Mengintip Sekolah Calon Pastor

Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Catatan pengantar: Paus Franciscus Jorge Mario Borgeglio terpilih sebagai Paus, 13 Maret 2013. Karena itu saya terinspirasi menulis tentang Seminari, sekolah calon imam/pastor (di Jawa disebut 'Pastur' atau 'Romo'). Sebelum menjadi Paus, tentu ia telah melewati masa pengabdian sebagai Pastor, dan jauh sebelumnya juga digodok di sekolah Seminari. Sekolah Seminari tersebar di seluruh dunia, (pernah) berada di bawah hierarki Vatikan, termasuk Seminari di seluruh Indonesia.

Saya adalah produk sistem pendidikan jadul. Menurut saya, guru-guru sekolah jaman dulu walau bukan sarjana, tapi sangat bertanggung jawab untuk betul-betul menguasai bidang yang diajarkannya. Merekalah pahlawan non-sarjana yang sukses menelurkan sarjana hebat di kemudian hari.

Guru-guru jadul, walau bukan sarjana, tapi berhasil membuat kami murid-muridnya ingat, paham, bahkan hafal di luar kepala pelajaran yang diberikan. Mereka bisa membuat murid taat untuk tampil maksimal saat harus menjelaskan peta buta di depan kelas, - baik peta Indonesia, maupun peta dunia. Mereka mampu membuat semua murid terdiam, terpaku memusatkan diri pada pelajaran. Bandingkan dengan kelas-kelas sekarang yang ribut seperti pasar, walau guru berdiri di depan kelas. Sampai sekarang saya bisa menjawab otomatis tanggal/tahun beberapa kejadian historis, sekaligus memahami, dan bisa menjelaskannya dengan lancar, berkat jasa guru-guru itu.

Dulu saya bersekolah di SD Katolik, Santo Yakobus di Makassar. Walau namanya sekolah Katolik, jangan dikira semua muridnya Katolik. Di sekolah itu, murid Islam hampir sama banyaknya dengan murid Katolik. Sekarang baru saya sadari, waktu itu "sekat-sekat keagaamaan" belum setajam sekarang. Di masa itu lumrah saja anak-anak Islam bersekolah di sekolah Katolik. Misalnya Abraham Samad Ketua KPK, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, dan Andi Meriem Matalatta penyanyi lembut bangsawan Bugis itu, tamatan SMA Katolik di Makassar.

Selain guru tetap, ketika itu di SD kami ada beberapa guru yang sering diperbantukan. Mereka adalah siswa yang lulus dari Seminari. Kami menyebut mereka dengan frater. Frater-frater itu lulusan Seminari Menengah Santo Petrus Claver, yang asrama/sekolahnya tidak jauh dari SD kami. Eks siswa yang paling dikenang dari Seminari ini, yaitu Otto CorneIius Kaligis. Maklumlah, Otto Kaligis ini adalah "suhu" di dunia advokat. Presiden Suharto adalah salah satu kliennya. Selain itu Otto Kaligis adalah penulis buku produktif. Sekitar 80 judul buku telah ditulisnya.

Sekolah2

Presiden Obama & Otto Kaligis (Foto: pakmanihuruksh)

Seminari adalah sekolah untuk mendidik siswa menjadi calon imam Katolik. Umumnya siswanya cerdas. Mereka mendapat pelajaran yang lebih dari sekolah menengah biasa. Misalnya bahasa Latin, bahasa Jerman, dan beberapa pelajaran ekstra yang tidak ada di kurikulum sekolah umum lain. Sudah bukan rahasia, kadang-kadang siswa mendaftar ke sekolah ini karena ingin memperoleh kualitas pendidikannya saja. Pendidikannya bermutu, gurunya berbobot. Tapi untuk menjadi pastor betulan? Tunggu dulu! Tak heran selalu saja ada siswa yang minta berhenti setelah betul-betul dihadapkan pada pilihan apakah memang ingin menjadi "Romo".

Selain Otto Kaligis, dari Seminari Makassar Santo Petrus Claver ini lahir beberapa nama yang dikenal di tanah air. Antara lain pencipta lagu Pantje Pondaag, Jenderal Gories Mere mantan Ketua BNN, yang dulu memburu dan membekuk Ratu Extacy Zarima yang kabur ke AS.

