Media dan Bahasa Gaul

Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Catatan penulis: Tulisan ini adalah tanggapan atas reaksi pembaca, “Kalo pake EYD, bahasanya jadi nggak gaul lagi dong! EYD itu kan bikin tulisan jadi serius,kaku, dan tidak bisa melucu?!”. Nah, betulkah begitu? Pendapat tadi menunjukkan adanya pengertian rancu tentang apakah EYD itu sebenarnya. Singkatan EYD, setiap orang sudah tahu. Tapi apa sih EYD itu?

Maaf, ini lagi-lagi tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD).

Padahal Pedoman EYD itu cuma buku kecil, tentang cara mengatur ejaan dan tanda baca. EYD itu bukan peraturan tentang tata bahasa dan kalimat supaya bahasa jadi baik dan benar.

foto1-web

Sebetulnya EYD bukan jaminan yang membuat bahasa menjadi baik dan benar. Sebaliknya bahasa tidak otomatis menjadi baik dan benar, hanya karena pakai EYD.

Bahasa dikatakan baik dan benar jika tata bahasanya selaras antara bentuk dan isi, sehingga mudah dipahami. Tidak cukup itu saja. Juga mesti memenuhi aturan baku/standar. Aturan baku tentang cara menulis ejaan dan tanda baca diatur dalam Pedoman EYD. Pedoman ini disepakati secara nasional, adalah aturan pemersatu. Tujuannya agar tidak membingungkan publik pembaca yang beraneka ragam suku dan bahasa.

Lha kalau tidak ada aturan EYD, lalu tiap suku bikin aturan ejaan dan tanda baca dalam versi bahasa Indonesia sendiri-sendiri...kan bisa jadi kacau. Aturan mana yang mau diikuti? Aturan bahasa Indonesia-nya orang Aceh? Atau aturan bahasa Indonesia-nya orang Ambon?

Jadi supaya bahasa Indonesia itu tidak tambah bikin pusing tujuh keliling...maka dibuatlah aturan EYD yang berlaku dari Sabang sampai Merauke. Aturan EYD itu cuma mengatur cara menulis ejaan dan tanda baca saja! Tidak lebih!

Mematuhi aturan baku (cara menulis ejaan dan tanda baca menurut EYD), tujuannya juga untuk menghindari sanksi. Misalnya karena tidak patuh pada patokan EYD, sanksinya sebuah karya tulis tidak akan memenuhi syarat pemuatan di media pers.

Sebuah tulisan bisa saja isinya bagus luar biasa. Mudah dipahami. Tata kalimatnya selaras dan logis. Juga menggunakan bahasa resmi. Tapi belum tentu bisa dikategorikan “bahasa yang baik dan benar”. Mengapa?

foto2-web

Karena cara penulisannya tidak mematuhi aturan baku (patokan EYD). Dikatakan tidak patuh pada EYD, jika ada penulisan kata-kata, contohnya: di tulis (mestinya ditulis); dirumah (mestinya di rumah); di gunakan (mestinya digunakan); kesekolah (mestinya ke sekolah); yg (mestinya yang); krn (mestinya karena); artikel2nya (mestinya artikel-artikelnya); jalan2 (mestinya jalan-jalan), tjatjingan (mestinya cacingan).

Bahasa gaul tak boleh?

Bagaimana dengan bahasa gaul? Apakah tidak boleh digunakan di media pers? Jangan salah! Di dalam bahasa Indonesia, ada yang disebut “stilistika”. Yaitu cabang ilmu bahasa yang mempelajari berbagai ragam bahasa di Indonesia. Ini termasuk bahasa gaul, bahasa remaja, bahasa prokem, dan dialek lainnya. Semua itu diakui di dalam ilmu bahasa.

Sebetulnya media pers tidak mengharamkan semua jenis ragam bahasa yang ada di masyarakat. Media juga tidak “alergi” terhadap bahasa gaul. Tentu saja sejauh bahasa gaul itu digunakan dalam situasi, sasaran, jenis penulisan, dan konteks yang tepat.

Dalam konteks bahasa jurnalistik, tentu saja ada aturannya. Pemakaian ragam bahasa, misalnya bahasa gaul apalagi bahasa pasar, masak mau digunakan sebagai bahasa berita? Nanti pemimpin redaksinya bisa malu setengah mati. Jurnalis profesional diharuskan memakai bahasa baku. Ini sudah pasti. Terlebih dalam penulisan berita. Tidak mungkin seorang jurnalis melaporkan berita, “Presiden lagi bete, abisnya belon ma'em siang kaleeee yeee. Ouucchhh kaciaaan”.

