Mantap! Tak Tamat SD Kalahkan Sarjana (Bag. 3)

*) Apa Artinya Kompeten Tanpa Tanggung Jawab?

Penulis: Walentina Waluyanti

Rasanya nyaris tak percaya jika ada akademisi bergelar Doktor yang menulis karya buku ilmiah (sekali lagi: karya buku ilmiah, bukan artikel blog), tanpa referensi yang bisa dipertanggungjawabkan, hanya main comot sana-sini dari internet. Juga tak jarang kita mendengar Guru Besar yang dipecat karena melakukan kejahatan akademik, termasuk di antaranya membuat karya ilmiah hasil plagiat, atau misalnya memanipulasi fakta sejarah demi jabatan dan kedudukan.

Bahkan ada Prof. Dr. yang menulis buku tentang benua Atlantis yang hilang, diterbitkan dalam bentuk buku sangat tebal, dan mengherankan, tanpa satu pun sumber referensi! Padahal yang ditulisnya itu adalah science! Ini sangat mengherankan karena penulisnya itu punya sederet titel akademis. Apakah ini dimaksudkan bahwa karena penulisnya itu kompeten, dan punya titel dan diploma dari bidang studi terkait, sehingga pembaca harus percaya dan menelan begitu saja semua yang ditulis oleh orang yang kompeten, walau tulisannya tanpa sumber jelas? Sebagai akademisi, pastilah penulis yang bersangkutan tahu bahwa menulis buku tidak sama dengan menulis di blog/non-komersil. Menulis hal ilmiah untuk buku, jelas aturannya, yaitu mencantumkan sumber naskah adalah WAJIB hukumnya.

Tokoh-tokoh yang berkarya di luar kompetensinya secara bertanggungjawab

Penulis kompeten dengan sederet titel samapakar 2gelar akademis di atas harus malu pada penulis yang tak sempat duduk di SMP (MULO), yaitu Pramoedya Ananta Toer, yang sangat dihargai di Belanda.

Di Belanda, saya pernah diundang untuk menyaksikan film narasi Pramoedya Ananta Toer tentang Jalan Raya Pos, yaitu tentang jalan Anyer-Panarukan yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels. Karya buku Pramoedya yang dijadikan film oleh sineas Belanda itu, mendeskripisikan dengan dalam dan indah kejadian historis di masa pemerintahan Daendels.

Buku-buku Pramoedya Ananta Toer sampai saat ini masih dijual di toko-toko di Belanda. Pramoedya juga menulis buku tentang Raden Ajeng Kartini, setelah melalui penelitian literatur yang mendalam. Ia mencari dan menelusuri sendiri sumber-sumber yang dibutuhkannya dengan gigih. Pramoedya Ananta Toer adalah orang yang pernah bertahun-tahun hidup di pembuangan, namun namanya yang dikenal luas di Eropa tidak membuatnya kesulitan untuk mendapatkan referensi sebagai bahan tulisannya. Dan ia memang berjuang untuk mendapatkan sumber-sumber akurat sebagai referensi tulisannya. Ia total, konsisten, dan bertanggungjawab menekuni bidangnya.

Berjuang dan bertanggung jawab dalam mempersembahkan karya tulis… inilah yang disebut penulis sejati, sebuah kesejatian yang saya kagumi dari seorang Pramoedya Ananta Toer. Dengan caranya sendiri, sesungguhnya ia adalah pejuang melalui buah pikirannya. Siapapun itu, selama ia memiliki dedikasi dan totalitas secara bertanggung jawab, maka di mata saya, ia adalah seorang pejuang. Ironisnya, pejuang literasi yang penuh tanggung jawab dan dedikasi ini justru datang dari "bukan kalangan akademisi"!

Buya Hamka (Foto: itoday.co.id)

Buya Hamka yang hanya tamathamka02 kelas 2 SD, mampu melahirkan karya-karya sastra, bahkan juga mampu membuat kajian sejarah. Hal ini dilakukannya secara otodidak, dengan sungguh-sungguh mempelajari semua sumber-sumber yang diselidikinya dengan tuntas dan tekun. Apa rahasia keberhasilan Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer?

