Mantap! Tak Tamat SD Kalahkan Sarjana! (Bag. 1)

* Rahasia Sukses Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer 

Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Catatan: Tulisan ini bersambung ke bagian 2, silakan klik: Rahasia Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer (bag.2)

Buya Hamka (singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah), adalah salah satu ulama moderat kebanggaan Indonesia. Ulama asal Maninjau Sumatera Barat ini hanya bersekolah sampai kelas 2 SD. Tetapi keandalannya sebagai penulis, mendapatkan pengakuan di dalam dunia sastra bahkan ia juga piawai menulis ulasan sejarah. Sarjana saja belum tentu bisa berkarya seperti Buya Hamka. Ia belajar sendiri secara otodidak. Saya pernah membaca ulasan tentang sejarah Islam yang ditulis oleh Buya Hamka. Tulisan Hamka malah lebih hidup dibandiug karya akademisi.

hamka 01

Buya Hamka ketika muda. (Sumber foto: senggang,republika.co.id)

Apakah rahasia keandalan Buya Hamka, sehingga kemampuannya yang otodidak akhirnya membuatnya dianugerahi gelar Doktor Kehormatan oleh Universitas Nasional Malaysia? Begitu pula dengan Pramoedya Ananta Toer yang hanya bersekolah sampai SD. Apakah rahasia keistimewaan Pramoedya Ananta Toer akhirnya menjadi penulis sastra bernuansa historis yang dihargai di Eropa? Keduanya memang mantap! Di tengah jaman yang mendewakan kompetensi, bagaimanakah mereka bisa eksis dan menemukan tempat pijakannya sendiri? Sebelum menjawab pertanyaan tadi, ada beberapa hal menarik untuk dibahas. 

Foto: Penulis di Universiteit Leiden

 “Nggak tahu diri! Pakar juga bukan,leidenunv 01 sok menganalisis. Apa tidak malu pada pakarnya?” Komentar ini pernah saya baca terhadap tulisan seorang mahasiswa muda. Saya sendiri selalu salut pada anak muda yang giat menulis, berhubung ada stigma bahwa kegiatan ini terlalu serius untuk anak-anak muda. Dan penulisnya itu, walau masih muda, belum sarjana, tulisannya kritis dan matang. Sehingga memang penulis muda itu tak perlu minder pada pakar, terlebih jika kepakaran itu kadang menjadi tak bermakna, jika kita melihat kasus beberapa pakar yang melacurkan kepakarannya.

Meski demikian, saya tetap berpendapat dunia kepenulisan perlu dibekali pendidikan yang memadai. Dalam beberapa kasus, memang ada manusia-manusia yang otodidak, multi bakat, meski tanpa ijazah formal, dan mampu menjadi penulis besar! Tetapi jangan dikira mereka itu tidak punya "pendidikan"! Dengan cara mereka sendiri, orang-orang semacam ini mampu menempa diri sendiri melalui proses belajar (non-formal) secara mandiri tanpa henti... dan karena itu mereka disebut otodidak!

Orang-orang otodidak, orang yang tak memiliki diploma formal atas bidang yang digelutinya, punya sifat yang khas. Yaitu mereka tekun, konsisten kerja keras, berusaha terus belajar tanpa henti. Etos tadi belum tentu dimiliki oleh mereka yang terlena oleh titel, diploma formal sudah dikantongi, sehingga cepat berpuas diri, dan akhirnya mandek.

Melacurkan kompetensi

Yang menjadi pertanyaan adalah, "Apakah seseorang harus menulis sesuai bidang studinya saja?" Nah, jawabannya tidak bisa singkat dan sederhana. 