Namun masih ada nama terkenal yang tak banyak disebut ia pernah bersekolah di Seminari ini (?). Saya hanya pernah mendengarnya dari beberapa orang. Mungkinkah karena jejak masa lalunya jadi kabur, setelah ia mengganti namanya, jauh sebelum kepopulerannya? Nama itu adalah Menkum HAM Amir Syamsuddin.

Amir Syamsuddin dulu bernama Tionghoa, Freddy Tan Toan Sin. Ia mengganti namanya setelah jadi mualaf, kabarnya pada saat ingin menikah lagi. Begitu desas-desus yang sudah lama saya dengar. Namanya juga desas-desus, entah benar entah tidak. Saya dan pembaca tidak harus memercayainya, apalagi berprasangka buruk. Kalaupun itu benar, kita tak berhak menghakimi jalan hidup seseorang. Bukankah jalan hidup itu misterius, kadang bergulir ke arah yang belum tentu diinginkan? Yang jelas, Amir Syamsuddin melesat karirnya sebagai pengacara handal hingga jadi menteri, setelah mulai magang di kantor pengacara Otto Kaligis, yang dulunya sama-sama berasal dari Makassar. Mungkin juga begitulah panggilan hidup mereka harus mengalir.

Sekolah3

Amir Syamsuddin dan istri (Foto: Saipullah Halim/seruu.com)

Di luar soal panggilan hidup, fakta yang sulit ditepis adalah alumnus Seminari selalu dihadapkan pada tuntutan ekstra dari masyarakat. Dengan label "sekolah calon imam", walau tak harus jadi "Romo", pastilah alumnusnya diharapkan lebih taat pada azas nilai, norma, integritas yang berlaku universal. Tuntutan ini memang tak mudah diemban. Semakin banyak harta, semakin sukses, semakin banyak pula godaan. Dan sekarang? Siapa sangka Otto Kaligis, pengacara papan atas yang mengaku beristri 10 (belum termasuk pacar) dan beranak 20 itu, ternyata pernah duduk di sekolah calon pastor? (Tentang jumlah istri Otto Kaligis, ini bukan ‘character assassination’ lho! Tapi itu diakuinya sendiri di depan media). Dan siapa sangka kelak Otto Kaligis yang pernah dididik untuk menjadi calon imam, kemudian harus menghabiskan sisa hidup di penjara dengan label sebagi koruptor? Entah apa komentar para pengajar dan alumnus Seminari atas reputasi Otto soal perempuan ini dan nasib tragisnya yang berujung di sel tahanan.

Beda jauh dengan sekarang, waktu muda Otto Kaligis lumayan "boljug" (boleh juga). Matanya menyala-nyala galak. Rambutnya gondrong, dengan belahan pinggir. Generasi Otto Kaligis adalah generasi yang lebih tua, bukan generasi frater yang mengajar di SD saya. Yang mengajar di SD saya itu adalah siswa Seminari yang lebih muda dari generasi Otto Kaligis.

Siswa-siswa Seminari itu umumnya adalah siswa terpilih. Ibarat santri, mereka itu memang ditempa sedemikian rupa. Sehingga berpengetahuan luas dan selalu tampil santun, baik dalam berperi-laku maupun bertutur kata. Kalaupun di masa depan, ada yang sedikit melenceng, ini tentu bukanlah "salah bunda mengandung"... Hehehe...peace man!

Rektor seminari adalah figur pendidik yang diidolakan. Rektor Seminari yang pertama adalah pastor Belanda, namanya Pater Albert Raskin. Rektor berikutnya yang sering saya lihat adalah Pater Tjeerd Berkenbosch, juga pastor Belanda. Di sore hari ia sering berkeliling asrama. Atau sekadar ikut menyaksikan siswa bermain voli atau sepak bola. Atau malah ikut sepak bola bersama siswa. Di mata saya, Pater Rektor ini sepertinya tinggiiiii sekali. Kalau ia bersandar di tiang gawang sepak bola, tingginya seolah sama dengan tiang gawang.

Sekolah4

Lapangan olah raga di kompleks seminari (Foto: yaysanpeduliseminarimakassar)

Jika ada siswa yang tidak bisa bertahan lagi di Seminari, maka ia harus menghadap Rektor. Biasanya selalu saja ada siswa yang ingin keluar dari sekolah. Maklum, dengan disiplin super ketat di asrama, subuh dini hari harus bangun berdoa bersama. Setiap jam diatur… kadang ada yang tak mampu bertahan. Lalu minta surat pindah ke sekolah biasa. Siswa yang memutuskan "desersi" masuk ke ruang Rektor, menyampaikan maksudnya. Sekaligus pamit. Pater Rektor biasanya dengan selera humornya bercanda, "Kamu memang laki-laki normal." Setelah itu siswa diberi petuah, dan harapan, agar sukses walau memilih jalan lain.

