Labioschisis
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Grrrrr!!! Tikus itu lagi! Mita geram. Binatang penebar teror! Batu yang dilemparnya meleset. Tikus itu selalu menghindar lebih cepat.
Hewan kecil itu seakan memicu naluri pemburunya. Entah mengapa. Mungkin sudah bawaan. Dia selalu ingin melempari binatang itu setiap melihatnya. “Kamu keturunan kucing mungkin”. Begitu canda Tito, suaminya.
“Hati-hati. Tidak hamil saja, tidak pantas menyiksa binatang. Apalagi kamu sedang hamil. Itu pamali”. Tito mengingatkan.
Walau tidak menjawab, kadang Mita kuatir juga dengan satu kata itu. Pamali.
Cerita tentang akibat pamali sering didengarnya. Mungkin betul. Mungkin tidak. Atau mungkin cuma takhyul. Mita tidak sedang ingin berdebat tentang itu. Takhyul atau tidak, toh bagi Mita sama saja. Dirinya tetap tidak mampu mengendalikan keagresifannya setiap melihat hewan itu.
Malam merayap makin pekat. Mita meraih selimut lusuh. Diselimutinya anak sulungnya yang terbuai dalam tidurnya. Gemercik air sungai di luar tak lagi terdengar. Tergantikan oleh desis hujan menggemuruh. Desau angin meniupkan hawa lembab ke rumah itu. Gubuk kecil itu terasa semakin dingin.
Mita menutup jendela di sebelah ranjang anaknya. Jendela itu mulai keropos. Aroma kemiskinan tercium tajam di rumah itu. Aroma yang mengundang ngengat dan tikus. Membuat rumah kayu itu semakin suram dan keropos. Beberapa bagian sudah mesti diganti dan diperbaiki. Tapi penghasilan Tito belum cukup untuk menjadikan rumah itu terlihat pantas.
Tito belum juga pulang. Kadang Mita merasa Tito bekerja terlalu berat. Akhir-akhir ini suaminya semakin sering bekerja serabutan. Tito memang ngotot bekerja ekstra. Tanggung jawabnya makin berat. Akan bertambah satu penghuni di rumah itu.
Mita berjalan ke dapur. Langkahnya terseret pelan. Berat. Kehamilannya memang tinggal menunggu waktu. Sebelum suaminya pulang seperti biasanya ditatanya meja makan serapi mungkin. Sesederhana apapun yang dimasaknya. Mungkin cara itu bisa membuat Tito merasa nyaman begitu tiba di rumah.
Disiapkannya gorengan tempe dan rebusan bayam. Kepulan asap nasi hangat menyebarkan aroma khas. Ditatanya hidangan itu sedemikian rupa agar tampak menggiurkan. Tito selalu berselera jika dibuatnya sambel kesukaan suaminya itu. Sudah lama dia tak membuat sambel terasi dengan jeruk purut.
Diraihnya ulekan dan mulai mengulek cabe rawit. Tito selalu melahap rakus sambel buatannya. Dengan teliti dibubuhinya rempah tambahan. Ditakarnya semua dengan cermat. Tangannya cekatan menyiapkan olahan itu, ketika matanya menangkap sesuatu yang bergerak.
Lagi-lagi tikus itu! Binatang itu selalu mampu membuyarkan keasyikan Mita. Apapun yang dikerjakannya. Mita berdiri perlahan-lahan. Jangan sampai tikus itu lari. Oh! Kekesalan Mita makin menjadi. Dilihatnya tikus itu menggerogoti tiang kayu rumah yang sudah keropos.
Diraihnya gagang sapu yang berada di dekatnya. Dengan dengus pemburu, dibidiknya sasarannya dengan penuh perhitungan. Kali ini tidak boleh meleset.
Plak! Gagang sapu itu tepat mengenai tikus itu.
Mengherankan. Wanita biasanya takut dan jijik pada tikus. Tapi Mita tidak. Dengan tatap kemenangan diamatinya hasil buruannya. Tampak luka berdarah di moncong tikus itu.
Hewan kecil itu mencoba menggeliat dan lari. Tapi tampak susah dan berat menyeret tubuhnya. Nampaknya seperti tikus bunting. Diamatinya sekali lagi. Ya. Tikus itu bunting. Kondisi tikus itu membuatnya refleks mengelus perut hamil-nya. Tendangan lembut bayi dirasakannya. Seakan menyadarkannya. Apa yang baru saja dilakukannya?
Rasa sesal menyeruak. Perasaan iba tiba-tiba menyesaki dadanya. Tak berkedip, Mita termangu menatap mangsanya. Tikus itu meringkuk terdiam. Hewan itu menatapnya seakan menggugat. Tiba-tiba suara yang dikenalnya menyentaknya. Tito sudah pulang. Sosoknya yang kokoh berdiri di depan pintu. Tubuhnya basah kuyup oleh hujan yang belum juga berhenti.
