Kloning Penyanyi Nasi Goreng?
*) Dialog Interaktif KBRI Belanda
Penulis: Walentina Waluyanti – Belanda
Jangan salah! Walau lahir di Surabaya, kerap berkebaya, berkain batik, bersanggul, namun Tante Lien adalah wanita Belanda asli. Beri saja nasi goreng dan telur mata sapi buat saya! Ditambah sambal dan krupuk! Begitu Tante Lien menyenandungkan kalimat tadi dengan kocak dalam lagunya.
Tante Lien (Wieteke van Dort) dan penulis Walentina Waluyanti
Lagu itu berjudul Geef Mij Maar Nasi Goreng (1972). Artinya, beri saya nasi goreng saja. Senandung lagu nasi goreng dari Tante Lien ini, membuat makanan khas Indonesia yang memang sebelumnya sudah lama dikenal ini, kian terdongkrak popularitasnya di Belanda.
Hampir setiap warga Belanda mengenal siapa Tante Lien, yang nama aslinya Wieteke van Dort. Karenanya di hari itu, 3 Desember 2011, saya senang sekali mendapat undangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag. Soalnya di hari itu, KBRI juga menampilkan penyanyi/komedian Tante Lien, yang identik sebagai “penyanyi nasi goreng”, karena memang dialah yang mempopulerkan lagu nasi goreng ini. Walau lagu lawas, tapi tidak ada matinya. Bahkan hingga kini sangat dikenal di Belanda, terutama di kalangan orang-orang Indisch.
Malam itu, temperatur sekitar 11 derajat celcius, saya dan suami menuju Leiden. Kami menghadiri undangan KBRI, yang menggelar dialog interaktif, dengan mengundang Prof. Dr. Salim Said (pengamat politik/militer, eks duta Besar KBRI Praha), dan Imam B. Prasodjo (sosiolog) sebagai pembicara. Pembicara tuan rumah, adalah Freddy H. Tulung, Direktur Komunikasi dan Informasi Publik KBRI Den Haag.
Bonifatius Agung Herindra, Kepala Penerangan dan Sosial Budaya KBRI Den Haag, memberi kata sambutan sebagai pembuka acara. Pejabat (sementara) Duta Besar Repulik Indonesia untuk Kerajaan Belanda, Umar Hadi juga hadir, serta beberapa pejabat teras KBRI lainnya.
Pembawa acara sekaligus moderator dialog ini, adalah dokter cantik, yang tidak asing bagi pemerhati dunia entertainment di Indonesia. Ya, di Indonesia dia lebih dikenal sebagai aktris dan pembawa acara. Namanya Lula Kamal.
Lula Kamal, pembawa acara dialog interaktif (Foto: Walentina Waluyanti)
Saya sempat bertanya pada Lula, “Kapan balik ke Indonesia, mBak?”. Dengan senyum manisnya Lula menjawab, “Besok!”. Rupanya rombongan dari Indonesia ini memang datang khusus dalam rangka undangan menggelar dialog ini.
Sebelum dialog interaktif dimulai, hadirin dihibur dengan lagu dan musik diiringi band. Yang paling ditunggu-tunggu tentu saja adalah Tante Lien alias Wieteke van Dort. Tante Lien berduet dengan penyanyi senior asal Maluku yang juga terkenal di Belanda, yaitu Ais Lawalata.
Lagu pertama yang dibawakannya, langsung disambut hangat dan mendapat tepukan meriah. Lagu itu sudah bertahun-tahun tetap ngetop hingga kini, lagu tentang nasi goreng, Geef Maar Mij Nasi Goreng. Tamu-tamu tak berhenti tertawa oleh aksi kocak Tante Lien. Menurut saya, Tante Lien memang patut disebut sebagai seorang entertainer sejati. Karena kepiawaiannya menggabungkan mimik, gerak, lagu, musik, vokal, hingga menjadi suguhan komedi yang sangat hidup di atas pentas.
