Kolom Kita, Detik.com dan EYD
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Catatan Penulis: Tulisan ini disusun dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kolom Kita yang ke-5, tanggal 24 Agustus 2010. Terima kasih atas pengabdian dan perjuangan moderator almarhumah Zeverina. Dan kepada moderator penerus, yaitu Dadi R. Sumaatmadja, selamat berkarya dan mengukir eksistensi jurnalisme warga di persada Indonesia. Dengan berkat-Nya, terpanjatkan harapan agar sukses dan jaya selalu.
Atas jasa Zeverina dan rekan-rekan, Citizen Journalism Kolom Kita akhirnya bisa diterima untuk bergabung dengan Detik.com. Para penulis, pembaca dan para warga komunitas Kolom Kita menyambutnya dengan antusias. Kata terima kasih baik pada moderator dan Detik.com, tak henti mengalir atas kerjasama ini.
Begitu mengawali penayangannya di halaman depan Detik.com di bulan Januari 2010, Kolom Kita langsung menempati kolomnya sendiri. Kolom khusus Kolom Kita di halaman depan Detik.com dengan tiga judul artikel yang bisa di-klik langsung oleh seluruh pembaca Detik.com. Selain itu, boleh dikatakan Kolom Kita mewakili suara jurnalisme warga melalui Detik.com.
Namun sejak bulan Juni 2010, kolom khusus Kolom Kita dengan pajangan judul artikelnya tidak lagi tampak di home page Detik.com. Biasanya lokasinya di atas banner Valuta Asing. Lalu pindah ke pojok kanan atas home page. Sehari kemudian pindah lagi ke pojok kanan bawah home page Detik.com dengan titel Citizen Journalism. Memang Kolom Kita masih bisa diakses melalui Detik.com. Tapi bukan lagi melalui kolom khusus seperti sebelumnya.
Ini lalu menimbulkan pertanyaan kokiers. Mengapa kolom khusus buat Kolom Kita tergeser? Jawaban atas pertanyaan ini hanya “si empunya halaman” yaitu Detik.com yang bisa menjawabnya. Dan tentu saja adalah hak Detik.com sepenuhnya untuk memberi atau tidak memberi halamannya pada Kolom Kita.
Toh harus dihargai bahwa Detik.com masih mengakui eksistensi “Citizen Journalism”, dengan mencantumkannya di halaman depan, walau letaknya “hanya” di sudut bawah.
Bukan hanya citizen journalism Kolom Kita saja yang mengalami hal ini. Tampaknya juga setali tiga uang dengan citizen journalism lain yang bernaung di bawah sebuah media ternama. Nama kolom CJ tadi tidak lagi tercantum di kolom khusus di halaman depan dengan deretan judul artikel seperti biasanya. Memang kolom itu masih bisa diakses, tapi hanya dengan meng-klik nama kolom yang terpajang kecil di sudut atas.
Ada apa? Mengapa dua kolom Citizen Journalism besar di Indonesia terkesan mesti “ngumpet” dalam selang waktu yang hampir bersamaan? Jawaban menebak-nebak, cari kambing hitam, saling menyalahkan, bahkan mengaitkannya dengan masalah politik, dan sederet jawaban spekulatif lain.....tak berarti apa-apa tanpa memahami posisi rekan merger CJ, yaitu media profesional.
Memahami Posisi Media Profesional
Mengapa ruang gerak CJ terasa dipersempit? Mungkin salah satu cara untuk mencari jawabnya adalah kesediaan CJ untuk berintrospeksi serta memahami posisi media pers/penerbitan yang memberi “tumpangan” pada jurnalisme warga.
Keberanian sebuah media untuk memberi ruang gerak pada tumbuhnya jurnalisme warga, bukanlah hal sepele. Saya yakin para petinggi di balik media, secara pribadi mengakui perlunya kebebasan berekspresi bagi setiap warga. Ini terlihat dari fenomena mulainya media mengakomodasi kehadiran jurnalisme warga, walau terasa masih “ragu-ragu”.
Menurut saya, media yang akomodatif terhadap citizen journalism, merupakan media inovatif. Keberanian media memberi ruang gerak bagi tumbuhnya jurnalisme warga merupakan gebrakan positif dan tak bisa dipandang sebelah mata. Karena inilah sesungguhnya bentuk kontribusi dunia pers bagi tumbuhnya hak demokrasi rakyat.
Kalaupun masih ada kesan bahwa ruang gerak CJ masih dibatasi oleh media profesional, maka mungkin perlu dipahami bagaimana sebetulnya posisi, peran dan fungsi media.