Seminari ini adalah kompleks sekolah dengan asrama yang sangat luas dan besar. Masa kanak-kanak saya sulit terlepaskan dari kenangan tentang Seminari. Sambil bermain di dalamnya, diam-diam saya mengintip banyak hal menarik. Dulunya kompleks Seminari ini adalah kebun buah dan bunga, milik seorang Tionghoa. Kebun buah yang luas ini kemudian dibeli. Lalu dirombak menjadi kompleks Seminari. Di dalamnya ada beberapa kompleks gedung. Ada kapel, aula, ruang sekolah, kamar para siswa, perpustakaan, ruang baca, aula tempat makan, dapur besar, dan beberapa kompleks gedung lain.

Sekolah7

Bapak Frans Rahardjo, mantan pengajar di Seminari Santo Petrus Claver menabuh bedug dalam pembukaan sebuah acara di halaman Seminari. (Foto: Walentina Waluyanti)

Sebuah makam (kabarnya makam pemilik tanah) sampai sekarang masih ada di dalam kompleks. Letaknya dulu dekat kamar mandi siswa. Dulu tahun 1970-an, siswa masih harus menimba air di sumur untuk mengisi bak mandi. Di sekitarnya ada lorong panjang beratap, yang menghubungkan asrama dengan gedung sekolah. Kadang saya takjub melihat banyaknya siswa yang beriringan di lorong itu. Sebagaimana pemuda umumnya, siswa Seminari juga bisa bercanda dan jahil, saling dorong-dorongan pada saat beriringan di lorong, menuju kelas. Saya ingat betul, tegel kuno di lorong itu selalu bersih berkilat. Menurut saya, lorong panjang itu bagai simbol perjalanan siswa menuju jalan imamat.

Di kiri kanannya, Seminari ini diapit mesjid dan Gereja Santo Yakobus. Pengelola mesjid dan penduduk sekitar yang sebagian besar muslim, punya relasi yang baik dengan pihak Seminari. Pernah ada isu yang bisa mengancam keselamatan Seminari dan gereja di sebelahnya. Penduduk di sekitar menunjukkan simpati dengan berjaga-jaga dan melindungi.

Sekolah5

Gerbang masuk seminari Makassar (Foto: Stepanus Wilfrid)

Sehubungan kegiatan sekolah, saya sangat sering berkunjung ke kompleks Seminari. Pada sore hari, siswa Seminari punya jam rileks. Ada yang berolahraga, ataupun membaca di ruang baca atau di perpustakaan. Kalau sekarang mengingat perpustakaannya, saya yang penggemar buku, merasa ngiler dengan banyaknya literatur asing di lemarinya. Ruang baca itu sangat luas dan panjang. Di sudutnya ada tiang penyangga tempat menaruh koran yang dibundel dengan kayu panjang. Ada koran Kompas dan koran lokal, Pedoman Rakyat.

Di sudut lain, ada aula besar, tempat siswa makan bersama. Di belakangnya ada dapur besar dengan panci-panci besar. Saya sering melihat para suster/biarawati dengan beberapa pembantu sibuk di dapur. Mereka memasak dalam jumlah gigantis untuk para penghuni asrama. Saya terheran-heran melihat timbunan sayur dan ikan begitu banyaknya, diolah bersama ramai-ramai oleh ‘tim dapur’.

Ruang aula makan dan dapur berbau sangat khas. Sampai sekarang aroma itu seakan masih melekat di hidung saya. Soalnya di aula itu, saya dan kawan-kawan kelompok seni, kerap berlatih di tempat itu. Di aula yang sekaligus tempat makan para siswa itu, memang berfungsi juga sebagai tempat pertunjukan seni jika ada pesta dan kegiatan penting lain. Aula sebagai tempat pertunjukan, juga dilengkapi panggung yang dibangun seperti panggung hiburan profesional. Jika saya dan kawan-kawan akan mengadakan pertunjukan seni, kami sering menggunakan aula itu, misalnya sebagai tempat latihan drama, menari, ataupun vokal group.