“Menjijikkan. Bagaimana mungkin seorang wanita hamil bisa sesadis itu?”. Tito menggeleng-gelengkan kepala. Tidak mengerti dengan adegan yang baru saja dilihatnya. Perasaan tak enak tiba-tiba menyergapnya. Sebuah firasat terus menggelayuti pikirannya hingga seminggu kemudian……..
Labioschisis? Ragu-ragu Tito mengulang kata itu. Tidak begitu yakin apakah kata itu sudah diejanya dengan tepat. Ditatapnya dokter yang baru saja menggumamkan kata itu. Baru saja beberapa menit lalu dokter itu menolong persalinan Mita.
“Ya. Labioschisis”, ucap dokter itu lebih jelas. Dengan hati-hati dijelaskannya pada Tito tentang cacat bawaan yang diderita bayi yang baru dilahirkan Mita. Labioschisis, cacat celah bibir.
“Tapi jangan kuatir. Bayi ini cantik sekali. Cacat pada bibirnya tidak begitu menyolok. Dengan operasi kecil, cacat ini kelak bisa dikoreksi. Percayalah. Bayi ini akan tumbuh menjadi gadis cantik”. Dokter berusaha membesarkan hati Tito.
Dokter itu betul. Tahun demi tahun bergulir. Bayi Mita dan Tito telah menjadi gadis rupawan. Cacat labioschisis di bibirnya belasan tahun lalu sudah dioperasi. Hanya tampak sedikit luka jahitan kecil di atas bibirnya. Luka cacat itu tetap tak bisa mengelabui mata tentang pancaran kecantikannya.
“Apa yang terjadi dengan bibirmu?”, begitu teman-temannya selalu bertanya.
“Kakak tidak sengaja menjatuhkanku dari kursi ketika aku masih bayi”, begitu jawabnya sejak kanak-kanak hingga dewasa. Jawaban itu selalu diulangnya dan dipercayainya memang begitulah yang terjadi.
Entah bagaimana mulanya. Tapi jawaban itulah yang ditirunya dan sering didengarnya dari ayah, ibu atau kakaknya. Entah siapa yang memulai. Dia tidak ingat lagi. Sampai akhirnya jawaban itu dipercayainya sebagai sebuah kebenaran.
Dia sendiri lelah menjawab pertanyaan itu. Setiap kali mesti dijawabnya pertanyaan yang sama. “Mengapa bibirmu?”. Sungguh mengganggu pertanyaan itu. Ah, seandainya saja dulu kakaknya tidak lalai. Ditatapnya wajahnya di cermin dengan rasa tak puas. Mengapa kecantikannya harus tercemar dengan cacat kecil itu? Mengapa kakaknya seceroboh itu?
Wajah cantiknya tak mengurangi rasa mindernya akibat luka cacat itu. Baginya kesalahan kakaknyalah yang telah menyebabkan cacat di parasnya. Kesalahan kakaknya tak pernah dilupakannya. Konflik kecil saja membuat bara dendamnya pada si sulung semakin menumpuk.
Dendam kanak-kanaknya tak pernah hilang hingga dewasa. Akibat ini tak pernah diperhitungkan sebelumnya oleh Mita dan Tito.
Mita, Tito dan si sulung sendiri tidak pernah berusaha bercerita tentang riwayat kelahiran yang sebenarnya.
Kini Mita dan Tito telah tiada. Si sulung tetap menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Disadarinya, orangtuanya dan dirinya sendiri telah bersalah menanamkan sebuah riwayat yang keliru pada adiknya.
Namun dia sangat mencintai adiknya yang cantik. Dia menyadari adiknya menyesali jejak luka di bibirnya itu. Tak ingin dibuatnya penyesalan itu semakin dalam jika adiknya tahu kisah di balik kelahirannya. Haruskah sekarang dibukanya kisah itu? Tidak! Semuanya sudah terlanjur. Posisi orangtuanya akan semakin tersudut jika adiknya tahu yang sebenarnya terjadi.
Biarlah. Adiknya tak perlu tahu. Asal-usul cacat bibir adiknya itu akan tetap disimpannya sebagai rahasia. Akan tetap ditutupnya erat.
Kebenaran tak perlu harus selalu terkatakan. Kebenaran itu akan tetap bening di dalam hening.
Matanya menjelajahi setiap sudut rumah masa kecilnya.
Memori akan masa silam itu merayap kembali.
Kini dimakluminya keterbatasan orang tuanya tentang pemahaman banyak hal dalam kehidupan. Keterbatasan mereka telah mempengaruhi cara mengasuh dan mendidik dirinya dan adiknya.
Si sulung menyadari. Dirinya telah menjadi tumbal di balik sebuah kepalsuan kisah. Tapi dia ikhlas menerimanya. Dari jendela ditatapnya kilauan air sungai. Air sungai itu masih memantulkan harmoni gemercik seperti dulu.
Gemercik airnya mengalun pasti.
Se-pasti janji nya pada Mita dan Tito yang teguh dipegangnya. Sampai kapanpun tetap dikuburnya dalam-dalam kisah itu!
Kisah tentang seekor tikus dengan moncong luka berdarah dan labioschisis!
Walentina Waluyanti
Nederland, 18 Oktober 2009
{backbutton}