Cerita dari Belanda:

"Mendingan Bir Ketimbang Perempuan!"

Penulis: Walentina Waluyanti - Belanda

Suami saya sedang menepikan kendaraan. Dengan perlahan, ia siap-siap memarkir mobil di tepi jalan. Tiba-tiba seorang pesepeda datang nyelonong di depan mobil. Terlihat jelas, pesepeda itu seperti sengaja menjatuhkan sepedanya di depan mobil. Modus. Cara-cara seperti ini sudah tersebar di Belanda sebagai bentuk penipuan. Ujung-ujungnya minta duit. Ehhh… benar saja.

Pengendara sepeda itu umurnya kira-kira 25 tahun. Dari penampilan fisik, sepertinya ia seorang pengguna drugs. Sesudah sengaja menjatuhkan sepedanya di depan mobil kami, ia datang mendekat. Wajahnya seolah kesakitan dan gaya berjalan seperti sengaja terpincang-pincang.

Katanya, “Bagaimana sih, Anda tidak hati-hati.”

Suami saya kontan marah. Soalnya terlihat betul, pemuda itulah yang sengaja menjatuhkan sepedanya di depan mobil. Terlebih di situ adalah daerah pemukiman dan pertokoan. Orang hanya bisa berkendara dengan sangat lambat.

Suami saya berujar, “Begini saja. Kalau saya salah, kamu bel saja polisi sekarang. Ayo! Panggil polisi!”

Kata pemuda itu, “Tidak perlu. Kalau Anda kasih saya duit untuk beli rokok dan minuman, kita tidak perlu berurusan dengan polisi.”

ingin001

Ilustrasi polisi di Belanda. (Foto: fietsen)

Suami saya tetap bersikeras agar polisi dipanggil. Ketika polisi datang, polisi juga menanyai saksi, yaitu pemilik toko yang kebetulan menyaksikan kejadian itu. Kami memang memarkir mobil di depan toko. Bapak pemilik toko mengatakan kepada polisi memang ia melihat sendiri, tidak ada yang menabrak dan tidak ada yang ditabrak. Bahkan bekas-bekas menabrak tidak terlihat bekas-bekasnya di mobil kami. Sepeda pemuda itu pun utuh, tidak ada yang rusak. Tetapi pemuda itu tetap ngeyel mengaku kepada polisi bahwa suami saya telah menabrak sepedanya. Katanya kakinya sakit sekali dan ia sukar berjalan. Saya katakan pada polisi, pemuda itu mencoba memeras, minta duit. Tapi pemuda itu menyangkal mati-matian. Maka polisi harus memutuskan dengan tepat, siapa yang benar, siapa yang salah?

Sesuai prosedur di Belanda, jika ada kasus konflik lalu lintas, maka pengendara mobil harus ditest dengan sebuah alat tiup, apakah ia baru saja minum alkohol. (Test ini hanya berlaku bagi semua pengemudi jenis kendaraan bermotor, tidak berlaku bagi pengendara sepeda). Begitupun suami saya diharuskan meniup sebuah alat pendeteksi alkohol untuk menguji apakah pengendara berada di bawah pengaruh alkohol saat mengemudi.

Jika alat deteksi itu menunjukkan bahwa pengendara minum alkohol di atas ambang batas yang ditentukan, maka pengendara itu akan ditahan. Berkendara di bawah pengaruh alkohol tergolong kejahatan, bukan pelanggaran biasa. Oleh karena itu pelakunya kontan akan ditahan dan SIM-nya dicabut. Ini artinya, selama SIM dicabut, pengemudi yang bersangkutan tak boleh lagi berkendara semua jenis kendaraan bermotor apapun. Dan masih ditambah lagi harus membayar denda. Bahkan bisa terancam hukuman penjara. (Catatan: SIM atau Surat Izin Mengemudi dahulu di Indonesia disebut rebewes, berasal dari kata Belanda rijbewijs. Dalam bahasa Belanda, SIM disebut rijbewijs).

Alat untuk mengetahui apakah pengendara baru minum alkohol, adalah sebuah alat yang ditiup oleh pengendara (foto di bawah, alat tiup diperagakan oleh model lho, bukan suami saya…he…he…he…).  Alat ini di Belanda disebut blaasapparaat. Jika alat itu ditiup, maka dari nafas yang ditiupkan bisa diketahui seberapa banyak alkohol yang berada di dalam darah pengendara. Pengendara tidak boleh menolak jika polisi ingin memeriksa dengan “alat peniup” ini. Menolak berarti bisa dikenakan sanksi.

ingin002

Ilustrasi pengendara yang diharuskan meniup alat pendeteksi untuk mengetahui berapa banyak kadar alkohol dalam darah.

Saya senyum-senyum saja ketika polisi meminta suami meniup alat tersebut. Ya, tentu saja saya merasa geli. Soalnya saya tahu, suami saya tidak pernah mau minum alkohol jenis apapun. Bahkan di pesta-pesta pun ia lebih memilih kopi atau cola, ketimbang champagne yang paling mahal sekalipun. Ia tidak mau minum alkohol bukan karena alasan kesehatan, tetapi baginya alkohol sama sekali tidak terasa enak di lidah. Ini masalah selera saja. Dan orang Barat yang seperti suami saya, yang tidak berselera dengan rasa alkohol, bukan satu dua saja. Ini sama saja ada orang yang suka susu dan ada yang tidak suka susu.

