Ohmynews Ambruk dalam Kehormatan

Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Barisan pendukungnya jumlahnya seperti pasukan perang. Secara manajerial, tak ada yang bisa menyingkirkannya. Karena Ohmynews berdiri mandiri tak tergantung pada management luar. Walau namanya jurnalisme warga, namun otak di baliknya adalah seorang profesional. Pemilik Ohmynews punya gelar master dari pendidikan jurnalistik, dan PhD bidang komunikasi massa. Namun gelar yang mengindikasikan profesionalisme tadi, ternyata bukan jaminan. Jatuh, bangkit, menang, kalah, adalah soal biasa dalam hidup. Tak ada yang bisa melawan jika seleksi alam telah berbicara. Tapi pertanyaan ini tetap menggelitik. Bagaimana kok media jurnalisme warga raksasa sekelas Ohmynews yang membayar para staf dan kontributornya bisa jatuh? Mengapa? Yang jelas, jatuhnya Ohmynews menunjukkan uang bukanlah jaminan segalanya. Namun begitu, salut buat media ini. Sebab jatuh dalam idealisme adalah lebih terhormat.

Ohmynews.com (OMN), pernah eksis sebagai situs berita online citizen journalism (CJ) berbahasa Inggris. Didirikan tahun 2000 di Korea Selatan. Di awal kemunculannya dielu-elukan sebagai media CJ kelas internasional, tersukses di dunia. Dengan motto “Every Citizen is a Reporter”, media ini memberi kesempatan bagi warga di seluruh dunia untuk menjadi reporter.

citizen-journalism

Foto: Cybersoc.com

Di awal berdirinya, konsep OMN boleh dibilang ideal. Setidaknya ada upaya keras menyejajarkan mutu mereka dengan media meanstream. Keutamaan dari media meanstream adalah profesionalisme. Dan prinsip profesionalisme media meanstream ini, tampaknya berusaha diusung oleh OMN.

OMN berusaha menyajikan berita se-akurat mungkin. Tidak semua tulisan/berita lolos begitu saja sebelum diverifikasi. Semua tulisan harus melalui proses seleksi ketat. Bagi kontributor yang tulisannya lolos seleksi, ada honor/insentif. Mereka juga punya tim yang mengedit tulisan. Tim ini juga dibayar. Berita tidak akan ditayangkan begitu saja, sebelum benar-benar dinilai layak muat. Pokoknya OMN benar-benar streng, hanya memuat tulisan/info yang sudah diuji kebenarannya. Masih ada peraturan yang lebih ketat lagi. Para reporternya tidak dibenarkan mengirim tulisan dengan nama samaran. Penulis/kontributor harus menggunakan nama asli dan identitas sebenarnya. Coba, kurang apa konsep OMN ini?

Namun dengan semua konsep idealnya itu, OMN tak mampu eksis. Tak mampu lagi memverifikasi berita yang masuk. Seiring dengan tumbuhnya persaingan media, di mana-mana media meanstream mulai melibatkan partisipasi citizen journalism. Ohmynews yang telanjur mengusung konsep jurnalisme warga, mulai mengejar ketinggalannya dengan menyajikan berita seperti yang ada di media meanstream. Tapi konsepnya mulai tak jelas.

Di satu sisi, OMN mengusung konsep jurnalisme warga. Namun di sisi lain, terkesan OMN banting setir memberi sentuhan gaya media meanstream. Strategi ini tak banyak menolong. Konsep OMN mulai tidak konsisten. Bagaimana sebetulnya? Jurnalisme warga yang merger dengan media meanstream? Bukan. Format jurnalisme warga? Tidak lagi sepenuhnya. Media meanstream? Jelas bukan.

Setengah jurnalisme warga, setengah media meanstream? Konsep ini ideal sebagai konsep. Namun prakteknya tak semudah itu. Konsumen masih menempatkan 'media meanstream' sebagai kebutuhan teratas. Jurnalisme warga bisa diterima, selama itu sudah melalui FILTER media meanstream yang tidak tersangkut paut dengan management jurnalisme warga tersebut. Sehingga obyektivitasnya bisa dipertanggungjawabkan. Ini jelas tidak sama dengan konsep '1/2 jurnalisme warga, 1/2 media meanstream'. Perlahan-lahan pamor Ohmynews mulai memudar. Konsep yang di awalnya matang, kini berbalik setengah matang. Jika konsep mulai rapuh, maka arah yang dituju mulai tak jelas.