Rahasianya adalah mereka setia mengikuti passion, dan meskipun passion itu (tadinya) berada di luar kompetensi mereka, namun mereka tetap konsinsten tekun menaklukkan kesulitan, hingga passion itu akhirnya melahirkan kompetensi secara otodidak. Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer tahu rahasia untuk mengasah passion menjadi kompetensi. Yaitu mereka menjunjung "adab" berbahasa dalam dunia kepenulisan. Mereka mau belajar bagaimana menulis dengan bahasa dengan baik dan benar, meskipun pelajaran ini tidak mereka pelajari di bangku formal. Pada waktu itu, tulisan belum dipoles editor seperti jaman sekarang. Penulis itu sendiri yang harus menjadi editor bagi tulisannya sendiri, jika ingin tetap eksis. Tantangan ini mampu mereka taklukkan.

Di dalam dunia kepenulisan, sulit dipungkiri bahwa penggunaan bahasa adalah cermin kualitas adab penggunanya. Menyadari adanya beban moral yang harus dijunjung dalam berkarya, adalah rahasia mengapa Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer mampu meraih tempat tersendiri di dalam dunia kepenulisan, meskipun secara formal, latar belakang pendidikan keduanya tidak memadai.

Seniman teater yang nyentrik, pria Manado, Remy Silado, yang menulis buku tentang Pangeran Diponegoro, ia malah sampai ke Belanda khusus untuk meneliti literatur tentang Pangeran Diponegoro di Belanda. Pramoedya Ananta Toer dan Remy Silado, mereka ini bukanlah sejarawan, dan tidak punya diploma Ilmu Sejarah. Namun mereka bisa memuaskan dahaga para peminat bacaan sejarah, yang justru tema yang mereka tulis, malah tidak ditulis oleh mereka yang kompeten! Ironis!

Dan justru dengan sentuhan cita-rasa "seniman-seniman literasi" seperti Buya Hamka, Pramoedya dan Remy Silado, sehingga  kisah historis menjadi enak dibaca. Mereka tidak menjadikan beban titel akademis yang kadang malah menjadi "senjata makan tuan" karena kadang rambu-rambu akademis itu membelenggu kebebasan berkarya. Kebebasan sebagai seniman, tanpa "beban akademis", membuat karya tulis mereka tidak kaku. Karya tulis mereka hidup, tidak kering kerontang. Mereka melompat dan berlarian dengan bebas melalui "pena". Mereka bisa menyeimbangkan antara sisi ilmiah dan sisi hiburan dari bacaan, sehingga pembaca tidak malas untuk meneruskan membaca.

Cara berpikir birokratis kakusenior jangan sampai menurunkan daya cipta dan kreativitas. Birokrat kaku biasa terjebak dalam cara berpikir terkotak-kotak, “Kamu siapa? Ijazah kamu apa? Kompetensi kamu apa? Ini bukan bidang kamu! Jangan mengerjakan ini!” Lha, menulis itu bukan mau melamar pekerjaan di kantor pemerintah. Jika sesuatu bidang dibahas oleh orang yang kompeten tentu saja ideal. Namun hendaknya tidak diingkari, ada  faktor lain yang juga melekat pada beberapa orang, yaitu “multi bakat” dan “otodidak”. Kecenderungan pembawaan multi bakat ini banyak terjadi pada orang Indonesia. Hal ini pun dikatakan sendiri oleh orang-orang Belanda mengenai pendatang dari Indonesia di Belanda. Sebabnya apa? Sebab kenyataannya, orang-orang keturunan Indonesia di Belanda, memang umumnya multi bakat dan otodidak.