Tidak gaul dan tidak bisa ceplas-ceplos gara-gara EYD?

Sebetulnya bahasa gaul juga adalah bahasa yang ada dan hidup di dalam masyarakat. Karena itu pemakaiannya kadang tak terhindarkan dalam penulisan.

Tapi jangan mengira bahwa menulis dalam bahasa gaul tidak perlu pakai EYD. Pedoman EYD adalah pegangan semua media pers resmi. Bahkan jika menulis dalam bahasa pasar dan “bahasa ceplas-ceplos” sekali pun, tetap saja pakai Pedoman EYD!

Gaya ceplas-ceplos itu juga saya gunakan dalam tulisan, misalnya “Negara Gombal”. Tapi saya tidak cuma menulis saja. Saya ini kan pembaca juga. Siapa sih yang tidak suka bacaan menghibur? Seperti komentar Bang Caridaki:

“lebih indah jika memakai bahasa ceplas ceplos saja....nyang pululu muah ngalti azaaaa......inilah Koki– Posted by: Caridaki | Senin, 30 Agustus 2010 | 17:42 WIB

Jadi ceplas-ceplos dalam bahasa penulisan di media tentu boleh-boleh saja. Namun walau ceplas-ceplosnya mudah dimengerti, itu belum cukup jika belum ditulis menurut patokan EYD (menurut aturan media profesional). Gaya “bahasa ceplas-ceplos” menurut kaidah EYD, bukan berarti harus ceplas-ceplos dengan bahasa resmi, “Aduhai, minus edukasi koruptor unggas tersebut!” (maksudnya menghaluskan kalimat, “Hey, kurang ajar maling ayam itu!”).

Wah, kalau mau ngomong ceplas-ceplos saja mesti resmi-resmian, nanti lidahnya bisa keseleo dong!

foto3-web

Contoh “gaya ceplas-ceplos” yang tidak sesuai Pedoman EYD: bpk ahmad nyeletuk km jgn somse anita! Mestinya kalau menuruti Pedoman EYD, maka harus ditulis: Bapak Ahmad nyeletuk, “Kamu jangan somse, Anita!” Tampak perbedaan tanda baca, huruf besar, huruf kecil, singkatan, dan ejaan. Ini sebetulnya yang dinamakan sesuai kaidah EYD.

Contoh gaya bahasa Indonesia tak resmi/TIDAK BAKU namun memenuhi kaidah EYD, saya kutip kalimat dari sebuah cerpen. Di bawah ini kutipan cerpen Arswendo Atomiloto (penulis, budayawan, redaktur) berjudul “Aku Nggak Sengaja?!” yang telah dimuat di Solopos:

“Kurang ajar! Kamu sengaja ya! Mau curi-curi kesempatan ya!”.

“Enak aja. Siapa yang mau curi-curi kesempatan?”.

“Buktinya kamu nyolek pantatku!”.

“Aku nggak nyolek. Aku mau ngambil buku itu tapi nggak sengaja kena pantatmu”.

“Alaaah alasan! Muka seperti kamu emang muka-muka mesum”.

“Hei, jangan sembarangan ya kalo ngomong!”.

“Emangnya kenapa, kamu mau pukul aku? Pukul kalo berani! Udah nyolek masih mau mukul juga?”.

 “Dasar cerewet. Awas kamu…tak sobek-sobek mulutmu nanti!”.

“E…e…e… ada apa ini, kok ribut-ribut ?”, seorang satpam datang.

“Dia nyolek pantat saya, pak satpam”.

“Bohong pak! Saya nggak ada maksud, saya nggak sengaja”.

“Iya, tapi kan sama aja. Artinya tangan kamu sudah menyentuh pantatku! Sama aja kan?”.

“Lain dong! Saya kan nggak sengaja. Kalo disengaja, rasanya lebih nikmat. Kalo nggak disengaja, nggak kerasa apa-apa”, kata si pemuda

Mengapa tulisan dengan kata-kata terkesan "semau-gue”di atas memenuhi kaidah EYD? Karena bahasa tidak baku itu ditulis dalam ejaan dan tanda baca yang benar sesuai patokan EYD. Juga bahasa tidak resmi itu digunakan dalam jenis penulisan yang tepat.  Perhatikan, Arswendo tidak berusaha mengubah, emangnya jadi memangnya, nyolek jadi colek, kalo jadi kalau, tak (bahasa Jawa) menjadi saya, nggak menjadi tidak, aja menjadi saja, kerasa menjadi terasa.