Sementara itu media meanstream mulai bangkit, memberi kesempatan terbaik bagi jurnalisme warga. Ditambah menjamurnya blog gratis, membuat media CJ mulai menemukan banyak alternatif. Perlahan-lahan OMN ditinggalkan konsumennya. Jumlah klik-nya lama kelamaan makin menurun. Rentetannya, OMN tak lagi mampu membayar staf-nya. Ketika OMN mencoba meminta bantuan dana dari publik, hasilnya nyaris nihil. Publik satu per satu pergi, karena menilai OMN tidak realistis. 

Soalnya di saat yang sama, mulai bermunculan aneka media CJ lain yang gratis. Orang tentu berpikir, jika bisa gratis di media CJ lain, mengapa harus memilih yang meminta bayaran? OMN akhirnya menyerah, dengan ksatria mengakui kegagalannya. Sejak 2010, OMN mengumumkan tak lagi bertahan dengan format situs berita. Toh dalam saat-saat terakhirnya, OMN tetap memegang loyalitas utama jurnalisme warga, yaitu loyalitas pada warga itu sendiri. Karena itu OMN mengubah formatnya dari situs berita menjadi blog diskusi.

Di awal berdirinya, OMN bisa meng-klaim walau barisan reporternya adalah amatir, tapi media ini dikelola oleh profesional. Namun siapapun tahu, OMN berkibar dengan bendera CITIZEN JOURNALISM. Ini artinya, walau dipimpin seorang profesional, tetap saja ada hal esensial yang tidak dimiliki oleh OMN. Yaitu KOMPETENSI.

Kompetensi dan media non-profesional (jurnalisme warga), ibarat air dan minyak. Kompetensi tak bisa dilekatkan pada media CJ, bagaimanapun hebatnya para jurnalis amatir itu. Bahkan juga walau pimpinannya profesional. Bukankah yang dilihat orang adalah status media-nya? Kompetensi melekatnya selalu pada media meanstream dengan jurnalis profesional-nya.

Pemimpin media CJ bisa saja seorang profesional di bidang jurnalistik (artinya punya kompetensi). Namun masalahnya bukan pada pimpinannya profesional atau amatir. Masalahnya terletak pada KEBUTUHAN KONSUMEN MEDIA. Yaitu TRUTH.

ohmynews2

Foto: socialmeteor

Bisa saja ada media meanstream yang menyajikan berita bohong, dan ada media CJ yang malah lebih akurat. Tapi konsumen tak mau tahu. Tetap saja konsumen butuh media yang secara formal KOMPETEN, sehingga berita-nya terpercaya. Mau diyakinkan bagaimanapun, konsumen tetap berpendapat bahwa TRUTH berasal dari KOMPETENSI, yang secara formal dimiliki oleh media meanstream. Konsumen melihat pada kompetensi MEDIA-nya sebagai institusi formal. Orang tak peduli walau ORANG di balik media CJ itu profesional andal sekalipun.

Faktanya, 'jurnalisme warga (baca: amatir)', dibolak-balik bagaimanapun, dinilai banyak pihak, tidak se-level dengan 'media arus utama'. Ini kenyataan yang sulit disangkal. Walau tak sedikit jurnalis amatir berbakat. Bisa saja kualitasnya mengagumkan.

Namun prioritas konsumen selalu mengacu pada media arus utama. Komsumen bisa saja menyantap sajian CJ dengan senang hati. Tapi ada tapinya. Konsumen lebih suka mengunyah sajian media CJ, selama itu disajikan oleh “pihak yang berkompeten”. Artinya konsumen cenderung cari aman. Mereka butuh FILTER sebelum betul-betul yakin bahwa bacaan/informasi itu terpercaya. Dan FILTER itu ada di tangan si empunya KOMPETENSI. Dan siapa lagi yang punya KOMPETENSI untuk mem-FILTER, kalau bukan media meanstream?!

Walau media Ohmynews punya konsep penyajian yang ideal, namun ada hal esensial yang tidak dimiliki. Yaitu OMN sebagai media CJ ibarat berdiri dengan kaki satu. Dengan kata lain, OMN butuh partner yang punya KOMPETENSI dan FILTER sebagai stempel legalisasi penyajian CJ, agar bisa meyakinkan konsumen. Secara psikologis, konsumen merasa lebih aman membaca “sajian amatir”, namun disajikan melalui “jalur media arus utama”.