Siapapun yang pernah menyaksikan aksi Tante Lien di atas panggung, pasti akan tertawa terbahak-bahak. Selain penyanyi, Tante Lien juga komedian dengan celetukannya adaaaaa... saja, untuk membuat orang terpingkal-pingkal. Dia berceloteh dengan logat medok Jawa, dalam bahasa Indonesia campur Belanda. Tante Lien begitu terampil mengeksplorasi ekspresi dan gerak, sehingga memancing gelak tawa penonton. Ais Lawalata tak kalah kocaknya mengimbangi aksi Tante Lien.
Foto: Tante Lien dan Ais Lawalata bernyanyi di acara KBRI Belanda (Foto: Walentina)
Sesudah sederetan lagu Indonesia yang dibawakan dengan sangat kocak oleh Tante Lien dan Ais Lawalata, juga ada pertunjukan musik dan lagu lainnya, tari tradsional dari Aceh dan Batak. Dan akhirnya dialog interaktif pun dimulai. Tema dialog adalah, “Membangun karakter bangsa dalam rangka meningkatkan citra positif Indonesia di luar negeri”.
Pembicara dari KBRI Freddy H Tulung, memaparkan kondisi Indonesia dengan sejumlah data statistik tentang pertumbuhan dan kemajuan yang telah dicapai Indonesia.
Giliran berikutnya adalah sosiolog Imam B. Prasodjo. Mengawali sambutannya, Imam mengaku bahwa dia sudah lupa mesti bilang apa di forum ini. Soalnya, kata Imam, dia begitu terpukau dengan penampilan Tante Lien. Bagaimana mungkin seorang wanita Belanda, begitu luwes membawakan lagu-lagu Indonesia, dengan cara yang begitu lucu dan sangat menghibur?
“Tante Lien ini makhluk langka. Bagaimana kalau kita kloning saja Tante Lien ini?”, kata Imam B. Prasodjo. Imam lalu berpaling pada Lula Kamal, “Bagaimana Lula? Kita usulkan pada stasiun TV di Indonesia, supaya Tante Lien ini bisa diundang untuk tampil di Indonesia”.
Lanjutnya,”Jaman sekarang, sebetulnya mungkin dipomasi tidak perlu lagi melalui dialog serius semacam ini. Mungkin akan lebih efektif, melakukan diplomasi melalui makanan seperti yang dilakukan Tante Lien tadi. Soalnya semua makanan Indonesia, disebut semuanya oleh Tante Lien di dalam lagunya. Mulai dari nasi goreng, onde-onde, semur, kue lapis, gado-gado, babi panggang, rendang, serundeng, lontong, ketupat......dan lain-lain.”
Gerrrrr.....penonton tertawa menanggapi komentar Imam. Selanjutnya Imam melanjutkan diskusi tentang bagaimana keadaan sosial dipengaruhi oleh dampak teknologi komunikasi saat ini. Di antaranya membuat dunia semakin tak berjarak, ruang privacy semakin sempit, dan kepekaan orang terhadap lingkungannya menjadi berkurang.
Setiap pembicara selesai dengan penjelasannya, ada sesi tanya jawab antara pembicara dan hadirin. Sebagai pembicara terakhir, adalah Prof. Dr. Salim Said.
Saya masih ingat, ketika jaman kuliah dulu, saya sangat rajin menyusun kliping artikel-artikel Salim Said yang banyak menganalisis tentang masalah-masalah politik dan militer. Soalnya selain itu berguna sebagai tuntutan studi di kala itu, juga saya tertarik mempelajari cara pandang para pakar dalam menganalisis sesuatu. Dan analisis Salim Said, termasuk yang menarik perhatian saya.
Imam Prasodjo (latar depan), Salim Said (kanan), Freddy H Tulung (di samping Imam Prasodjo)- Foto: Walentina
Karena waktu yang terbatas, Salim Said hampir tidak punya kesempatan bicara. “Saya mesti ngomong apa, semuanya sudah diborong si Imam”, katanya setengah bercanda. Lula Kamal sang moderator diskusi cepat tanggap, “Ya, sudah. Kalau begitu kita langsung buka saja sesi tanya jawab pada Pak Salim Said. Yang mau bertanya pada Pak Salim Said, dipersilakan”.
