Heboh! Temanku Prof. Musakkir Nyabu?
Penulis: Walentina Waluyanti - Belanda
Teman saya saat kuliah dahulu, ditangkap? What!!?? Bukankah ia pernah menyandang gelar mahasiswa teladan? Ini mengingatkan pada tersandungnya mantan mahasiswa teladan UNAIR, Anas Urbaningrum, meski kasusnya sangat berbeda. Saya kaget bukan main membaca berita heboh yang mencoreng dunia pendidikan di Indonesia ini. Bagaimana tidak? Teman saya yang tertangkap tangan karena nyabu di hotel itu, dikenal sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Pidana UNHAS, juga menjabat sebagai Pembantu Rektor III (langsung dinon-aktifkan dari jabatannya, setelah penangkapannya). Bukan hanya saya, semua teman tak habis pikir, tak menyangka kejadian yang menimpa teman yang kami hormati ini. Namanya Prof. Dr. Musakkir SH, MH. Tiga tahun lalu, saya sempat reunian dengan teman-teman seangkatan di Fakultas Hukum UNHAS. Kata seorang teman kepada saya, “Kamu masih ingat Muzakkir ‘kan? Dia sekarang bergelar Profesor, lho!”
"Wah, Musakkir hebat banget", cetus saya saat ia baru saja dianugerahi gelar Profesor. Pada usia yang waktu itu relatif muda, 45 tahun, ia sudah menyandang gelar terhormat. Bukankah itu merupakan puncak prestasi yang diimpikan para kalangan akademisi? Tetapi sekarang? Saya tercenung. Lihatlah, betapa mudahnya nasib manusia berbalik 180 derajat. Orang yang dahulu terhina, kelak bisa saja menjadi manusia terhormat. Tetapi bisa juga terjadi sebaliknya. Hari ini sangat terhormat, besok bisa jatuh terpuruk. Karenanya tulisan ini saya susun dengan menundukkan kepala sambil tetap ingat bahwa nasib apa yang akan menimpa esok, tak seorang pun mengetahuinya... selain hanya berusaha tetap berada di rel yang benar.
Prof. Dr. Musakkir SH MH (Foto: unhas.ac.id)
Benarkah tuduhan bahwa Prof. Dr. Musakkir SH MH nyabu di hotel? Penetapan status Prof. Musakkir sebagai "Tersangka", telah jelas. Menurut hasil Labfor, Musakkir dinyatakan positif mengkonsumsi sabu-sabu (metamfetamina atau desoksiefedrin). Jumat dinihari (14/11-2014) ia tertangkap tangan sedang nyabu di kamar Hotel Grand Malibu di Jalan Bontomanai, Rappocini Makassar. Di kamar yang sama, ikut ditangkap bersama Musakkir yaitu seorang dosen muda yang juga Ketua LBH, seorang mahasiswi PTS, juga beberapa orang lainnya di kamar sebelahnya. Semua yang tertangkap pada penyergapan itu, dinyatakan positif mengkonsumsi sabu-sabu, berdasarkan pemeriksaan darah dan urine, setelah melalui hasil uji Labfor.
Musakkir bersikukuh membantah tuduhan. Menurut Rektor UNHAS Prof. Dr. Dwia Aristina yang telah menjenguk di sel tahanan Polrestabes Makassar, Musakkir merasa tidak bersalah. Ia melihat koleganya itu tampak sehat dan tegar. Kepada Rektor, Musakkir mengatakan kesalahannya adalah karena pada malam kejadian, ia berada di hotel tersebut (Tribun, 18/11). Musakkir berdalih, kehadirannya di hotel adalah untuk menyusun karya ilmiah. Sesaat sesudah penangkapan, Musakkir memang mengklaim bahwa dirinya dijebak. Sebaliknya, polisi menyatakan telah lama mengintai Prof. Musakkir, berdasarkan informasi pengedar yang tertangkap. Sebelumnya polisi sudah beberapa kali mencoba melakukan penyergapan. Namun setiap kali diurungkan, karena pada saat aksi penyergapan hendak dilakukan, tak terlihat tanda-tanda mencurigakan.
Status Prof. Musakkir bisa saja "Tersangka". Namun belum ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap, yang memutuskan secara sah, apakah Musakkir terbukti bersalah atau tidak. Orang hukum mengenal kalimat hukum, "Hormatilah azas praduga tak bersalah". Tetapi kalau toh tuduhan terhadap Musakkir itu benar, tentulah sulit dicerna oleh akal sehat siapapun. Bagaimana mungkin seorang Guru Besar yang sangat paham aturan hukum, bisa terjerumus pada masalah pelanggaran hukum berat seperti ini? Ah, mendadak saya mengalami "gagal paham". Sebagai teman, sungguh tak mudah mempercayai berita ini.
