KOMPAS TV Bertamu ke Rumah Walentina Waluyanti
Penulis: Walentina Waluyanti - Nederland
Bang Apni, begitu saya menyapa Apni Jaya Putra, General Manager Network Operations KOMPAS TV. Pagi itu pria ramah yang cekatan ini menunggu kedatangan saya di sebuah kafe di Almere, Belanda. Kunjungan Bang Apni ke Belanda merupakan satu dari rangkaian tour-nya ke Eropa, bersama tim KOMPAS TV lainnya. Yaitu Mas Obot (Yuni Eko Sulistiono) Executive Producer KOMPAS TV dan aktor ganteng yang pernah meraih piala citra, yaitu Ramon Y. Tungka. Juga ada Mbak Tyas (Radityas Panuntun) yang manis dan lembut, yang bekerja di Metro TV sebagai Media Relations & Sponsorship Section Head. Mereka tampak sedang menyeruput kopi hangat dan menyantap roti berlapis keju khas Holland.
Dari kiri: Yuni Eko Sulistiono (Obot), Ramon Tungka, Tyas, Apni dengan latar belakang toko Indonesia di Almere Belanda.
Kafe tempat tim KOMPAS TV nongkrong itu, terletak di kompleks perbelanjaan yang berjarak tidak begitu jauh dari rumah saya. Saya dan suami menghampiri tim KOMPAS TV. Bang Apni, Mas Obot, Ramon Tungka, Mbak Tyas, adalah orang-orang beruntung. Pekerjaannya membuat mereka berkesempatan keliling dunia. Seperti pada hari itu, 4 September 2014, mereka baru saja kembali dari tour penugasan di Italia dan Perancis, sebelum mengunjungi Belanda dan Jerman.
Saya dan suami menjemput tim Kompas TV di kafe dekat stasiun kereta. Kemudian kami menuju ke kediaman saya yang jaraknya tak sampai 5 menit dari stasiun kereta. Kedatangan KOMPAS TV ke rumah saya adalah dalam rangka wawancara terkait peliputan mereka di Belanda. Keesokan harinya tim KOMPAS TV juga mewawancara Dubes Retno Marsudi yang sekarang menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Presiden Joko Widodo. Di bawah ini foto kenangan, ketika saya bersama wakil-wakil masyarakat Indonesia di Belanda diundang dalam pertemuan dengan Ibu Retno Marsudi dan mantan Presiden Habibie di Den Haag, 2013.
Foto: Mantan Presiden Habibie diapit Menlu Retno Marsudi (di sebelah kanan Habibie) dan Walentina Waluyanti (berkebaya biru di sebelah kiri Habibie).
Cuaca Belanda menjelang akhir musim panas ini, cukup bersahabat. Tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin. Matahari bersinar cerah, temperatur 26* C. Hmmm, untung juga. Padahal biasanya di Belanda sering hujan. Saya bersyukur, ini artinya nanti kami bisa ramai-ramai bakar sate di kebun.
Pengalaman bertemu jurnalis media elektronik, sekaligus melihat bagaimana kesibukan mereka di lapangan, bagi saya merupakan pengalaman berkesan. Merekalah orang-orang "di balik layar" yang disadari atau tidak, telah berperan memberi sentuhan akhir sehingga tayangan tersaji layak. Kadang tak terpikirkan, sebelum sajian itu menjadi layak tayang, ada berbagai pergumulan dan proses melelahkan di baliknya, yang kesemuanya itu merupakan bagian dari tanggung jawab para pekerja dari balik layar. Tanggung jawab yang diemban pun tak ringan. Karena bagaimanapun, selain nilai informatif, juga ada nilai-nilai edukatif yang harus diusung oleh setiap media, apapun jenis media itu.