Orang-orang Belanda jaman sekarang, kalau mereka ingin terampil bermain gitar, piano, melukis, dan beberapa keterampilan lain, mereka terlebih dahulu harus belajar di jalur formal. Tetapi orang-orang keturunan Indonesia? Keterampilan seperti tadi, umumnya mengalir begitu saja. Belajar secara otodidak dengan bersungguh-sungguh, dan akhirnya bisa. Keterampilan bermusik, melukis, mencipta dan  merakit sesuatu, serta beberapa kepandaian tertentu itu umumnya dimiliki orang Indonesia karena bakat dan kemauan keras untuk belajar. Dan anehnya, orang-orang multi bakat dan otodidak seperti ini di Indonesia, justru biasanya datang dari latar belakang keluarga yang bukan golongan ‘the have’.

Diploma penting, tapi bukan segalanya

Jangan lupa! Faktor “multi bakat dan otodidak” sebetulnya juga diakui oleh dunia akademik. Oleh sebab itu ada pemberian gelar Honoris Causa di dunia akademik. Mereka yang menerima gelar ini pada dasarnya orang yang tadinya secara formal tidak kompeten di bidangnya, namun kapasitasnya itu dianggap setara dengan orang yang kompeten. Contoh nyata adalah Buya Hamka yang mendapat gelar kehormatan, Doctor Honoris Causa dari Univetsitas Nasional Malaysia. Pelukis Affandi juga mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapore.

Terkotak-kotak dengan cara berpikir, “Kamu musisi, maka kamu mesti main musik. Kamu ekonom, maka kamu mesti ngomong ekonomi saja. Kamu politisi, urus politik saja” membuat kreativitas bisa terpasung. Padahal manusia berhak mengeksplorasi segala potensi yang dimilikinya. Ada manusia yang dikarunia satu bakat saja, ada manusia yang dikarunia multi bakat. Contoh mudah, adalah Sukarno berbakat di bidang orasi, menulis, melukis, arsitektur, politik, bahasa, seni… dan seterusnya. Atau Leonardo da Vinci yang penulis, pelukis, pematung, arsitek, musisi, matematikawan, insinyur, penemu, ahli anatomi, ahli geologi, pembuat peta, ahli botani, dan penulis.

samapakar 3

Foto: Leonardo da Vinci, sang penemu yang otodidak dan multi bakat. (Sumber: Malta Vocational Center)

Manusia multi bakat seperti Sukarno dan Leonardo da Vinci, rasanya akan sulit mengeksplorasi bakatnya, jika membiarkan dirinya terjebak oleh kekakuan birokratis dengan aturan kompetensinya. Tak jarang kita melihat orang yang berusaha mengeksplorasi semua bakatnya karena memang orang tersebut multi bakat, malah diejek sok, tak tahu diri, tak mengerti masalah kompetensi. Sebetulnya point-nya adalah bagaimana akhirnya karya-karya itu bermanfaat bagi hidup dan kehidupan, bagi kemaslahatan bersama, dan fakta menunjukkan hal ini tidak selalu lahir dari dunia kompetensi.

Kompetensi itu penting, tapi juga hendaknya tak perlu kaku terpaku pada pengagungan kompetensi hingga memasung kreativitas. Begitu pun dunia tulis-menulis, jangan dibiarkan terjebak pada stigma bahwa orang harus menulis sesuai bidangnya saja. Faktanya, tak sedikit orang yang punya kompetensi malah tidak membuat karya tulis, atau membuat buku ilmiah seadanya tanpa tanggung jawab menyebutkan sumber jelas. Sedangkan orang yang tak pernah duduk di SMP seperti Pramoedya Ananta Toer, dan seorang seniman seperti Remy Silado, seakan menerjang keangkuhan “dunia kompetensi” dengan berkarya secara berdedikasi, bertanggung-jawab, dan tekun di bidangnya. Mereka ini meskipun tanpa diploma formal, jelas lebih patut dihargai, dibanding mereka yang tergolong "bandit bertopeng pakar".

Pada akhirnya, kompeten atau tidak kompeten, pakar atau bukan pakar, kata kuncinya adalah berkaryalah dengan penuh TANGGUNG JAWAB! *** (Penulis: Walentina Waluyanti, historical book writer)

fr wwWalentina Waluyanti

About Me

 

{backbutton}

 

Add comment