Dengan memahami posisi media, maka diharapkan ada “saling pengertian” dalam kerja sama antara media profesional (Detik.com) dan Citizen Journalism (Kolom Kita).
Peran penting media di Indonesia bukan ditentukan oleh sang bos media itu sendiri. Tapi peran media ditentukan oleh Undang-Undang/UU Pers. Peran dan fungsi media informasi di Indonesia terikat Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Di dalam UU Pers, disebutkan peran media adalah sarana informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Dan karena peran pers ditentukan oleh peraturan yuridis, maka walau kebebasan pers sudah didengungkan terutama sejak era reformasi, maka kebebasan itu tetaplah kebebasan yang diikat oleh undang-undang.
Dalam menjalankan perannya, mau tidak mau pers harus mematuhi ketentuan UU. Maka setiap langkahnya pun harus tetap berjalan di koridor yang telah ditentukan. Kewajiban media profesional untuk mematuhi UU Pers, membuatnya penuh perhitungan dalam membuat keputusan-keputusan teknis.....termasuk di antaranya memberi halaman pada citizen journalism.
Ibarat dua orang yang memutuskan untuk menjalani sebuah komitmen, maka antara CJ dan media publik tempatnya bernaung diharapkan ada saling pengertian tentang posisi masing-masing. Adakah friksi di antara keduanya? Apa saja friksi itu? Bagaimana menyatukannya?
Friksi Bahasa
Untuk mencapai “saling pengertian” itu, mari kita lihat peran yang harus disandang media publik di Indonesia. Otomatis ini berarti juga peran yang menjadi beban Detik.com. Peran itu tercantum dalam UU Pers, yaitu pers adalah sarana informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Dari semua peran itu, yang jelas peran itu harus dilakoni oleh media (termasuk Detik.com) melalui kemasan yang dinamakan “Bahasa Indonesia yang baik dan benar” yang berpedoman pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (disingkat EYD).
Ini bukan mau “sok-sokan” tentang bahasa. Soalnya memang peraturan (UU pers) mengharuskan begitu. Tidak bisa ditawar. Mau dibolak-balik juga, ya memang sudah begitu aturannya. Sudah harga mati.
Ketentuan penggunaan Bahasa Indonesia secara baik dan benar bagi media adalah harga mati? Apa boleh buat. Bukan saya yang menentukan begini.
Semua media pers (juga Detik.com) harus mematuhi ketentuan “Berbahasa Indonesia secara baik dan benar” yang berpedoman pada EYD. Ini memang peraturan yuridis yang mau tidak mau harus ditaati, sebagaimana diatur oleh pasal 3 Bab II Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Senang atau tidak senang, memang begitu hukumnya.
Di dalam posisi tersebut di atas tadi, di situlah media profesional termasuk Detik.com berdiri.
Ketentuan “Bahasa Indonesia yang baik dan benar”, adalah prasyarat yang harus dipegang oleh semua media pers. Suka atau tidak suka. Mau atau tidak mau. UU mengharuskan begitu. Masak UU mau dilawan? Ini fakta obyektif.
Apa boleh buat. Walaupun anda ngedumel, harus diakui “BAHASA” adalah cermin sekaligus kekuatan sebuah media penerbitan/pers. Kualitas seseorang kadang bisa dinilai dari caranya memilih media dan bacaan. Maklumlah, tidak semua media menggunakan kaidah bahasa yang baik dan benar. Media penerbitan dengan kualitas bahasa yang buruk? Bisa ditebak bagaimana kualitas penggemar media tersebut.
Dengan demikian BAHASA mencerminkan identitas dan mutu profesionalisme sebuah media. Penyajian bahasa adalah kemasan media. Jika kemasan bahasanya saja tidak memenuhi persyaratan, maka media tersebut bisa menjadi tertawaan masyarakat.
Lalu apa hubungannya peran media yang mesti “jaim” soal bahasa dengan Citizen Journalism?
Nah, di sinilah salah satu letak friksi itu. Yang satu media profesional yang otomatis terikat pada kode etik jurnalistik dan aturan formal. Karena itu diwajibkan oleh UU Pers untuk menyajikan “Bahasa Indonesia secara baik dan benar”. Sedangkan CJ adalah “jurnalisme amatir” yang merasa tidak perlu terikat pada aturan dan karenanya mengedepankan “kebebasan”.