Logika konsumen, “Ah, mana mungkin media meanstream berani menyajikan sesuatu yang amatir, kalau isinya non-sense. Pasti ada sesuatu yang istimewa dari sajian jurnalis warga ini. Apa sih istimewanya sajian amatir ini, sehingga media meanstream berani menyajikannya?”. Pertanyaan ini membuat konsumen jadi penasaran. Rasa penasaran itu akan menggelitik konsumen untuk melahap sajian jurnalis warga itu.

Bagaimanapun hebatnya sajian CJ, namun jika penyajiannya tanpa melalui proses FILTER dan KOMPETENSI dari media meanstream, maka akan sulit meraih kepercayaan konsumen dari kalangan seluas-luasnya. (Kecuali kalau tujuan komunitas CJ, sekedar berkumpul, hanya berkontribusi untuk kalangan terbatas, hanya antar sesama anggota komunitas saja).

foto2-web

Foto: confirmation by ...

Di awal berdirinya, mungkin saja OMN menarik minat para konsumen, meski saat itu OMN tidak merger dengan media meanstream. Tapi jangan lupa. Saat OMN pertama didirikan di Korea Selatan, saat itu transisi dari diktatorisme ke alam demokrasi. Sebelumnya, sekian lama pers hidup di bawah tekanan. Sehingga begitu OMN muncul, setiap orang tertarik untuk melirik sesuatu yang baru. Semua yang baru selalu menarik perhatian di awalnya. Dan sesuatu yang baru dan menarik perhatian itu, adalah media jurnalisme warga. Pasalnya, orang ingin membaca sesuatu yang baru, yang selama ini tidak bisa mereka peroleh dari media tradisional. Melalui citizen journalism ketika itu, orang bisa melihat cerminan pemberontakan diri mereka terhadap diktatorisme. Soalnya sudah sekian lama sebelumnya, masyarakat dan pers terus dibungkam.

Saat itu orang sudah muak selama bertahun-tahun disuguhi media “di bawah tekanan”. Ketika OMN lahir, masyarakat sedang mabuk oleh euforia demokrasi. Dan yang namanya euforia, selalu berlangsung singkat. Setelah Korea Selatan menjadi lebih demokratis, perkembangan media juga menjadi lebih baik. Sesudahnya, media di Korea Selatan akhirnya menemukan kebebasannya, bukan hanya media CJ saja. Keadaan ini membuat konsumen media menjadi lebih kritis. Kekritisan konsumen juga diiringi kebebasan untuk memilih media. Dalam masyarakat yang kritis, pilihan akhirnya dijatuhkan dengan menggunakan pendulum "kredibilitas".

Ambruknya OMN adalah contoh kasus, bahwa untuk bertahan hidup, media CJ seperti Ohmynews tidak bisa mengandalkan semata-mata pada "kebebasan informasi". Komitmen jurnalisme warga fokusnya pada "warga". Bukan pada komunitas tertentu. Karena itu media CJ tidak bisa mengabaikan kebutuhan warga akan "informasi terpercaya".

OMN bagaimanapun tumbang dalam kehormatan, karena dengan penuh kesadaran tak memaksakan diri menyajikan berita tanpa verifikasi. Prinsip jurnalisme warga yang loyalitasnya ditujukan pada warga, tetap diutamakan. Konsep OMN boleh dikatakan mendekati konsep profesionalisme jurnalistik. Yaitu mengutamakan kredibilitas. Namun kenyataan menunjukkan, kredibilitas belum afdol, tanpa stempel dari media meanstream.

Namun yang terpenting bukanlah terletak pada stempel tadi. Persoalannya adalah bagaimana menyajikan materi yang berimbang, tak berat sebelah, dan tidak tendensius. CJ yang berdiri sendiri berpeluang penyajiannya akan tendensius. Dan karenanya ideal, jika CJ bergandengan dengan media meanstream sebagai penyeimbang. Sebaliknya media meanstream bisa menggunakan CJ juga sebagai penyeimbang. Karena tak jarang ada hal-hal yang luput dari perhatian media meanstream.

Walentina Waluyanti

Nederland, 23 April 2012

{backbutton}

Add comment