Walau ditulis secara nyeleneh, namun tulisan Arswendo di atas tetap patuh pada kaidah EYD. Yaitu patuh pada aturan bagaimana menulis ejaan dan tanda baca.

Tulisan Arswendo di atas hanya bisa disebut tidak sesuai dengan kaidah EYD, jika ditulis dengan cara berikut ini:

“hei, jgn sembarangan ya kalo ngomong, tak sobek2 mulutmu nanti !!”.

“emang nya knp, km mau pukul aku? Pukul kalo berani! Udah nyolek msh mau mukul jg?”.

“dsr cerewet. awas km… !”.

“e…e…e… ada apa ini, kok ribut2 ?”, seorg Satpam dtg.

Perhatikan beberapa hal yang tidak sesuai dengan kaidah EYD dalam penulisan di atas. Ada beberapa huruf kapital dan huruf kecil yang tidak tepat. Juga pemakaian singkatan dan kata ulang yang menggunakan angka “2”. Lalu ada penulisan kata-kata non baku yang tidak dicetak miring. Misalnya: kalo, emangnya, nyolek, tak (bahasa Jawa), mukul. Menurut Pedoman EYD, kata serapan di luar bahasa baku (misalnya bahasa gaul, bahasa daerah dan bahasa asing) mesti dicetak miring/huruf miring.

Tentu saja pemakaian bahasa tidak baku, bahasa gaul, bahasa pasar bukan monopoli cerpen dan fiksi lainnya. Dalam konteks  tertentu, penulisan berita kadang bisa juga menyelipkan bahasa tidak baku, misalnya mengutip kata-kata narasumber. Contoh, “Jelas pemerintahan SBY semakin memble, kata pengamat politik Arbi Sanit. Penulisan jurnalistik lainnya, yaitu feature, membolehkan kreativitas jurnalis sehingga kadang memungkinkan penggunaan beberapa kata tak baku.

Banyak anggapan, kalau ingin berbahasa Indonesia yang baik dan benar, pakailah EYD. “Kalo sudah pakai EYD, pasti deh bahasanya nggak salah-salah lagi”. Logikanya tidak sesederhana itu. Pedoman EYD sebenarnya hanyalah pedoman bagaimana menulis ejaan dan tanda baca secara benar.

Apakah kalau saya sudah menulis ejaan dan tanda baca menurut Pedoman EYD, itu artinya bahasa saya baik? Belum tentu! Walaupun mengikuti pedoman EYD  tapi kalau tulisan saya sulit dipahami....ya tetap saja itu mah namanya bahasanya belon baek en bentoel. Eh, maksudnya belum baik dan betul!

foto4-web

Pembaca adalah masyarakat dari segala macam lapisan golongan

Sebetulnya syarat berbahasa itu intinya kan cuma satu. Yaitu mesti mudah dipahami.

Ada yang bilang, “Buat apa mengikuti kaidah EYD, kalau bahasanya tidak dimengerti? Mending nulis semau saya. Tidak usah pakai EYD. Yang penting kan bisa dimengerti! Toh tidak mengikuti EYD saja, redaksi KoKi selalu baik hati memuat karya saya! Lagian tanggung jawab pemuatan itu kan urusan editor dan redaksi. Mau dimuat kek, nggak kek, itu tanggung jawab redaksi”. Ya, itu terserah masing-masing penulis.

Sebetulnya apa sih maksud media mensyaratkan pentingnya penulisan ejaan/tanda baca menurut Pedoman EYD? Salah satunya karena media penerbitan sering digunakan publik sebagai rujukan tentang bagaimana cara penulisan (juga ejaan dan tanda baca) yang benar. Ada penulis yang menganggap tulisannya tidak berarti apa-apa, “Ah, tulisanku kan ecek-ecek. Nggak mungkinlah dibikin jadi rujukan”. Ingat! Sekali sebuah tulisan dipublikasikan, tulisan Anda bisa saja sangat besar efeknya, lebih daripada yang Anda duga. Sesederhana apa pun tulisan itu.