Saya mengenang kembali saat-saat kuliah dulu. Musakkir saat kuliah dulu, adalah pemuda berbadan tegap, dengan postur atletis. Kalau kami kumpul-kumpul ngobrol menunggu waktu kuliah, banyak teman pria yang merokok. Tetapi rasanya tak pernah sekalipun saya melihat Musakkir merokok, setidaknya ketika itu. Entah bagaimana di kemudian hari, mungkinkah berubah (?). Rambutnya lurus berbelah pinggir. Ia kerap mengenakan kemeja lengan pendek putih atau kotak-kotak. Ujung kemejanya selalu dengan rapi dimasukkan di balik celana panjang yang tersetrika rapi. Kulitnya cukup terang, sawo matang. Waktu itu ia masih muda, raut wajahnya masih halus dan naif. Ia tidak tergolong mahasiswa genit. Kami sering bersenda-gurau ramai-ramai bersama. Kalau tersenyum, matanya berbinar-binar, kelihatan manis dan ceria. Ia termasuk mahasiswa yang cukup serius, jarang bercanda, kalau ngomong secukupnya saja. Padahal pada usia yang muda itu, kebanyakan di antara kami masih pecicilan, dan senang guyon. Terus terang, saya tidak menduga saat mendengar Musakkir menjadi mahasiswa teladan. Karena selama menjadi mahasiswa, saya malah melihat beberapa kelompok teman yang tergolong kritis, vokal dan cukup menonjol. Namun tentu ada parameter khusus untuk menetapkan seseorang menjadi mahasiswa teladan. Selanjutnya, gelar mahasiswa teladan memuluskan jalan Musakkir menuju program S2 di UGM, dan akhirnya meraih gelar Doktor tahun 2005, kemudian bergelar Profesor (2011). Foto: Prof. Dr. Musakkir SH MH (unhas.ac.ad)
Yang paling saya ingat dari Musakkir adalah keaktifannya dalam karate, terutama karena kedekatannya dengan (alm.) Prof. Dr. Achmad Ali SH MH yang memimpin perguruan karate Gojukai. Sejak semula, di samping minat pada Ilmu Hukum, Achmad Ali juga sangat bangga dan terobsesi dengan Gojukai. Mereka yang loyal pada perguruan Gojukai, termasuk Musakkir, tidak sulit menjalin keakraban dengan Achmad Ali. Ketika itu Achmad Ali belum Profesor, masih dosen S1 yang mengajar Hukum Pidana, sedang menempuh program S2 di UGM, juga merangkap sebagai pengajar ekstra kurikuler, yaitu karate. (Awal 1980-an, belum ada aturan ketat yang mengharuskan gelar S2 dan S3 bagi tenaga pengajar, tetapi umumnya dosen S1 waktu itu juga menempuh program S2).
Kala itu semua mahasiswa Fakultas Hukum UNHAS, pada tahun pertama, wajib mengikuti karate, termasuk saya juga, yang sempat ikut sampai sabuk biru. Umumnya kami semua pada waktu itu benar-benar baru mulai dari nol dalam karate, termasuk Musakkir. Setelah melewati tahun pertama kuliah, kegiatan ekstra kurikuler ini tidak lagi wajib. Meski tidak lagi wajib, ada beberapa mahasiswa yang tetap setia mengikuti bimbingan Prof. Dr. Achmad Ali dalam kegiatan karate Gojukai ini, di antaranya Musakkir.
Ketika itu kami semua tahu bagaimana setianya Musakkir terus ngintil sebagai murid karate dari Achmad Ali ahli Hukum Pidana, sekaligus suhu karate yang berdarah Arab itu. Dari sinilah awal prestasi Musakkir dalam perkaratean, ketika pada tahun kedua ia kemudian dipercaya sebagai asisten Achmad Ali dalam melatih karate bagi mahasiswa baru.
Kedekatan Musakkir dengan Prof. Dr. Achmad Ali (mantan menantu Mahbub Djunaedi, kolumnis surat kabar ternama), sedikit banyak membawa pengaruh pada prestasi akademik Musakkir. Terlebih Achmad Ali kemudian menjadi orang yang disegani di lingkungan Fakultas Hukum UNHAS. Selain menjabat sebagai Dekan FHUH, Achmad Ali juga pernah menjabat sebagai Pembantu Rektor dan Ketua Program S3 Ilmu Hukum di Unhas. Juga pernah dicalonkan menjadi Hakim Agung, namun terganjal isu korupsi. Tuduhan ini berkali-kali dibantah oleh yang bersangkutan, bahwa tuduhan itu nyata tak terbukti, dilakukan sebagai upaya hitam mengganjal pencalonannya sebagai Hakim Agung. (Prof. Dr. Achmad Ali tutup usia tahun 2012 dalam usia 59 tahun karena menderita diabetes).
