam soal menu. Saya lihat pembeli sayuran khas Asia bukan lagi hanya orang Asia, tetapi orang Eropa juga. Mungkin juga karena secara demografis, Belanda terdiri dari penduduk multi-etnis dan multi-ras. Penduduk dari hampir segala penjuru dunia, tumpek-blek di Belanda, negeri yang kecil ini.
Stand sayuran Eropa di pasar, dulu belum menjual sayuran/buah khas Asia. Namun kini mangga, semangka, dan beberapa jenis sayuran untuk orang Asia pun ada. (Foto: Walentina Waluyanti)
Aneka buah dan sayuran di pasar Almere Haven. (Foto: Walentina Waluyanti)
Etika para penjual di Belanda terhadap pembeli, patut diberi jempol. Misalnya saya pernah membeli sayur bayam. Penjualnya bertanya apakah sayur itu akan saya masak hari ini atau besok. Jika sayur itu akan dimasak besok, sebaiknya jangan beli sayurnya itu, katanya. Karena kalau menunggu besok, sayur itu sudah tidak lagi baik dan menjadi layu. Tapi kalau akan dimasak hari ini, maka saya bisa membelinya. Begitu penjual memberi advis. Wah, padahal kalau cuma berpikir demi untung, bisa saja penjual itu diam saja. Yang penting pembeli membayar, dan si penjual dapat duit. Tetapi penjual itu tetap memegang etika, tak ingin memanipulasi pembeli.
Malah biasanya jika pasar sudah hampir tutup, ikan-ikan yang dianggap penjualnya sudah tak bagus disimpan sampai besok, harganya langsung dibanting sangat murah. Sehingga pembeli sudah tahu bahwa ikan yang dibelinya itu bukan lagi ikan segar. Juga sama dengan penjual roti. Mereka berterus terang bahwa roti yang itu masih segar, dan yang ini tak lagi segar. Biasanya roti yang sudah tak bisa disimpan sampai besok, harganya diobral murah. Meski demikian, tak banyak orang Belanda yang mau menyantap roti tak segar. Lebih baik sedikit mahal tapi lebih segar.
Penjualan ikan di Belanda selalu laris, meski di Belanda harga ikan lebih mahal dibanding daging. Foto atas dan bawah adalah tenda penjualan ikan di pasar di kota Almere-Stad. (Foto: Walentina Waluyanti)
Umumnya pasar tradisional di Belanda diadakan 2 kali seminggu. Setiap Rabu dan Sabtu, ataupun hari lainnya. Memang ada juga pasar yang buka setiap hari. Tapi ini pengecualian. Misalnya di Amsterdam, sebagai ibukota negara. Ini pun tidak semua pasar di Amsterdam yang buka setiap hari. Karena tidak setiap hari ada pasar, orang yang ingin berbagai bahan seperti sayur, ikan, daging yang masih segar biasanya datang mencari bahan tadi ke pasar. Bahan makanan khas Holland yang sudah pasti ada di pasar tradisional, yaitu aneka roti dan keju. Dua bahan makanan ini menjadi makanan pokok sehari-hari orang Belanda. Mana bisa orang Belanda “hidup” tanpa roti dan keju? Di gerai roti, saya membeli roti panggang kesukaan saya yang menggunakan jenis kacang pecan yang lezat itu. Di rumah, roti ini saya nikmati dengan teh ataupun kopi.
Pecanbread, roti panggang yang renyah, gurih dan sedikit manis bertabur kacang pecan. (Foto: Walentina Waluyanti)
Penjual aneka jenis roti di pasar Almere-Haven. (Foto: Walentina Waluyanti)
Penjual aneka macam keju di pasar Almere-Haven. (Foto: Walentina Waluyanti)
Di pasar tradisional juga bisa dijumpai produk biologis, yaitu produk tanpa bahan kimia. Misalnya sayuran, ikan, daging, dan bahan makanan lainnya yang tidak mengandung bahan kimia. Harganya lebih mahal. Sebab produk biologis ini menggunakan bahan-bahan alami yang tidak berisiko bagi kesehatan. Misalnya sayuran yang ditanam secara alami, tidak menggunakan bahan penyemprot kimia. Begitu juga ikan dan daging yang diternakkan secara alami.
Produk biologis ini misalnya daging ayam yang diternakkan dengan makanan alami, bukan ayam broiler yang gemuk karena disuntik. Meski harga produk biologis ini mahal, tak sedikit konsumen khusus yang memang hanya ingin meng-konsumsi produk biologis ini. Bukan hanya daging, ikan dan sayuran. Juga makanan olahan dalam kemasan. Misalnya chips, crackers, biskuit, dan banyak lagi bahan makanan dan minuman yang tergolong produk biologis.