Contohnya, ada pelajar SD atau orang asing yang ingin mencari rujukan bagaimana cara menulis kata “cakar-cakaran”. Bisa saja terjadi mereka membaca kata “cakar2an” di media cetak, dan mengira itulah cara mengeja yang benar. Ini contoh sederhana saja, sekedar menggambarkan media ingin menjadi sumber rujukan yang akurat bagi pembacanya. Itu sebabnya persyaratan penulisan ejaan dan tanda baca menurut Pedoman EYD, adalah syarat mutlak.

Menulis dalam bahasa non baku? Bahasa gaul...monggo saja, sejauh penggunaannya tepat dan kontekstual. Juga memperhatikan kaidah EYD. Karena ini memang persyaratan semua media profesional. Yang paling penting, penggunaan bahasa hendaknya jangan sampai menyesatkan pembaca. Misalnya, kata-kata tidak baku ditulis dengan huruf miring. Sehingga pembaca tahu, kata yang berhuruf miring itu bukan kata standar.

Jadi jelaslah, kaidah EYD adalah patokan penulisan ejaan dan tanda baca. Sedangkan berbahasa Indonesia secara baik dan benar, ruang lingkupnya lebih luas lagi. Bukan cuma soal EYD saja.

Pedoman EYD bukan satu-satunya alat untuk membentuk bahasa menjadi baik dan benar. Apalah arti EYD/menulis dalam ejaan dan tanda baca yang benar, jika bahasa itu tidak dipahami? Tata bahasanya tidak selaras? Tidak rasional? Tidak efisien dan ambigu (mengandung dua arti yang membingungkan)?

foto5-web

Jika menggunakan bahasa gaul, oke-oke saja. Tentu dengan memperhatikan unsur: jenis penulisan, situasi, konteks dan pada golongan pembaca mana tulisan itu ditujukan. Apakah kata-kata bahasa gaul itu ditulis dalam tanda baca dan ejaan yang benar, sesuai EYD...sehingga tidak membingungkan pembaca yang nggak gaul?

Untuk bahasa jurnalistik sebaiknya berhati-hati menggunakan bahasa. Sebisa mungkin mengutamakan kelayakan bahasa yang dirumuskan oleh J.S. Badudu: singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar, dan jelas. Tulisan yang tidak termasuk tulisan jurnalistik, yaitu tulisan opini, esai, cerpen, puisi dan jenis fiksi lainnya.

Latar belakang gaya penulisan di KoKi (Kolom Kita)

Ada yang bertanya, mengapa di Kolom Kita (ketika masih di Kompas.com) sering terlihat cara penulisan sebelum era 1972 (lahirnya EYD)? Misalnya “Anak2X sering bermain layang2 dijln raya. Krn didesa itu tdk ada lapangan yg luas”. (Anak-anaknya sering bermain di jalan raya. Karena di desa itu tidak ada lapangan yang luas).

Untuk memahami mengapa ada cara penulisan tersebut, perlu dipahami format dasar Kolom Kita sebagai cikal bakal citizen journalism di Indonesia.

Pada mulanya format dasar Kolom Kita adalah kolom “SURAT PRIBADI/UNEK-UNEK” kepada Zeverina (almarhumah), pengasuh kolom.

foto6-web


Format Kolom Kita (KoKi) jadul adalah menayangkan surat pembaca. Masuk akal jika surat unek-unek itu ditampilkan apa adanya. Ini memang tidak menyalahi aturan pemuatan.

Mengapa pemuatan surat-surat itu tidak menyalahi aturan pemuatan? Padahal media Kompas terkenal akurat soal editing. Ya, soalnya surat-surat tadi itu tidak tergolong artikel/tulisan jurnalistik. Surat ya surat. Unek-unek ya unek-unek. Lagi pula itu kan unek-unek untuk kolom kesehatan (belum bernama KoKi/Kolom Kita). Jadi tidak perlu diedit. Paling-paling kalau memang surat itu tidak etis ya tidak dimuat. Dan yang namanya surat pribadi, ya tidak perlu  memperhitungkan masalah EYD.

Gaya “penyajian surat” di KoKi jadul masih terlihat jejak dan pengaruhnya hingga saat ini. Walaupun sebetulnya format KoKi sudah berubah dari “format penyajian surat” ke “format penyajian artikel”.