Konsep kebebasan bagi CJ, membuatnya kadang keluar dari ketentuan baku tentang berbahasa secara baik dan benar. Masih banyak yang beranggapan bahwa prinsip kebebasan yang dianut CJ berarti juga bebas untuk tidak mematuhi aturan kepantasan berbahasa dan pedoman EYD. Inilah friksi utama antara media formal dan Citizen Journalism.
Dikatakan friksi, ketika antara “jurnalisme profesional” dan “jurnalisme amatir” itu harus disatukan dalam satu wadah. Media profesional tentu harus berpikir banyak jika harus menyajikan tulisan-tulisan (jurnalisme warga) yang kadang nyelonong dari ketentuan berbahasa. Media yang berani menyajikan tulisan yang keluar dari aturan berbahasa dan pedoman EYD, selain bisa menurunkan citranya sendiri, juga berarti tidak taat pada UU Pers.
Kepatutan berbahasa bagi media profesional, termasuk Detik.com tidak saja terkait dengan masalah image. Tapi juga masalah konsekuensi dan ketaatan pada UU Pers.
CJ yang berdiri sendiri dan tidak bergabung dengan media profesional, tentu tidak akan menemui friksi ini. Bukankah kalau keduanya berdiri sendiri, maka tidak ada pihak yang merasa merepoti dan direpoti?
Memberi ruang gerak bagi CJ, risiko dan image
Media profesional yang memberi tumpangan pada jurnalisme warga, bukannya tanpa risiko. Masalahnya kalau CJ itu melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan kode etik dan UU Pers (termasuk ketentuan berbahasa secara baik dan benar), bukankah malah mencoreng image media profesional yang nota bene si pemberi tumpangan pada CJ? Dan bukankah menjaga citra itu perlu demi kelangsungan sebuah media?
Dengan demikian bergabungnya jurnalisme profesional dan jurnalisme amatir sebetulnya adalah keputusan dilematis bagi kedua belah pihak.
Media yang baik adalah media yang tidak mengedepankan masalah komersil saja. Sebagai kepanjangan suara rakyat, media merasa punya kewajiban moral mengakomodasi tumbuhnya jurnalisme warga. Tapi menjadi dilematis, jika jurnalisme warga yang ada itu malah merugikan image media yang memberi “kamar kost” bagi CJ.
Situasi juga tak kurang dilematis bagi CJ sendiri. Jurnalisme amatir (KoKi) yang mengutamakan kebebasan berekspresi, sanggupkah memahami rambu-rambu yang mesti diwaspadai jurnalisme profesional (Detik.com)?
Di bawah ini tidak ada salahnya kita melihat salah satu rambu-rambu yang mesti diwaspadai Detik.com sebagai media yang terikat pada UU Pers.
Kebebasan = boleh mengabaikan pedoman EYD?
Rambu-rambu yang paling utama, yaitu kembali lagi pada masalah “bahasa”.
Di dalam jurnalisme, kebebasan menggunakan “gaya berbahasa” sah-sah saja.
Tapi kebebasan ini tidak berarti jurnalisme profesional diperbolehkan bebas melanggar aturan pemakaian bahasa, yaitu pedoman EYD. Mau pakai gaya bahasa apapun, bebas saja, silahkan....tapi tidak boleh bebas melanggar aturan berbahasa / pedoman EYD. Kenapa tidak boleh bebas? Ya, karena UU sudah mengatur begitu.
Dengan demikian jelaslah pengertian “karakter/gaya berbahasa” hendaknya tidak dicampur-adukkan dengan pengertian “teknik berbahasa”.
“Karakter dan gaya berbahasa” adalah hak/wilayah pribadi para penulis, orang lain tidak berhak mengatur dan ikut campur. Sedangkan “teknik berbahasa” (dengan pedoman EYD) adalah kesepakatan nasional yang senang atau tidak senang, mesti dipatuhi oleh media.
Bagaimana mungkin pers bisa meng-klaim diri sebagai sarana informasi (mesti akurat dalam isi dan penulisan); sarana pendidikan (tidak menyesatkan); kontrol sosial (konsisten tidak melanggar aturan); jika pers itu sendiri melanggar aturan UU Pers yang mengharuskan konsekuen pada pedoman EYD?
Nah, itu tadi tentang kewajiban menggunakan pedoman EYD bagi jurnalisme profesional. Bagi Citizen Journalism yang berada di luar struktur jurnalisme profesional, ketentuan tadi tentulah tidak begitu mengikat.
