Menjauhi Jurnalisme Seolah-Olah
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Ada media yang berperan sebagai pembela pemerintah? Membungkam mereka yang melawan kebijakan pemerintah? Periode ini pernah dilalui oleh rakyat Indonesia. Kemuakan rakyat atas monopoli informasi yang dikendalikan pemerintah, membuat nama Harmoko (mantan menteri penerangan) diplesetkan menjadi “hari-hari omong kosong”. Klimaksnya, bisul rakyat pecah, dan lahirlah reformasi.
Harmoko dan Mbak Tutut (Foto: Politikana.com)
Omdo atau omong doang adalah ungkapan versi bahasa Indonesia yang kira-kira setara dengan NATO (No Action Talk Only). Omdo biasa ditujukan pada orang yang suka mengkritik pemerintah. Cuma bisa omong doang, tapi coba kalau disuruh jadi presiden, memangnya Anda bisa? Wah, kalau rakyat yang bilang begini, bisa dimaklumi. Orang masih bisa bertanya, rakyat yang mana dulu.
Tapi kalau media yang nyinyir membela pemerintah, memang menjadi fenomenal. Terlebih di era reformasi ini. Soalnya, hakikat media itu adalah corong suara hati nurani rakyat. Ini adalah adagium yang umumnya dipegang teguh oleh media. Walau mengagumi Soekarno, tapi saya bukan tipe “pejah gesang nderek Bung Karno”. Bukan pemuja fanatik yang tidak bisa mengkritik dan melihat kekurangan Bung Karno. Selain anti dengan kelakuan poligaminya yang off-side, saya juga sulit memahami kebijakannya yang menjebloskan wartawan Mochtar Lubis ke penjara, karena kritik-kritikannya. Koran yang dipimpin Mochtar Lubis, Indonesia Raya, selain pernah dibreidel oleh Soekarno-Nasution, juga pernah dibreidel di masa pemerintahan Suharto.
Mochtar Lubis pernah dikutip majalah Tempo, menyatakan keheranannya. Ia hanya mencurahkan isi hati, nurani dan pikirannya, demi perbaikan bangsa. Ia cuma tak suka kezaliman. Tapi gara-gara itu banyak orang tak senang padanya, penguasa gelisah dan menjebloskannya ke penjara.
Selain wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal multi-talent. Ia juga sastrawan dan pelukis. Piawai membuat karya sastra apik, seperti cerpen dan novel. Ia juga pandai melukis, mematung dan membuat keramik.
Mochtar Lubis (foto: Mandailing.com)
Wartawan seperti Mochtar Lubis, yang berani bersuara mengoreksi pemerintah, termasuk langka. Tak banyak wartawan yang berani ambil risiko mengungkap praktek ketidakberesan pemerintah.
Sampai sekarang jurnalis seperti Mochtar Lubis, rasanya sungguh dibutuhkan Indonesia. Jurnalis yang patut disebut jurnalis sejati. Tak gentar menghadapi kesusahan, karena menyuarakan ketajaman nuraninya. Jika seorang wartawan seperti Mochtar Lubis gencar bersuara, lalu dikatakan omdo, ya memang wartawan itu kerjaannya omong (menulis) doang.
Lalu timbul pertanyaan, apakah pemerintah harus perlu selalu diserang dan dikritik? Tidak adil dong. Masak sedikitpun tidak bisa melihat sisi bagus pemerintah. Masak tidak ada yang bisa dipuji dari pemerintah. Kenapa media itu mottonya cuma “media adalah corong suara hati nurani rakyat”. Lalu mana corong buat suara pemerintah?
Untuk pertanyaan di atas, ada sebuah kutipan terkenal. Bagi yang pernah mengenyam pendidikan ilmu sosial politik, pasti mengenal kalimat ini. “Kekuasaan cenderung korup (Power tends to corrupt)”. Ini kutipan terkenal dari kalimat Lord Acton, seorang sejarawan, politisi, dan penulis asal Inggris. Selanjutnya kata Lord Acton, “And remember, where you have a concentration of power in a few hands, all too frequently men with the mentality of gangsters get control. History has proven that. All power corrupts; absolute power corrupts absolutely.”
Karena itu kehadiran media dengan para barisan jurnalisnya sangat terasa perannya. Yaitu menetralisir tingkah polah kekuasaan agar tidak lupa diri. Maklum, sudah menjadi sifat manusia, ketika kekuasaan ada di tangan, manusia cenderung takabur dan lupa daratan. Yang memerintah (pemerintah) selalu cenderung lebih kuat daripada yang diperintah (rakyat). Yang kuat, tanpa pembelaan pun posisinya memungkinkan untuk punya kekuatan. Karenanya cenderung mudah memperoleh haknya. Sedangkan yang lemah, walau dibela pun belum tentu bisa kuat memperjuangkan haknya. Ini sudah rumus yang memang begitu faktanya.