Inilah latar belakang mengapa di KoKi hingga kini masih terlihat gaya penulisan seperti menulis surat pribadi. Misalnya sapaan khas sebagai pembuka artikel seperti “Dear Kokiers”. Juga terlihat pada penggunaan gaya praktis dan ringkas seperti dalam surat pribadi. Yaitu penggunaan singkatan dan  kata ulang dengan menggunakan angka “2”. Misalnya, ibu2 (ibu-ibu);  yg (yang), krn (karena); dgn (dengan); anak2X (anak-anaknya).

Bisa dimengerti jika kebiasaan di KoKi jadul (gaya menulis ala “surat pribadi”), tidak hilang begitu saja sampai saat ini. Format awal KoKi ini, turut mempengaruhi  lahirnya motto KoKi “Siapa Saja Menulis Apa Saja”.

Masalah selera di Kolom Kita (KoKi)

Banyak pro kontra tentang gaya penulisan di KoKi (ketika masih di Kompas.com). Dalam gaya bahasa apa pun, semua adalah hak masing-masing penulis. Buat saya, pada dasarnya tak ada gaya bahasa yang salah, selama itu tidak menyalahi aturan dan etika. Yang salah, jika sesama penulis sudah mulai saling mendiskreditkan.

Misalnya yang suka menulis masalah topik ringan menuduh tulisan serius bikin migren. Lalu penulis politik mengejek penulis esek-esek. Penulis topik hiburan menuduh penulis topik politik, tulisannya bikin stress, nggak ngerti orang butuh hiburan...dan seterusnya. Intinya cuma menepuk dada “Lihat gaya tulisanku oke punya dong!” (ini gaya Walentina kalau lagi GR, memuji tulisan sendiri..hehehehe).

Saya yakin, tiap penulis itu ada segmen pembacanya masing-masing. Selera pembaca  kan berbeda-beda. Masing-masing penulis juga pasti tahu, tidak semua orang menyukai gaya tulisannya. Tapi hebatnya toh mereka tetap menulis. Itu yang mesti kita hargai.

Menurut saya tidak ada gunanya memperdebatkan gaya tulisan mana yang terbaik di KoKi. Apa salahnya jika KoKi bisa menyajikan aneka gaya tulisan sehingga bisa memenuhi selera yang beraneka ragam?

Untuk yang seleranya bahasa gaul? Welcome! Untuk yang seleranya ingin tulisan bahasa Indonesia sesuai kaidah? Ah, jangan ah, terlalu serius! Bikin mumet! Lho, ini namanya diskriminasi. Kalau bahasa gaul boleh, ya mestinya bisa adil juga mengakomodasi selera penggemar bahasa Indonesia sesuai kaidah. Lagi pula bukankah mereka cuma ingin menggunakan bahasa bangsanya sendiri, yaitu...BAHASA INDONESIA?

foto7-web

Ada kecenderungan, anak-anak muda yang mencintai bahasa bangsanya sendiri, sering merasa malu kalau ingin “berbahasa Indonesia yang baik dan benar”. Mereka malah ditertawai. Dituduh nggak gaul. Dan karena malu, mereka terpaksa ikut arus dan meninggalkan kebanggaannya terhadap bahasa sendiri.

Saya berharap, kecenderungan di atas tidak ikut-ikutan mewabah di Kolom Kita.

Ada yang merasa nyaman memakai bahasa Indonesia baku. Ada yang merasa nyaman memakai bahasa gaul. Ada yang memilih menggabungkan semua gaya bahasa. Semua sah-sah saja selama diterapkan dalam aturan legal. Sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Akhirnya saya menutup tulisan ini dengan kalimat komentar menarik dari Awwal untuk tulisan saya:

“….Menggunakan bahasa yang benar tidak melulu menjadi kaku. Bahasa yang baik dan benar tidak melarang adanya penggunaan gaya bahasa yang kasual, dan bisa dibuat lentur dengan menempatkan tanda baca sesuai dengan fungsinya. Bahkan, lelucon pun bisa tetap lucu dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, tidak lantas menjadi 'garing'...” Posted by: Awwal | Senin, 30 Agustus 2010 | 01:46 WIB

Nah, siapa bilang berbahasa yang baik dan benar membuat tulisan jadi nggak gaul?

Oh ya, sekali lagi! EYD itu cuma patokan menulis ejaaan dan tanda baca saja. Bukan pedoman cara mengatur tata bahasa dan kalimat supaya baik dan benar!

Walentina Waluyanti 

Nederland, 1 September 2010

{backbutton}

Add comment