Kesetiaan Teh Ninih
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Jangan-jangan Sri Sultan Hamengkubuwono X cuma punya istri satu, karena takut istri? Lalu Sri Sultan jawab, lebih baik diejek takut istri daripada berpoligami. Sri Sultan dengan tegas menolak poligami, karena sudah mengalami pengalaman kelam, tumbuh dengan sejumlah saudara tiri dan sejumlah ibu tiri. Ia tak mau mengulang pengalaman pahitnya itu kepada anak-anaknya. Begitu pengakuan Sri Sultan ketika diwawancara oleh Andy F. Noya di Kick Andy.
Memang menarik melihat suami yang walau punya tahta dan harta, tapi tetap setia pada satu istri. Mungkin Sri Sultan bisa menjadi contoh tentang ini. Sampai di usianya yang menginjak 65 tahun ini, kesetiaannya hanya pada istrinya Ratu Hemas, mantan model tahun 1970-an di Jakarta, yang dulu bernama Fransiska.
Foto: Sri Sultan dan Ratu Hemas
Ketika masih kecil, dan senang membaca profil orang-orang penting, sering saya temui kalimat, “Dia wanita cantik, ramah, dan setia pada suami”. Begitu biasanya deskripsi tentang istri tokoh-tokoh terpandang. Para wanita di balik tokoh terkenal selalu digambarkan “setia”.
Lalu logika kanak-kanak saya mengatakan, bukannya yang mesti dipuji-puji sebagai wanita setia itu kalau wanita itu istri tukang becak, istri nelayan, sakit-sakitan...yang miskin melarat? Setidaknya kesetiaan wanita itu sudah teruji. Tidak meninggalkan suaminya bagaimana pun susahnya hidup. Kalau suaminya raja, kaya raya, baik hati, lalu istrinya tidak setia....yaaa kebangetan.
Teh Ninih itu tergolong wanita setia. Bersama Aa Gym, Teh Ninih mengawali pernikahan dalam keadaan susah dan masih miskin kekurangan. Teh Ninih ikut menopang ekonomi rumah tangga dengan membantu suami jualan bakso dan jualan koran. Ketika keadaan ekonomi rumah tangga menanjak, maka tentu itu juga tak luput dari peran kesetiaan sang istri. Namun jalan hidup memang misterius. Tidak selamanya 2X2=4. Kesetiaan tidak selalu berakhir seperti harapan manusia.
Teh Ninih dan Aa Gym sama seperti Anda, saya, kita, mereka. Mereka juga manusia yang bisa dihadapkan pada dilema. Haruskah setia? Atau tak setia? Tetap setia, jadinya kok begini. Tapi tidak setia, nanti apa kata dunia? Begitu juga Teh Ninih. Haruskah setia dan ikhlas pada suami dengan cara berbagi dengan wanita lain? Wanita mana yang sanggup berbagi dengan wanita lain...sama menyakitkannya dengan pertanyaan pria mana yang sanggup berbagi dengan pria lain?
Jika Teh Ninih akhirnya lelah, lebih memilih perceraian, ini tidak berarti dirinya tidak setia pada komitmen sebagai istri shaleha. Setidaknya ia masih setia pada satu prinsip, yang cuma Teh Ninih sendiri yang tahu.
Sebaliknya jika Aa Gym memilih menjatuhkan talak, membingungkan juga kalau mau dibilang tak setia...setidaknya ia masih setia pada istri yang lain? Ah, saya jadi garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Kisah tentang kesetiaan dan pengkhianatan memang selalu mengharu-biru.
Foto: Aa Gym, Teh Ninih, dan Teh Rini
Terburu-buru melekatkan gelar “pengkhianat” pada seseorang, memang mesti hati-hati. Kata itu kadang terdengar lebih sadis dari faktanya. Termasuk jika seseorang bersikap yang kita nilai “tak setia”. Keputusan seseorang adalah hasil dari rentetan efek domino, berkaitan satu sama lain. Orang luar hanya melihat hasil akhir sebuah keputusan. Kita hanya melihat hitam putihnya tindakan. Namun nuansa di balik itu semua, tak pernah kita tahu.
Tak ada orang yang mau disebut tidak setia. Tidak ada orang yang mau disebut pengkhianat. Masih untung, jika pelakunya adalah ulama, ada ribuan umat yang siap membelanya. Terlebih tokoh agama tentulah dianggap lebih tahu arti luhur kesetiaan, dan apa arti durjananya pengkhianatan. Aa Gym dan Teh Ninih lebih tahu arti kesetiaan dalam kasus mereka.
Tapi sebetulnya beruntunglah Aa Gym dan Teh Ninih. Karena pada saat kesetiaan dan ketidaksetiaan mereka digugat orang, ini artinya orang masih peduli pada pencarian figur keteladanan. Aa Gym dan Teh Ninih hanya korban dari efek “role model”.
Kesetiaan bisa dihubungkan dengan patriotisme. Sebutan ini dilekatkan jika pihak yang diberi kesetiaan itu memang menghargai kesetiaan itu. Lalu menghargai kesetiaan dengan menyebut orang yang setia itu sebagai “patriot”. Namun kenyataan tidak selamanya semanis itu.
Bisa juga Anda sudah setia, tapi kesetiaan itu tidak dihargai. Boro-boro dihargai kesetiaan Anda itu sikap patriot...disapa tidak, bahkan dilirik pun tidak. Tidak dihargai. Tidak dianggap. Apalagi kalau masih ditambah sindiran, “Kalau tidak suka mundur saja”. Walaaah...tak heran orang yang tadinya berniat setia, hatinya jadi perih, frustrasi. Akhirnya perlahan-lahan menghilang dan pergi dengan hati pilu.
Pada saat dirinya pergi, karena capek disindir disuruh pergi...eeehhh, malah disebut “pengkhianat”. Cilaka dua belas. Sudah capek-capek setia, kesetiaannya tak dihargai, diusir, masih dikatai pengkhianat.
Karena itu, kesetiaan pada sesuatu tidak selamanya bernilai. Setia pada pihak yang tidak mau disetiai, dan selalu menampik Anda...maka apa artinya kesetiaan itu?
Kesetiaan Teh Ninih mungkin sama dengan kesetiaan Ibu Inggit Ganarsih pada Soekarno. Kesetiaan keduanya sangat berharga mengantar suami ke pintu kesuksesan. Dan setelah itu, mereka mundur.
Kedua wanita itu seakan memberi cermin tentang arti kesetiaan. Kesetiaan memang mulia, ironisnya kadang hanya berharga jika kesetiaan itu memang diharapkan. Kesetiaan juga terasa hampa, ketika kesetiaan itu tak bersambut.
Malangnya, kesetiaan itu kadang tak terasa, tak terlihat ketika diberikan dengan gencar tanpa pamrih. Akhirnya yang setia sadar, kesetiaannya tak berguna. Si pemberi kesetiaan lalu pergi, karena sadar kesetiaannya dipandang sebelah mata...juga kadang terjadi di sekeliling kita.
Saat membaca artikel-artikel bagus, saya merasa artikel itu ada seakan hanya “sim salabim”. Saya belum menyadari bahwa tulisan-tulisan bagus itu ada, karena hasil kreativitas menguras pikiran, kesetiaan dan dedikasi penulisnya. Namun ketika para penulis bagus itu menghilang satu persatu, baru saya sadari apa arti menghargai dan mempertahankan kesetiaan orang lain.
Salam buat para pembaca dan penulis yang terlupakan, tak tersapa, tak terdengar namanya, namun tetap setia berkarya.
Walentina Waluyanti - Nederland
{backbutton}