Aneka bahan makanan produk biologis tanpa bahan kimia di pasar Kemphaan, Flevoland. (Foto: Walentina Waluyanti)
Belanda terkenal sebagai salah satu produsen kembang terkenal di dunia. Itu sebabnya Paus di Roma dalam setiap perayaan Paskah, pada pidatonya selalu menyebut Belanda. Paus secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Belanda, atas kiriman bunga dalam jumlah gigantis. Oleh karena Belanda terkenal dengan produksi kembang, tentu saja di pasar selalu ada penjual aneka tanaman dan kembang. Selain kembang khas Belanda seperti bunga matahari dan tulip, kembang anggrek yang khas Asia pun, selalu bisa didapatkan di pasar.
Umumnya orang Belanda sangat menyukai kembang segar di dalam vas yang harus selalu berada di rumah. Begitu kembang di vas layu, harus segera diganti dengan kembang segar lain. Begitu juga saat mengunjungi teman/kerabat, sudah menjadi tradisi di Eropa, orang selalu membawa buket bunga untuk tuan rumah sebagai oleh-oleh. Karenanya kembang merupakan bagian dari kebutuhan sehari-hari. Penjualan kembang di pasar selalu laris, meski banyak bertebaran toko-toko besar yang khusus menjual kembang dan tanaman dengan koleksi lebih banyak dan lebih komplit. Harganya pun tidak beda jauh dengan harga di pasar.
Anggrek dan aneka kembang/tanaman dijual di pasar di Kemphaan, Flevoland. (Foto: Walentina Waluyanti)
Aneka buket kembang di pasar Almere-Haven. (Foto: Walentina Waluyanti)
Bukan hanya bahan makanan, kembang, dan tanaman yang dijual di pasar tradisional di Belanda. Juga ada pakaian, sepatu, tas, souvenir, dan berbagai kebutuhan lain. Umumnya lokasi pasar selalu berada di sekitar area berbagai mall. Pasar tradisional berdampingan dan berada di kompleks mall, termasuk toko-toko dari merk internasional yang terkenal. Sehingga pembeli punya pilihan cukup. Konsumen tahu bahwa ada bahan yang lebih baik jika dibeli di pasar, dan ada bahan yang lebih baik jika dibeli di mall, supermarket, dan toko-toko.
Meski pasar dikitari oleh mall dan toko-toko dengan merk terkenal, namun di pasar tetap juga dijual sepatu (atas) dan baju (bawah) di pasar Almere-Stad. (Foto: Walentina Waluyanti).
Saya sendiri selalu menikmati setiap berkunjung ke pasar tradisional. Selain karena ingin mendapatkan bahan kebutuhan dapur yang masih segar, juga bisa membandingkan harga-harga. Selain itu, asyik juga melihat aneka tingkah manusia di pasar, memberi inspirasi tersendiri. Pasar selalu menjadi wajah kota dan budaya masyarakatnya. Penataan pasar yang baik, merupakan cerminan kebijakan pemerintah kota. Lokalisasi pasar dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah disepakati. Di Belanda, umumnya tenda-tenda di pasar bisa dibongkar pasang, bukan dipasang permanen. Dan tenda itu khusus disediakan oleh perusahaan penyewaan tenda.
Yang mengesankan dari pasar tradisional di Belanda, adalah penataan yang rapi dan teratur. Semalam sebelum pasar diadakan, pemasang tenda sudah datang untuk memasang tenda di tempat yang ditentukan. Begitu pula sesudah pasar usai, penjual langsung mengepak jualan dan langsung dibawa pulang. Tenda langsung dibongkar dan diangkut ke dalam mobil besar. Sampah-sampah yang ada dibersihkan sampai tak ada lagi sampah yang tercecer dan berserakan. Kesadaran orang akan kebersihan lingkungan sudah sangat tinggi. Meski penjual sudah membersihkan sampahnya, masih ada petugas kebersihan kota yang berseragam, yang turut membenahi dan merapikan lokasi.
Suasana pasar di Almere-Haven. (Foto: Walentina Waluyanti)
Begitu pasar usai, lokasi kembali rapi dan bersih seperti semula. Lokasi yang tadinya penuh sayur, bau ikan, dan segala macam benda malang-melintang, dalam sekejap kembali normal. Suasana berubah resik, orang tenang berlalu-lalang, anak-anak bermain. Dan orang-orang bisa duduk di bangku taman tanpa sampah dan keributan. Seakan tak ada tanda-tanda bahwa sebelumnya tempat tadi ada timbunan ikan dan sayur. Seketika tempat itu menjadi bersih kembali tanpa bau ikan, tanpa bau khas pasar tradisional. Lingkungan sekitar kembali normal, dengan aroma rerumputan segar.
Tenda-tenda yang berdiri di pasar langsung dibongkar dan lokasi langsung dibersihkan begitu pasar usai, sehingga lingkungan menjadi asri kembali. (Foto: Walentina Waluyanti)
Artikel terkait, silakan klik:
Pengalaman Bertetangga di Belanda
Pengalaman Hidup di Belanda: Mana Ada Orang Belanda Setajir Anang Hermansyah?
Kompas TV Bertamu ke Rumah Walentina
Berkunjung ke Pasar Terbesar di Eropa
Ngintip Holland Tempo Doeloe di Pasar Tradisional Belanda
Makan Sate di Belanda, Ogah Sate Palsu
Walentina Waluyanti
{backbutton}