Suami saya selesai meniup alat yang disodorkan polisi. Tentu saja hasilnya nihil. Selanjutnya kami boleh meneruskan perjalanan.

Sebelum berlalu, polisi masih sempat bercanda, "Mungkin pemuda itu terpincang-pincang jalannya, karena tadi pagi kakinya terantuk di lemari dapur."

Pemerintah Belanda memang menggalakkan peraturan streng soal alkohol dalam aturan berkendara. Bahkan dalam ujian memperoleh SIM pun, pertanyaan seputar bir/alkohol, drugs, obat-obatan tertentu adalah bagian dari ujian teori. Untuk memperoleh SIM ada beberapa kategori pertanyaan yang harus bisa dijawab. Yaitu kategori keterampilan mengantisipasi dalam berkendara, pengetahuan tentang rambu-rambu, pengetahuan tentang siapa yang harus diberi prioritas di jalan, pengetahuan tentang onderdil kendaraan, pengetahuan tentang bagaimana berperilaku di jalan raya, dan seterusnya… termasuk pengetahuan tentang bahaya bir/alkohol, drugs, dan beberapa jenis obat-obatan.

Kejahatan atau pelanggaran?

Di dalam ujian teori untuk mendapatkan SIM, misalnya ditanyakan, apakah minum 1 gelas bir bisa memengaruhi kemampuan Anda dalam berkendara? Jawabnya ya. Apakah setelah minum 4 gelas bir, Anda boleh mengemudi? Jawabnya tidak. Apakah minum kopi bisa menetralisasi kadar alkohol di dalam darah? Jawabnya tidak. Apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi kadar alkohol di dalam darah? Jawabnya tidak ada (dalam hal baru saja minum akohol). Apakah kadar alkohol dalam 1 gelas bir adalah lebih rendah dibanding 1 jelas jenever? Jawabnya, kadar alkohol dalam 1 gelas bir, sama banyaknya dengan 1 gelas jenever. Apa akibatnya jika Anda berkendara di bawah pengaruh alkohol? Jawabnya, kemampuan Anda dalam mengantisipasi sesuatu akan lambat atau berkurang. Akibatnya akan fatal. Apakah berkendara di bawah pengaruh alkohol, drugs, dan obat-obatan terlarang tergolong "kejahatan" atau "pelanggaran"? Jawabnya, tergolong kejahatan. Sebagai catatan, di Belanda "kejahatan" tergolong lebih berat hukumannya dibanding "pelanggaran". 

ingin005

Foto: Minum bir dalam takaran seperti ini sebelum berkendara, di Belanda tergolong kejahatan, bukan pelanggaran ringan. (Sumber foto: keukenparlee)

Obat-obatan dalam resep dokter yang berefek menurunkan daya konsentrasi, bisa dikategorikan sebagai obat terlarang. Ini artinya jika Anda meng-konsumsi obat tadi, maka Anda dilarang mengemudi. Obat dari dokter yang bisa mengganggu konsentrasi pengemudi (misalnya obat tidur), wajib ditempeli sticker merah pada kemasannya. Kalimat yang tertera pada sticker merah itu adalah, "Pemakai obat ini dilarang mengemudi". Jika melanggar aturan ini, maka ini tergolong kejahatan yang bisa dikenakan hukuman. 

Salah jawab pertanyaan soal bir, alkohol, drugs, obat-obat terlarang, bisa saja membuat seseorang tidak lulus dalam ujian teori mengemudi. Pertanyaan tentang alkohol dan zat terlarang lainnya dalam ujian tadi, untuk menegaskan bagi setiap orang yang ingin memperoleh SIM, jangan sekali-sekali berkendara di bawah pengaruh bir, alkohol, drugs, dan obat-obatan yang dikategorikan dilarang dikonsumsi saat mengemudi. Mengemudi di bawah pengaruh zat-zat terlarang tadi adalah dilarang keras. Jika dilanggar, hukuman ada di depan mata.

Bayar denda sebanyak satu bulan gaji

Terkait pelanggaran soal pemakaian zat-zat terlarang, ada yang hukumannya cukup bayar denda (jumlahnya bisa sama dengan sebulan gaji) atau SIM-nya dicabut. Hukumannya bervariasi tergantung tingkat kesalahannya. Hukuman yang terberat adalah hukuman kurungan. Dalam ambang batas tertentu, misalnya mengemudi sesudah minum bir sekitar 8-14 gelas (gelas ukuran standar/250 ml), bisa membuat seseorang dikenakan hukuman penjara. Tidak perlu terjadi kecelakaan pun, jika kedapatan seseorang mengemudi di bawah pengaruh alkohol melebihi takaran yang dilarang Undang-Undang, maka pelakunya akan berurusan dengan pengadilan. Hakim akan memutuskan berapa lama hukuman penjara itu.