Saya lalu unjuk tangan, mengajukan pertanyaan pada Prof. Dr. Salim Said. Karena tema diskusi yaitu tentang “membangun karakter bangsa”, maka pertanyaan saya tidak jauh dari tema. Saya katakan, bahwa tak dapat dipungkiri, masalah toleransi beragama adalah salah satu unsur penting dalam membangun karakter bangsa. Sementara itu, issue belakangan ini, banyak kalangan menyebut bahwa toleransi beragama di Indonesia terkesan semakin menipis, dibanding jaman otoriter Orde Baru dulu. Kesan tersebut semakin tajam akibat peristiwa Cikeusik, 6 Februari 2011. Bagaimana bisa terjadi, setelah jaman demokrasi, toleransi beragama ini malah jadi masalah? Saya penasaran, ingin tahu opini Prof. Salim Said tentang ini, kira-kira penyebabnya apa?
Cukup panjang lebar jawaban Prof. Dr. Salim Said, menanggapi pertanyaan saya. Salim Said bertanya, apakah Anda yakin, bahwa di masa Orde Baru, toleransi beragama itu memang lebih baik? Apakah P4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Salim Said bercanda, P4 diplesetkannya “Pergi Pagi Pulang Petang”), itu memang bisa menciptakan toleransi beragama? Bagaimana peran Pangkopkamtib di jaman Orba sehubungan masalah ini? Apakah Anda yakin bahwa tanpa peran Amerika, negara Irak dan Libya bisa jatuh? Dan seterusnya.....
Hmmm, rentetan pertanyaan balik dan sederet penjelasan lainnya, membuat saya paham bagaimana menyusun “puzzle” sinyal yang tersirat di balik jawaban Salim Said. Saya lalu mahfum bagaimana arah dan perspektif Salim Said seputar issue toleransi beragama. Itu sudah cukup buat saya. Selain itu saya merasa senang, bahwa saya langsung bisa bertanya jawab, bertatap muka dengan pengamat yang analisanya sejak dulu saya kagumi. Namun pada intinya, Salim Said ingin mengatakan, Indonesia adalah negara yang baru tumbuh, sehingga memerlukan waktu yang panjang untuk bisa benar-benar matang dalam banyak hal.
Hidangan KBRI Belanda (Foto: Walentina Waluyanti)
Di tengah diskusi, saya melirik ke belakang ruangan. Di sana masih ada beberapa orang yang masih asyik makan. Sebelum diskusi dimulai, tamu-tamu sudah terlebih dahulu disuguhi aneka makanan Indonesia. Ada sate, lumpia, sayur lodeh, acar, gulai daging, ayam rica-rica, sambal goreng telur, semur, nasi kuning, krupuk, sambal, dan lain-lain.
Oh ya, bagaimana dengan nasi goreng? Walau di meja itu tidak tersedia menu nasi goreng, tapi tak mengapa. Masakan yang dihidangkan sangat lezat dan istimewa, sudah lebih dari cukup. Lebih dari itu, insiatif KBRI dengan mengadakan dialog semacam ini, adalah “makanan” tersendiri, dan memberi tambahan cakrawala.
Lagi pula tentang nasi goreng, kita semua sudah sangat sering menyantapnya. Itu baru nasi gorengnya. Bagaimana lagu nasi gorengnya? Dalam perjalanan pulang ke rumah, lagu itu seakan terus berdengung di telinga. Tanpa sadar saya bersenandung kecil menyanyikan lagu itu. Oh ya, bagaimana sebetulnya lagu nasi goreng yang dinyanyikan oleh Tante Lien ini? Bagi yang belum pernah mendengarnya, silakan klik video di bawah ini.
Baca juga, silakan klik: KOMPAS TV Bertamu ke Rumahku
Walentina Waluyanti
Nederland, 4 Desember 2011
{backbutton}