Friksi penggunaan EYD antara media profesional dan CJ
Di sebuah kolom CJ saya pernah membaca keluhan seorang pembaca yang mengeluhkan tulisan beberapa penulis yang dianggapnya mengabaikan pedoman EYD. Dikatakannya dirinya yang pelajar meng-klik media ternama itu, dengan harapan bisa sedikit mendapat acuan tentang cara berbahasa yang baik dan benar. Tapi ternyata dirinya hanya menemui kekecewaan. Karena tidak sedikit penulis di kolom CJ itu membuat kesalahan elementer yang keluar dari ketentuan pedoman EYD. Kesalahan yang paling mendasar (misalnya penggunaan ejaan dan tanda baca) menurutnya mestinya bisa dihindari, karena bukankah setiap penulis sudah mempelajari Bahasa Indonesia sejak di bangku Sekolah Dasar? Jika media besar dan ternama saja menyajikan contoh berbahasa yang salah, maka media mana lagi yang bisa dipercaya?
Keluhan pembaca itu mendapat respons yang justru menyerang surat si pembaca tersebut. Umumnya penulis di CJ itu malah menyerang balik si penulis surat yang mereka nilai juga banyak salah ketik. “Halaaaah.....kamu juga sendiri banyak salah ketiknya begitu, mau sok ngomong tentang berbahasa yang baik dan benar”. Begitu kira-kira tanggapan yang saya baca atas keluhan itu.
Padahal tentu saja “salah ketik” itu tidak sama dengan “salah berbahasa”.
“Salah ketik” hanyalah masalah “error” belaka sedangkan “salah berbahasa” menyangkut masalah prinsipil tentang disiplin berbahasa.
Hal di atas juga menunjukkan bahwa topik tentang “Berbahasa Indonesia secara baik dan benar” adalah topik yang sangat sensitif untuk dibicarakan di kolom CJ. Hal ini bisa menyinggung perasaan para penulis. Maklum, CJ terdiri dari penulis independen dan tidak sedikit yang berlatar pendidikan tinggi. Dan orang yang berpendidikan tinggi biasanya mudah “meledak” jika ada yang coba-coba mengatur ataupun meragukan kemampuan mereka.
Selain itu orang yang berani membahas topik “Berbahasa Indonesia yang baik dan benar” di kolom CJ ibarat minta dikeroyok. Karena si pembahas bisa diserang balik dan digugat “Ngaca dong....apa bahasa kamu sendiri sudah bagus?”. Karena itu sebenarnya saya merasa tidak enak juga mengangkat topik ini di sini. Jangan-jangan saya kena semprot, “Walentina, atur dulu dong bahasa kamu sebelum menulis artikel ini”.
Oke deh, jika cara saya berbahasa termasuk masih “berlumuran dosa”, maka maafkanlah hamba yang sok tahu membahas topik sensitif ini di hadapan anda semua.....hehehehe.....
Jika membicarakan topik “Berbahasa Indonesia secara baik dan benar” maka argumen para warga CJ biasanya, “Saya kan tidak dibayar oleh siapa-siapa, tidak bekerja buat siapa-siapa. Jadi suka-suka dong, saya mau tulis bagaimana juga, itu hak saya. Kalau tidak suka ya jangan baca. Gitu aja kok repot”.
Bisakah argumen tadi diterima? Ya, bisa saja. Masuk akal kan? Bos para penulis CJ adalah dirinya sendiri. Siapa yang bisa mengatur? Ini tentu sah-sah saja dan itu tidak jadi masalah jika CJ berdiri sendiri dan tidak merger dengan siapa-siapa.
Yang jadi masalah jika CJ itu merger dengan media profesional. Contohnya Kolom Kita yang merger dengan Detik.com. Masih bisakah para penulisnya bilang, “Suka-suka saya dong”...?
Jika para penulis CJ bisa “suka-suka”, sayangnya Detik.com tidak bisa bersikap sama.
Detik.com terikat UU Pers sehingga tidak bisa bebas begitu saja menyajikan tulisan yang melanggar kaidah berbahasa dan pedoman EYD.
Citizen Journalism versus EYD
Bagaimana jika ada penulis KoKi dan CJ lainnya yang enggan mematuhi pedoman EYD?
Sebagai penulis independen, mereka memang tidak dalam posisi “harus begini dan harus begitu”. Ini ibarat rokok dan perokok. Tidak merokok itu baik. Tapi kita tidak bisa memaksa seseorang untuk tidak merokok. Jalan tengahnya adalah memberi peringatan di kemasan rokok, “Merokok itu berbahaya bagi kesehatan”.