Dalam posisi inilah, para jurnalis berada. Bak main sepak bola, posisi jurnalis seperti gelandangan...eh, gelandang. Menjaga harmonisasi permainan, membantu para bek dan para penyerang agar bersama-sama bisa menuju tujuan bersama yaitu....GOOOLLLl!!!
Foto: Flyxia.com
Posisi jurnalis adalah penyeimbang agar pemerintah tetap eling. Permasalahan rakyat diangkat ke permukaan, agar bisa didengar oleh pemerintah. Bukankah pada hakikatnya pemerintah itu adalah pelayan publik? Tentunya semua itu untuk mencapai “gol bersama”, yang setiap orang tahu yaitu kesejahteraan dan keadilan.
Dan bagaimana dengan kehadiran citizen journalism? Nah, ini dia! Syukurlah, setelah era reformasi, rakyat punya ruang untuk secara langsung menyuarakan opininya. Ini artinya setiap warga punya peluang untuk jadi jurnalis, tanpa dibayar dan tanpa mengharapkan bayaran. Para jurnalis warga yang mulai diakomodasi oleh media profesional, bisa seperti pisau bermata dua. Bisa merugikan, bisa menguntungkan.
Terasa menguntungkan jika para jurnalis warga itu bisa membuat reportase langsung. Apalagi jika reportase itu akurat, bisa dipercaya, disertai foto-foto eksklusif. Dalam hal begini, tugas media diringankan. Bandingkan saja kalau media harus mengeluarkan biaya dengan tenaga jurnalis profesional, untuk menghasilkan sebuah reportase. Tapi jurnalisme warga juga bisa dianggap merugikan, di kala keakuratannya dinilai banyak kalangan belum setaraf dengan jurnalis profesional. Sehingga dikuatirkan bisa menyesatkan pembaca. Dalam hal ini kekritisan pembaca bisa menjadi filter untuk selektif memilih bacaannya.
Setiap pembaca tentunya butuh berita yang bisa dipercaya. Secara psikologis biasanya orang merasa nyaman membaca tulisan dari orang yang jelas jati dirinya. Walau saya juga menikmati tulisan dari penulis anonim dan tak pernah saya kenal wajahnya.
Bagaimana dengan jurnalis warga yang anonim dan orangnya tidak pernah dikenal? Ya, sebaiknya tidak memvonis negatif, karena setiap orang punya alasan untuk menyembunyikan nama dan jati dirinya. Entah alasan privacy, tidak mau ngetop, tidak mau menonjolkan diri dan lain-lain.
Sebaliknya orang yang menampilkan foto dan nama lengkapnya, juga tidak perlu divonis negatif, misalnya narsis, haus perhatian, dan kecurigaan tak berdasar lainnya.
Tapi satu hal jelas. Jika seorang penulis menampilkan fotonya dan nama lengkapnya, maka penulis itu tahu betul dan siap dengan risiko jika tulisannya digugat, dirinya dicari akibat tulisannya. Lebih mudah meminta pertanggungjawaban dari penulis yang tidak ragu menampilkan identitasnya. Penulis yang bersangkutan pun tahu konsekuensi membuka jati dirinya. Dan jika penulis itu anonim, jika mau...maka ia akan lebih mudah menghindar jika orang ingin meminta pertanggungjawaban atas tulisannya. Bukankah penulisnya tidak pernah kita kenal?
Gunawan Muhamad adalah penulis yang banyak menulis esai. Kita kenal tulisannya melalui “catatan pinggir”. Tulisannya tak jarang menyebutkan kejadian historis. Karena Gunawan Muhamad itu wartawan senior, walau tulisannya tak disertai sumber tulisan, orang tak mempersoalkan. Begitu juga Putu Wijaya. Dalam esainya, ia tak perlu menyertakan catatan kaki dan sumber tulisan. Pembaca juga tak mempersoalkan. Wartawan majalah “G” menulis tentang seluk beluk latar belakang Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa, lalu mencantumkan tulisannya dikutip dari berbagai sumber. Tanpa merinci dari sumber mana. Pembaca juga tak mempersoalkan. Jabatan sebagai jurnalis profesional seakan jaminan keakuratan tulisan-tulisan mereka. Orang tak mewajibkan mereka menyertakan sumber tulisan.