Rasanya memang lain kalau bertemu jurnalis senior dan berpengalaman. Mereka luwes, supel, dan isi pembicaraan mengalir enak. Bang Apni, tampak taktis dan sigap mengarahkan tim untuk melaksanakan rangkaian program pada hari itu. Di Belanda, tim KOMPAS TV mengadakan peliputan terkait kuliner Indonesia di Eropa. Kuliner dan kaitannya dengan nasionalisme adalah misi yang diusung dari peliputan ini. Selanjutnya Bang Apni mulai menjelaskan langkah-langkah yang akan dilaksanakan. Kami semua menyimak pengarahan Bang Apni.
Kiri: Apni Jaya Putra, General Manager Network Operations KOMPAS TV dan Walentina. Kanan: Yuni Eko Sulistiono (Obot), Executive Producer KOMPAS TV, di depan rumah Walentina Waluyanti di Belanda.
Dari cara Bang Apni mengarahkan tim, nampak bahwa tim ini adalah tim yang solid. Dengan pengarahan singkat dan seperlunya, masing-masing tim sudah tahu apa yang harus dilakukan. Mas Obot mengatakan kadang tanpa perlu banyak bertukar kata di antara mereka, setiap orang di dalam tim cepat tanggap, saling mengerti satu sama lain. Kesan saya tentang tim KOMPAS TV ini, yaitu mereka memang tim profesional dan berpengalaman. Masing-masing sangat responsif dalam bersinergi, sebagaimana layaknya tim yang kompak. Mas Obot segera bergerak dengan kameranya. Ia segera mengambil posisi untuk mendapatkan sudut artistik. Ramon terlihat kelasnya sebagai aktor yang pernah meraih citra. Saya sampai terkagum-kagum melihat bagaimana Ramon bisa langsung bergaya keren di depan kamera, dan langsung nyerocos merangkai kata dengan lancar.
Foto: Ramon Tungka dan Walentina Waluyanti
Komentar saya melihat aksi Ramon di depan kamera, "Wow! Kereeen!". Ramon terlihat ganteng dengan gayanya yang urakan tapi keren khas anak muda, nyeni, rambut gondrongnya yang tebal hitam legam indah bergelombang, ditambah senyum manisnya. Ketrampilan aktingnya, kemampuannya berimprovisasi, ditambah wawasannya yang baik, membuatnya layak menjadi aktor berkelas. Saya merasa beruntung bisa melihat profesionalisme aktor sekelas Ramon dalam melakukan pekerjaannya. Bang Apni, Mas Obot, Ramon, menunjukkan profesionalisme khas para pekerja pers.
Selanjutnya kami semua menuju ke toko Indonesia yang menjual berbagai bahan keperluan dapur orang Indonesia. Mas Obot berjalan menyandang kamera, menyorot saya dan Ramon yang sedang berbincang, berjalan menuju toko. Kata Ramon, "Wah, berbelanja dengan Ibu Walent, serasa lagi berbelanja berjalan-jalan dengan ibu saya." Ramon mengatakan dirinya "Manja" (Manado-Jawa). Dasar aktor, Ramon bisa mengubah logatnya tiba-tiba jadi logat Jawa yang medok banget.
Begitu memasuki pintu toko, tercium bau berbagai masakan khas Indonesia. Di lemari kaca tertutup, terlihat berbagai masakan Indonesia. Mulai dari nasi goreng, ikan bumbu bali, gulai daging, sayur lodeh, sambal goreng tempe teri, rendang, semur, dan berbagai makanan Indonesia, terlihat begitu menggiurkan.
“Wah, semua makanan ini membuat saya jadi lapar”, Ramon mulai berceloteh di depan kamera dengan luwesnya. Saya berjalan mencari kebutuhan yang diperlukan. Hari itu saya ingin memasak untuk tim Kompas TV ini. Nah, itu ada tempe, tahu, kecap manis, pete, singkong, kacang Bogor, emping, krupuk, gula jawa, teh melati, dan bahan lainnya.