Di aula ini ada meja pingpong. Tapi ada yang lebih menarik perhatian saya. Dan suka saya utak-atik. Yaitu semacam "meja permainan sepak bola", yang didisain mirip miniatur lapangan sepak bola. Lengkap dengan boneka-bonekaan pemain sepak bola, gawang mini, dan bola kecil. Seorang teman berdiri di sisi kiri meja, dan saya berdiri di sisi kanan. Dengan gagang penggerak, boneka pemain bola itu saya gerakkan ke kiri dan kanan. Lalu berusaha memasukkan bola ke gawang lawan. Ah, asyik betul. Rasanya seolah-olah saya adalah jagoan yang betul-betul mahir bermain sepak bola.

Di mata kanak-kanak saya, Seminari adalah surga yang sangat indah. Di depannya ada pohon kamboja. Ada kamboja putih. Ada kamboja merah jambu. Juga ada bunga-bungaan lain, mulai dari halaman depan sampai di dalam kompleks. Semua terawat rapi.

Begitu memasuki gerbang tinggi, terlihat pohon mangga. Besar dan rimbun. Buahnya gede-gede. Pohon ini dikitari tembok rendah meliuk-liuk, dengan bebatuan artistik. Pohon mangga ini seakan menaungi kantor utama sekolah. Tak jauh dari pohon mangga, ada ruang kecil untuk penjaga. Saya ingat betul wajahnya. Seorang pria Toraja, tinggi dan ramah. Ia sering duduk membaca koran sambil minum kopi (mungkin kopi Toraja), di ruang kecil. Di sebelah ruang ini ada dapur kecil untuk keperluan staf dan tamu yang datang. Jika ada mobil yang ingin masuk ke halaman, Pak Penjaga yang asyik ngopi dan baca koran, buru-buru bangkit membuka pintu gerbang. Di tembok di bawah pohon mangga, kadang orang duduk-duduk santai. Dari bawah pohon saya memandangi warna buah yang ranum, kekuningan menggoda selera. Saat buahnya sudah banyak dan matang, Pater Rektor membolehkan siswa memanjat, lalu membaginya. Saya sering menemukan mangga matang yang jatuh dan memungutnya. Setelah pulang ke rumah, mangga itu saya beri pada ibu yang lalu mengupas dan mengirisnya. Rasanya manis betul.

Sekolah6

Salah satu gedung di kompleks di Seminari Makassar(Foto: yayasanpeduliseminarimakassar)

Sudut yang paling menyenangkan buat saya, adalah di bawah pohon kersen. Pohon ini berhadapan dengan ruang rektor. Saya masih ingat, di dekat pohon kersen ini ada kolam ikan. Pohon ini selalu berbuah melimpah. Dan yang penting, dahannya rendah sangat mudah diraih oleh tangan mungil saya. Tanpa kesulitan, saya bisa memetik kersen matang. Langsung mengunyahnya, sambil berdiri di bibir kolam, memandangi ikan-ikan berkejaran. Dikitari berbagai tanaman, bunga-bungaan, rerumputan segar, serasa berada di taman impian. Semua tampak hijau, diaksentuasi beberapa warna kembang dengan aroma segar. Buat anak-anak, surga mana lagi yang begitu indah selain tempat bermain senyaman ini?

Setiap tahun saya ke Indonesia. Kalau ke Makassar, saya masih sering ke Jalan Gagak tempat berdirinya Seminari ini. Setiap ke jalan Gagak di Makassar, kenangan masa kanak-kanak saya di Seminari, bangkit kembali. Tapi sebetulnya ada yang kerap saya kunjungi di dekat Seminari. Apakah itu? Setelah tahun demi tahun berganti, ada fenomena baru. Sekarang orang tidak tahu dan mungkin tidak peduli di mana Otto Kaligis dulu bersekolah.

Fenomena baru di dekat sekolah Otto Kaligis ini belum ada saat saya masih kecil. Apakah itu? Itulah warung coto Makassar. Warung ini sederhana. Namun sangat populer di seantero Makassar. Selebriti lokal maupun nasional jika ke Makassar, belum merasa afdol kalau belum menyinggahi warung coto Makassar ini. Nah, kalau cerita coto, lebih baik saya sudahi saja cerita ini. Karena walau kata ‘Otto’ dan ‘Coto’ hampir mirip bunyinya, tapi cerita antara keduanya betul-betul tidak nyambung!

Baca juga, silakan klik: KOMPAS TV Bertamu ke Rumahku

walentina01Walentina Waluyanti, penulis buku "Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan"

About Me

{backbutton}

Add comment