Bagaimana dengan para jurnalis warga di Kolom Kita di Detik.com ini? (Catatan: Kolom Kita dulu adalah kolom di Kompas.com). Menurut saya, namanya juga jurnalisme independen. KoKi bisa saja membuat peraturan dan tata tertib. Tapi karena sifat independensinya jurnalisme warga, maka tanggung jawab juga turut berada di tangan KoKi sendiri. Tanggung jawab ini fifty-fifty antara penulis dan pihak KoKi.
KoKi punya pilihan untuk memuat atau tidak memuat sebuah tulisan. Taruhlah misalnya tulisan saya dianggap plagiat, maka KoKi juga harus tegas tidak memuat tulisan itu. Jika ketahuannya belakangan, maka tulisan plagiat mesti segera dicabut. Juga konsekuen tunjuk hidung, dan memberi teguran keras. Dengan demikian KoKi sudah memberi kontribusi ikut membangun citizen journalism/jurnalisme warga yang sehat.
Tiap penulis (termasuk Gunawan Muhamad dan Putu Wijaya) tahu dan punya argumen sendiri, kapan mereka harus mencantumkan sumber tulisan dan kapan tak perlu. Jika sebuah tulisan titik beratnya pada opini pribadi, refleksi, kontemplasi, renungan....kejadian historis di dalam tulisan itu hanya sekedar ilustrasi kisah, maka artikel itu tak tergolong artikel informatif. Dalam kasus ini, penyebutan sumber tulisan tergantung bagaimana urgensinya. Itu bisa kita lihat pada esai-esai Gunawan Muhamad dan Putu Wijaya. Jika sebuah artikel titik beratnya pada penyampaian informasi/artikel informatif, maka penulis yang bertanggung jawab, tanpa disuruh pun akan menyebutkan sumbernya, dengan maksud lebih membuat tulisannya “terpercaya”.
Saya optimis, Kolom Kita tidak akan terjebak menjadi “jurnalisme seolah-olah”. Fenomena “seolah-olah” kita lihat dalam masyarakat, ketika reformasi terasa hanya “lip-service”. Artinya seolah-olah demokrasi itu ada, seolah-olah semua orang sama kedudukannya, seolah-olah kebebasan berekspresi itu ada, seolah-olah ada toleransi....tapi apa boleh buat, ternyata hanya manis di bibir. Ini kuberikan tempat, tapi setelah diberi tempat lalu digempur. Seolah-olah rakyat diberi tempat kebebasan berekspresi di ruang khusus. Tapi kok...??? Seolah-olah reformasi, tapi reformasi yang bagaimana? Ke arah positif atau negatif?
“Jurnalisme seolah-olah”, atau “seolah-olah jurnalisme” itu terasa ada, jika di tengah jurnalisme warga itu ada pembiaran terhadap SARA, intoleransi, pelecehan, saling menghujat. Pembiaran demi pembiaran berpeluang menumpulkan kepekaan, dan akhirnya menganggap...ah, mungkin ini normal, mungkin inilah bagian dari demokrasi. Padahal ini jelas melenceng dari prinsip media sebagai corong suara hati nurani rakyat.
Syukurlah, kita melihat ada usaha positif dari Kolom Kita, berusaha keras mengantisipasi semua ini. Ada kerja keras dan niat baik dari team redaksi untuk membuat Kolom Kita semakin hari semakin bermutu. Sehingga Kolom Kita tak tergolong kategori “jurnalisme seolah-olah”, atau “seolah-olah jurnalisme”.
Redaktur juga manusia biasa, walau berusaha adil, tapi bisa suka dan tidak menyukai seseorang. Bisa kesal, bisa lelah menanggulangi permasalahan di balik meja Kolom Kita...bisa apa lagi ya? Eh, ya bisa jaim juga. Hahaha...nggak kok, mas moderator nggak jaim-jaim amat. Kalau saya lagi mogok menulis, sapaannya melalui email, langsung membuat saya bersemangat menulis. Jika masih ada kekurangan di sana-sini, itu bisa dimaklumi...begitulah proses membangun.
Bagaimanapun harus diakui, Dadi R. Sumaatmadja sebagai moderator Kolom Kita, sudah banyak membawa polesan positif dan angin segar bagi pertumbuhan Kolom Kita. Mulai dari perbaikan segi bahasa, editing, dan masih sederet lagi. Usahanya patut kita dukung. Demokrasi yang dilekatkan di Kolom Kita, bukan tidak mungkin melahirkan para “Mochtar Lubis muda”. Yaitu para jurnalis warga yang mengedepankan nurani, pemberani, progresif, kritis, namun tetap SANTUN.
Walentina Waluyanti
Penulis artikel ini adalah pengajar juga pelukis
{backbutton}