Meski demikian, kalau pun pengemudi minum alkohol, ada ambang batas tertentu yang masih bisa ditoleransi. Karena ada juga bir dan alkohol yang memang sengaja dibuat dengan kadar alkohol yang sangat rendah, tidak sampai membawa bahaya dalam berkendara. Menurut peraturan terbaru 2014, untuk pengemudi pemula (SIM-nya belum 5 tahun), ia akan ditahan  jika kadar alkohol dalam darah antara 1,0 dan 1,8 promil (435 dan 785 mikrogram per liter). Sedangkan untuk pengemudi yang sudah memperoleh SIM di atas 5 tahun, ia akan ditahan jika kadar alkohol dalam darah adalah antara 1,3 dan 1,8 promil (570 dan 785 mikrogram per liter).

Orang yang pernah kena sanksi akibat berkendara di bawah pengaruh alkohol, hanya diizinkan boleh mengemudi lagi dengan syarat-syarat. Di antaranya pengemudi tersebut harus mengikuti kursus selama 2 hari tentang bahaya alkohol saat mengemudi. Kursus ini wajib dijalani jika ingin memperoleh SIM lagi, dan biayanya harus dibayar sendiri oleh yang bersangkutan. Yang bikin pusing adalah biaya kursusnya yang kira-kira setara dengan 2 bulan gaji. Kursus ini memotivasi pengendara untuk sembuh dari kebiasaan minum alkohol saat akan berkendara.

ingin003

Foto: Alat tiup ini dipasang di mobil orang yang pernah melanggar ambang batas alkohol. Setiap kali pengemudi akan berkendara, ia wajib meniup alat ini. Mesin mobil tidak akan bisa bekerja tanpa meniup alat ini terlebih dahulu. 

"Mendingan bir ketimbang perempuan!"

Selain kursus di atas, polisi juga memasang (permanen) alat pendeteksi di mobil orang yang pernah dihukum karena mengemudi di bawah pengaruh alkohol. Dengan alat pendeteksi tersebut, akan diketahui jika pengendara tersebut lagi-lagi melanggar ambang batas alkohol yang ditetapkan. Kapan saja dan di mana saja, tanpa perlu diawasi polisi, sebelum pengemudi berkendara, ia harus meniup alat itu. Jika Anda berpikir, kalau Anda tidak meniup alat itu, mungkin tidak akan ketahuan? Oooo, tidak bisa begitu. Karena meskipun tidak ada polisi dan tidak ada yang melihat, tapi selama alat deteksi itu belum Anda tiup, maka mesin mobil Anda tidak akan bisa start. Alat itu memang sudah didisain khusus, sehingga mesin mobil hanya bisa dihidupkan jika alat pendeteksi alkohol itu sudah ditiup.

Banyak alkoholis yang mencak-mencak dengan pemasangan alat pendeteksi alkohol di mobil mereka.

Pecandu bir bersungut-sungut, "Apa salahnya bir!?" (Wah, jadi ingat Ahok).

Maklum, para penggemar bir punya anekdot, "Mendingan bir ketimbang perempuan! Soalnya bir tidak pernah cemburu kalau kita mengambil bir lain. Bir bisa dinikmati sepanjang malam. Kalau perempuan? Ah, perempuan selalu sakit kepala. Bir tidak pernah sakit kepala."

Alasan para alkoholis protes jika polisi memasang alat pendeteksi alkohol di mobil mereka, karena hal tersebut dinilai melanggar privacy. Namun polisi dan pemerintah Belanda tak peduli dengan protes ini. Keselamatan orang lain di jalanan jangan sampai dikorbankan hanya gara-gara kepentingan alkoholis.

ingin004

Foto: Beginilah detail alat tiup pendeteksi alkohol.

Efek peraturan yang ketat ini, besar juga dampaknya. Di pesta-pesta saya sering melihat orang yang menolak ditawari bir. Jawab mereka, “Saya suka bir. Tapi tidak untuk sekarang. Soalnya saya harus mengemudi.”

Memang, kadang di jalan raya, ada pemeriksaan mendadak. Polisi berdiri di tepi jalan. Dan meminta para pengemudi mobil stop. Lalu mewajibkan pengemudi meniup alat pendeteksi alkohol. Nah, siapa yang mau repot berurusan dengan polisi? Meskipun ditawari satu gelas bir, umumnya orang lebih memilih tidak minum bir sama sekali jika akan berkendara. Ini lebih baik, daripada ribet berurusan dengan polisi.*** (Penulis: Walentina Waluyanti)

Baca juga, silakan klik:

Pilih Bir, Dahulu Orang Eropa Ogah Minum Air Putih, Mengapa?

Tak Sangka, Ada Bir di Tempat Terpencil Ini

Pengalaman Bertetangga di Belanda

Mana Ada Orang Beanda Setajir Anang Hermansyah?

Berkunjung ke Pasar Terbesar di Eropa

KOMPAS TV Bertamu ke Rumahku

fr wwWalentina Waluyanti

About Me

{backbutton}