Toko ini memang komplit menyediakan segala yang khas terkait kuliner Indonesia. Orang Indonesia yang tinggal di Belanda memang tidak kesulitan untuk mendapatkan berbagai kebutuhan khas Indonesia. Bukan hanya bahan makanan, bahkan alat-alat dapur, alat rumah tangga, jamu/obat-obatan, kosmetik khas Indonesia, pun dijual juga. Misalnya minyak kayu putih, minyak angin, balsem, minyak tawaon, minyak urang-aring, alat kukus dari bambu, nyiru, kipas sate dari bambu, uleg, sapu lidi, dan berbagai cetakan untuk membuat kue khas Indonesia.
Di toko, Ramon meraih botol kecil, yang katanya ia beli buat putra kecilnya. Apa itu? Oh, itu adalah lotion anti alergi. Wah, Ramon memang bapak yang baik. Suami Qori Sandioriva, Putri Indonesia 2009 ini masih sempat ingat sesuatu yang dibutuhkan jagoan kecilnya yang masih berusia setahun lebih.
Ramon mewawancara pemilik toko, menanyakan dari mana saja semua bahan-bahan di toko itu berasal. Pemilik toko menjawab, bahwa bahan-bahan di tokonya didatangkan tidak saja dari Indonesia, tetapi juga dari negara-negara lain di Asia. “Pete-nya kelihatan gede-gede, ya. Pete ini didatangkan dari mana?”, tanya Bang Apni kepada pemilik toko. Saya yang suka pete, baru sadar kalau pete yang kadang saya beli, memang ukurannya sangat gede, melebihi ukuran pete yang biasa saya lihat di Indonesia. Tebakan Bang Apni tepat. Ternyata pete yang gede-gede banget itu memang didatangkan dari Thailand. Mas Obot mencari arah suara orang yang sedang memasak. Kemudian ia meminta izin apakah bisa masuk ke dapur untuk mengambil film dengan kameranya. Setelah selesai berbelanja, kami semua menuju ke rumah saya, yang tidak begitu jauh dari toko Indonesia.
Di rumah saya, tim melihat-lihat beberapa lukisan karya saya yang terpajang di setiap dinding ruangan. Saya memang senang melukis dan suka menampilkan tema-tema Indonesia di atas kanvas.
Foto: Kiki, Tyas, Walentina, Apni, Ramon, Obot dengan latar belakang lukisan Walentina.
Tetapi yang paling saya seriusi dengan tekun tanpa kenal lelah, adalah bidang kesejarahan. Berburu berbagai buku-buku sejarah tentu saja sangat perlu untuk memperbandingkan berbagai data, sebagai salah satu syarat dalam menyusun buku bertema sejarah. Dalam menyajikan paparan fakta sejarah, untuk bisa menyimpulkan sesuatu, penulis tidak bisa hanya bersandar pada satu dua sumber literatur. Menelusuri berbagai sumber literatur adalah hal wajib yang harus dilakukan oleh penulis buku bertema sejarah. Ada buku sejarah saya yang fisik asli buku tersebut memang diterbitkan pada abad ke-19. Ada juga buku tua tahun 1931 yaitu pleidoi Bang Karno yang diterbitkan di Belanda.
Foto: Sebagian dari koleksi buku Walentina.
Mas Obot mengarahkan kameranya, menyorot beberapa koleksi buku-buku literatur di almari buku saya. Di antaranya berbagai buku karya para Founding Fathers Republik Indonesia seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Prof. Muhamad Yamin. Bang Apni membuka-buka buku tiga jilid yang tebal, berisi tentang rangkaian perjalanan hidup dan politik Tan Malaka, ditulis dalam bahasa Belanda. Bang Apni termasuk penggemar sejarah. Di blog-nya, tak jarang Bang Apni menulis topik-topik menyangkut sejarah. Sebagai jurnalis senior, wawasan sejarah Bang Apni tak diragukan lagi. Bagi penggemar sejarah, pasti gayeng kalau mengobrolkan tentang topik ini dengan Bang Apni.