Akhir-akhir ini kita melihat gejala tandusnya ranah budaya menulis. Ditambah dengan kakunya orang memegang persepsi bahwa kompetensi dan kepakaran adalah segalanya, maka semakin gagaplah kultur literasi ini. Berapa banyak orang yang ingin menulis tapi mengurungkan niat karena terbentur masalah kompetensi, dan berapa banyak orang kompeten yang malah lumpuh menulis? Beberapa waktu lalu terbetik berita seorang Doktor di UGM yang dipecat karena kasus plagiat. Yang lebih parah lagi, jika ada yang kompeten, tapi malah (sengaja) menyesatkan. Keterkejutan kita bahkan belum hilang dengan ditangkapnya pakar hukum yang menodai kepakarannya, dan akhirnya diciduk KPK.

Foto: Buku "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan" (Sumber: MarcoNiee_23)

Seberapa sering kita melihat fakta di mana riau 02webkompetensi dan kepakaran itu dilacurkan demi jabatan dan kedudukan? Contohnya, pada masa Orde Baru terjadi desukarnoisasi. Penguasa mendiskreditkan Sukarno melalui seorang Profesor Doktor yang mengubah fakta sejarah, yang menyatakan bahwa Bung Karno bukan penggali Pancasila, melainkan Muhammad Yamin, dan ini ditulis di buku-buku pelajaran sekolah kala itu. Hal ini menimbulkan protes keras Bung Hatta. Dengan sengit Bung Hatta membantah pernyataan Profesor Doktor tersebut. Maklum, Bung Hatta adalah saksi sejarah lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Hal ini saya tulis lebih mendetail di dalam buku saya berjudul Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan, author: Walentina Waluyanti de Jonge), telah beredar di Gramedia (foto kanan).

Kompetensi penting, namun tidak harus berlaku untuk segala hal

Memang betul, pentingnya kompetensi tidak bisa disangkal. Namun hal ini tidak bisa dipukul rata untuk segala hal. Terlalu kaku berpegang pada kompetensi, menghasilkan orang-orang pandai dengan “kaca mata kuda”. Pandai hanya di bidangnya, namun begitu keluar sedikit dari jalurnya, ia sudah tak tahu, atau bahkan tak mau tahu. Dunia ilmu pengetahuan sudah pasti akan berkaitan antara bidang satu dan bidang lain. Tak mungkin hanya berfokus pada satu disiplin ilmu tanpa membuka cakrawala untuk dunia lainnya. Sebagai contoh, para pembuat kebijakan ekonomi tak perlu "tersandung" berurusan dengan KPK, jika kebijakannya itu tidak semata-mata bersandar pada disiplin Ilmu Ekonomi, tetapi juga diperkuat oleh pengetahuan Ilmu Hukum. (Kecuali kalau sejak semula niatnya memang mau nyolong).

Kekakuan pada soal kompetensi, mengakibatkan tertutupnya ruang bagi potensi-potensi dan alternatif lain, yang mungkin saja potensi dan alternatif itu malah bermanfaat bagi  dunia kompetensi itu sendiri.

Kita memang perlu membaca tulisan-tulisan penganalisis yang membahas sesuatu sesuai dengan bidang studinya. Namun jika saya membaca analisis dari penulis yang dianggap tidak kompeten, maka saya tidak perlu khawatir. Bukankah kita dan pembaca sekarang ini tidak bodoh, cuma main asal telan begitu saja semua bacaan bulat-bulat tanpa check and re-check? Bukankah membaca tulisan para pakar pun, kita tetap perlu berpikir kritis, dan tidak perlu percaya buta begitu saja (mentang-mentang mereka pakar), sebelum betul-betul yakin akan validitasnya?

Tak jarang ada pakar yang terlalu kaku mengikat diri pada pakem-pakem tertentu. Kekakuan untuk terikat pada pakem bisa menguntungkan, namun juga berpeluang membelenggu daya kreasi. Akhirnya daya untuk melahirkan gebrakan dan terobosan-terobosan baru, kadang terasa tersendat. Sebaliknya, membaca analisis penulis yang dianggap "non pakar" tak jarang malah mereka memiliki sesuatu yang tidak dimiliki para pakar, yaitu orisinalitas dengan terobosan-terobosan yang menginspirasi. Dan justru karena mereka tahu diri merasa bukan pakar, malah mereka menyajikan bahasannya dengan penuh kehati-hatian. Saya pernah membeli buku ilmiah seorang pakar. Mengejutkan, ketika saya ingin tahu sumber referensinya, tak tercantum satu pun. Padahal buku itu bukan buku fiksi. Mungkinkah karena kepakarannya sudah dianggap sebagai sumber referensi itu sendiri (?).