Musakkir yang menekuni Hukum Pidana dan karate, kemudian dikenal sebagai murid andalan Prof. Dr. Achmad Ali yang ahli Hukum Pidana, sekaligus "sensei" perguruan karate Gojukai. Seiring dengan menanjaknya karir Achmad Ali di Fakultas Hukum UNHAS, demikian juga Musakkir menanjak karirnya. Siapa sangka murid andalan Prof. Dr. Achmad Ali ini, kemudian mengalami nasib yang nyaris serupa dengan sensei-nya itu? Bedanya, Achmad Ali pernah meringkuk di hotel prodeo karena tuduhan korupsi, dan Musakkir tertangkap tangan dengan tuduhan nyabu bersama seorang dosen dan dikait-kaitkan dengan kehadiran mahasiswi PTS berusia belasan tahun yang putih, bening dan cantik! Oh, my God!
Saya rasa kejadian ini tidak saja memilukan bagi keluarga, anak-anak dan istri. Ini adalah juga hantaman bagi citra Kota Makassar, sekaligus pukulan telak bagi seluruh jajaran civitas akademika, para pakar dan praktisi hukum. Boleh dikatakan ini merupakan tamparan perih bagi dunia penegakan hukum Indonesia, setelah kasus tertangkapnya Ketua MK, Dr H M Akil Mochtar.
Karena sabu seupil, rusak sudah milk shake satu gentong. Meski tak sedikit alumnus UNHAS yang prestasinya terpuji, tetapi dengan peristiwa ini, yang lebih dikenang orang biasanya adalah aib ketimbang prestasi. Mereka yang tergolong berprestasi terpuji ini, tak pelak, tak tahu lagi bagaimana harus berkata-kata. Saya tidak tahu bagaimana malunya alumnus Fakultas Hukum UNHAS yang umurnya masih sepantaran dengan angkatan kami, seperti Ketua KPK Abraham Samad, Ketua MK Hamdan Zoelva, dan Hakim MK, Prof. Dr. Aswanto.
Alumnus Fakultas Hukum UNHAS, Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva (Foto: forum.indowebster).
Adapun Abraham Samad sendiri berkomentar, jika terbukti, maka pelakunya harus dihukum berat, dan statusnya sebagai Guru Besar harus dicabut. Angkatan kami adalah angkatan yang masih sempat mengecap perkuliahan dari pakar hukum yang dikenal kejujuran dan integritasnya dalam penegakan hukum, yaitu Prof. Baharuddin Lopa. Semoga peristiwa tertangkapnya Prof. Dr. Musakkir, menjadi hikmah yang menstimulasi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin untuk mengadakan pembenahan. Kalau perlu berperan dalam mengganyang narkoba, melalui terobosan usulan penyusunan RUU yang memperberat hukuman terkait kejahatan narkoba, yang di Indonesia hukumannya sangat mengherankan... alamak... ringan sekali! (Catatan: Di era Jokowi ada perubahan signifikan, tampaknya telah ada keseriusan untuk memberlakukan hukuman mati kepada pengedar narkotika).Hukuman ringan terhadap kejahatan narkoba, tidak sebanding dengan kerugian teramat besar, yaitu hancurnya mental sebuah generasi, yang berakibat pada pengeroposan bangsa. Rasanya pihak fakultas perlu mengantisipasi agar tidak lagi terjadi staf pengajar sampai harus menyewa kamar hotel segala dalam melakukan pekerjaannya. Kalaupun perlu, seberapa mendesak urgensinya?
Alumnus Fakultas Hukum UNHAS, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad (Foto: Tribun).
Apa boleh buat. Satu-satunya cara, teruslah berprestasi, tanpa banyak bicara. Tentu dengan cara yang lurus, sedapat mungkin menghindari pelanggaran hukum, sekecil apapun itu. Kesadaran untuk menghindari perbuatan melawan hukum, dilakukan bukan sekadar demi keselamatan diri sendiri. Tetapi menghindari pelanggaran hukum, adalah fitrah dasar setiap manusia waras. Rasanya logika seperti ini adalah logika sederhana. Tidak perlu jadi Guru Besar Hukum Pidana pun, semua orang tahu. Payahnya, untuk mewujudkan logika sederhana ini pun, diperlukan dua kata yang kedengaran berat. Revolusi mental!
Artikel lainnya, klik: Mantap! Tak Tamat SD Kalahkan Sarjana!
Walentina Waluyanti
Penulis buku Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen
{backbutton}