Nah, selanjutnya kami menuju dapur. Saya mulai menyiapkan masakan buat tamu kehormatan, para jurnalis handal ini. Sambil mengaso sebentar saya menyiapkan teh melati hangat, dan kolak pisang campur nangka, talas, durian dan cincau. “Kolaknya enak”, kata Mbak Tyas.
Foto: Menikmati hidangan Indonesia di kebun belakang rumah, bersama tim KOMPAS TV.
Sudah selayaknya kalau saya menyiapkan masakan lezat buat tamu-tamu istimewa ini. Di dapur, bersama Ramon saya menyiapkan sambal goreng udang pete. Sambil ngobrol dengan Ramon di dapur, dengan sabar Mas Obot memberi pengarahan kepada kami, bagaimana sebaiknya posisi kami agar terlihat baik di depan kamera.
Suami saya mulai sibuk di kebun belakang rumah, menyiapkan alat barbeque dan mulai membakar arang. Acara bakar sate dimulai. Harum wangi sate mulai menyebar di kebun. Saya melihat tetangga sebelah melongok dari jendela ruang atas, rupanya penasaran dengan kesibukan peliputan KOMPAS TV.
Nah, akhirnya sate ayam sudah siap untuk disajikan. Semua hidangan sudah siap untuk digelar di atas meja. Ada rendang, coto Makassar, sambal goreng udang pete, singkong goreng, tahu/tempe goreng, serundeng, sayur urap, sambal tauco, sambal terasi, sambal goreng telor, ayam goreng, krupuk Palembang, dan makanan kecil lainnya.
Setelah kami semua selesai makan, diadakan sesi wawancara. Di sudut kebun belakang rumah saya, ada satu sudut yang dipilih oleh Mas Obot sebagai tempat wawancara. Ramon bertanya tentang kuliner Indonesia di Belanda, serta latar belakang sejarahnya. Saya menjelaskan sekilas latar belakang sejarah tentang bagaimana awal mulanya makanan Indonesia menjadi populer di Belanda. Juga bagaimana tata cara makan ala Eropa ikut memengaruhi kultur kuliner di Indonesia.
Foto: Ramon Tungka mewawancarai Walentina Waluyanti, tampak kameraman Mas Obot, dan Bang Apni ikut mengarahkan.
Foto: Ramon Tungka bersiap-siap meninggalkan rumah Walentina.
Hari sudah sore. Suami saya baru saja kembali mengantar Mas Obot melihat-lihat kota untuk mengambil film dari lokasi-lokasi menarik. Tak terasa dari pagi hingga sore, tim KOMPAS TV telah melaksanakan tugas peliputannya. Profesionalisme tim membuat semua rangkaian program mengalir lancar. Sebagaimana umumnya jurnalis profesional, mereka tetap bisa serius sambil tetap tidak kehilangan rasa humor di dalam bekerja. Ada saja di antara mereka yang mengeluarkan celetukan-celetukan lucu, yang menyegarkan suasana. Saya ngakak mendengar celetukan Mas Obot pada Ramon, "Mon, kamu mesti berterimakasih pada saya. Lihat, saya sudah membuat kamu kelihatan begitu keren di kamera, sampai banyak cewek yang ngefans sama kamu." Wah, Mas Obot bisa saja.
Terima kasih kepada Bang Apni, Mas Obot, Ramon Y. Tungka, dan Mbak Tyas yang telah berkenan berkunjung ke rumah saya.
Seluruh rangkaian peliputan KOMPAS TV di Eropa, ditayangkan tanggal 28 Oktober 2014 pukul 20.00 WIB, dengan judul "Spesial Sumpah Pemuda Nasionalisme Rasa".
Foto: Obot, Ramon, Apni, Walentina, Tyas, Kiki, Yan: ngobrol di kebun. (Sumber foto: Apni Jaya Putra)
Baca juga: Pengalaman Bertetangga di Belanda
Walentina Waluyanti
Nederland, 5 September 2014
{backbutton}