Saya teringat pada ucapan pakar Hukum Pidana Prof. Dr. JE Sahetapy S.H. M.H., yang biasa berkomentar nyelekit tapi mengena di program ILC yang dibawakan oleh Karni Ilyas di TV One. Kata J.E. Sahetapy, banyak orang yang kalau sudah merasa menduduki fungsi penting, kalau beropini seenaknya saja.

Suatu ketika saya menghadiri pertemuan dengan Retno Marsudi (sekarang Menlu) dan mantan Wakil Presiden Boediono dengan wakil-wakil masyarakat Indonesia di Belanda, dari berbagai profesi dan golongan. Pertemuan ini berlangsung di Hotel Hilton Den Haag (26/32014). Nama Boediono kerap dikaitkan dengan kasus Century, namun di luar masalah ini, Boediono mengatakan sesuatu yang menarik perhatian saya.
kbri-004a

Penulis Walentina Waluyanti (berkebaya hitam di latar depan), foto bersama mantan Wakil Presiden Boediono dan Menlu Retno Marsudi, di Hotel Hilton Den Haag, 26/3/2014. (Foto: KBRI Den Haag).

Boediono menuturkan pesan yang pernah didengarnya dari Bung Hatta. Yaitu hendaknya kita tidak terpaku pada disiplin ilmu yang kita tekuni saja, namun juga mengembangkan diri dengan mengenal berbagai disiplin ilmu. Mendalami berbagai disiplin ilmu, tidak harus selalu melalui jalur formal, juga bisa melalui berbagai cara. Boediono mengatakan penyesalannya bahwa ia sekian lama terlalu terfokus pada satu disiplin ilmu, yaitu Ilmu Ekonomi. Pendapat Bung Hatta yang dikutip Boediono tersebut, masih dan akan tetap aktual di segala zaman.

Di dalam buku karya saya, Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen, saya menulis pada kata pengantar, "Bagi saya, sejarah adalah dunia penjelajahan menarik karena dengan mempelajari sejarah, otomatis seseorang akan diantar untuk mengenal berbagai aspek lain. Misalnya politik, hukum, ekonomi, budaya, dan seterusnya. Mempelajari sejarah bisa merangsang keingintahuan pada banyak hal. Namun toh tetap memberi kesadaran, bahwa setingi-tingginya pengetahuan manusia, tetap saja terbatas. Karenanya sejarah juga memberi pesan lain di baliknya, yaitu tentang kerendah-hatian."

Jika seseorang bicara tentang sejarah, maka kerap tak terhindarkan, ia harus berbicara tentang banyak aspek, mulai dari politik, hukum, budaya, ekonomi, filsafat, sastra, dan seterusnya. Dan ini tidak berarti ia bermaksud "sok dan lancang", memasuki sebuah dunia yang bukan kompetensinya. Berbagai aspek tadi itu memang sudah dengan sendirinya melekat dan merupakan bagian dari sejarah itu sendiri. Ini tak mungkin dihindarkan.

tips 6 web

Sukarno adalah penulis sangat produktif pada masa mudanya. Meskipun latar belakang studinya adalah teknik sipil, tetapi sejak masih mahasiswa, adakah tulisannya yang membahas teknik sipil? Nyaris tak ada (kecuali skripsi)! Bisa dikatakan, semua ratusan tulisan Sukarno malah terkait sejarah dan politik, bahkan naskah drama, dan sama sekali tak berkaitan dengan latar belakang studinya... bersambung, klik >>>  Mantap! Tak Tamat SD Kalahkan Sarjana! (Bag. 2)

fr-ww

Walentina Waluyanti

About Me

 

{backbutton}

Add comment