Begitu juga dengan pemakaian EYD bagi jurnalis warga KoKi dan CJ lain. Mengikuti kaidah menurut EYD itu baik. Tetapi kita tidak bisa memaksa jurnalis amatir untuk mengikuti aturan mengikat seperti yang diharuskan bagi jurnalis profesional. Yang bisa dilakukan hanya mengharapkan kerelaan jurnalis amatir sebisa mungkin mendekati ketentuan pedoman EYD.
Secara teknis redaksional, kalaupun sebuah tulisan sudah terlalu jauh melenceng dari kepantasan berbahasa, maka redaksi CJ punya hak untuk tidak menayangkan artikel tersebut. Cara selektif ini yang digunakan Zeverina ketika membesarkan Kolom Kita, hingga menghasilkan banyak penulis kreatif dan berbobot. Bandingkan saja, apa jadinya sebuah komunitas CJ jika semua orang dibebaskan untuk mem-posting tulisan semaunya sendiri?
Kembali ke permasalahan, adakah jalan tengah untuk menetralisir polemik tentang pedoman EYD antara jurnalisme profesional dan jurnalisme amatir?
Yang jelas, jika para penulis mau mengikuti pedoman EYD ya syukur, tidak mengikuti yaaa...siapa yang bisa memaksa?
Buat saya pribadi, pedoman EYD sendiri sangat membantu sebagai acuan dasar jika terjadi polemik tentang ketentuan berbahasa.
Misalnya judul tulisan saya, “Si Gondrong Antagonis di Panggung Politik”. Ada murid saya yang bertanya, mengapa huruf “d” pada kata “di” dalam judul di atas tidak ditulis dalam huruf besar/kapital? Katanya, bukankah semua huruf awal kata-kata dalam judul tulisan mesti ditulis dengan huruf kapital? Lalu saya jelaskan bukan berdasarkan argumen pribadi. Tapi berdasarkan pedoman EYD yang menyebut bahwa kata-kata “yang, di, ke, dari, dan, untuk” yang tidak terletak di posisi awal, harus ditulis dengan huruf kecil, meski untuk judul tulisan.
Namun begitu saya tetap tidak memandang bahwa pedoman EYD bisa menghunus kebebasan saya dalam menentukan gaya/karakter dalam menyusun bahasa tulisan. Saya tidak perlu takut bahwa saya diharuskan menulis secara serius dan formal, karena memang pedoman EYD tidak bermaksud mengekang kebebasan gaya berbahasa.
Pedoman EYD buat saya adalah pedoman TEKNIS, tapi bukan pedoman yang mendikte SELERA. Keduanya adalah hal yang berbeda. Ibaratnya, secara teknis saya mesti menerima 2x2 adalah 4, senang atau tidak senang, memang sudah begitu aturannya. Oke, saya ikuti. Namun aturan itu tidak bisa memaksa saya bahwa angka 2 dan angka 4 tadi harus saya tulis dalam gaya aksara Jawa kuno atau harus ditulis dalam huruf Jepang.
Kebebasan saya dalam menyajikan cita rasa berbahasa adalah hak saya sebagai penulis. Dan untuk mengekspresikan kebebasan itu perlu aturan/teknik bagaimana cara saya menulisnya. Bukankah kebebasan bukan lagi kebebasan namanya, jika kebebasan itu disampaikan tanpa aturan? Kalau dalam tulisan ini masih banyak kesalahan teknis, itu salah saya sendiri....jadi setelah menulis ini, saya mau klik pedoman EYD dulu ah!
Kita semua mencintai asas kebebasan yang dianut “Citizen Journalism”. Namun jangan lupa. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa rekan merger kita yaitu Detik.com tidak mempunyai kebebasan yang sama dengan kebebasan ala CJ.
KoKi nyaris tidak dibebani dengan kata “keharusan”. Sedangkan Detik.com sebagai jurnalisme profesional dibebani “keharusan” oleh kode etik dan UU Pers untuk taat pada aturan berbahasa dan pedoman EYD.
Sampai sekarang kerjasama Kolom Kita dan Detik.com masih tetap berjalan. Tentunya kita semua berharap semoga tetap begitu adanya. Dan sebagaimana layaknya sebuah kerjasama, saya pikir tidak ada salahnya jika kita bisa concern terhadap beban “keharusan” yang disandang oleh rekan merger.
Tulisan saya ini hanya sekedar beropini, tanpa niat sedikit pun menggurui semua pihak.
Walentina Waluyanti
Nederland, 24 Agustus 2010
{backbutton}