Cyberbullying, Taktik Dongkrak Rating?

Penulis: Walentina Waluyanti – Belanda

Beberapa hari ini saya bisa bebas tugas dan kurang enak badan. Sehingga membuat saya bisa sedikit leyeh-leyeh. Ahhh… sedikit lepas dari rutinitas harian. Saya membuka-buka beberapa situs dan blog. Melihat-lihat tulisan dan komentar teman-teman dunia maya. Antara lain di beberapa komunitas jurnalisme warga. Membuka-buka beberapa situs, ternyata memang tak sulit menemukan kasus bullying. Tampaknya hal ini  sangat mudah tersulut di dunia maya.

Di beberapa komunitas jurnalisme warga, banyak teman-teman maya saya. Dulu kami sering bertukar ide, saran, dan komentar. Sungguh masa-masa yang memperkaya sisi intelektualitas sebagai penulis. Toh, di komunitas on-line tempat kami semua nyaman berdiskusi, bukannya tak luput dari masalah bullying.

cyber1a

Foto: keepcalm-o-matic

Salah satu komunitas citizen journalism adalah Kompasiana. Moderatornya tentu repot menangani ratusan ribu anggota. Tidak cuma bullying antar anggota komunitas, juga penistaan agama, bahkan juga bullying terhadap moderatornya sendiri. Apapun itu, saya percaya masing-masing moderator punya argumen sendiri atas kebijakannya. Yang tahu konsekuensinya hanya mereka sendiri. Lebih baik saya tidak ikut campur. 

Saya tidak ingin membahas bullying dengan menunjuk pada satu komunitas jurnalisme warga, dari sekian komunitas yang ada. Bukan wewenang saya untuk memasuki wilayah kebijakan para redaktur. Saya hanya ingin membahas cyberbullying secara umum saja.

Kelihatannya akhir-akhir ini bullying di internet semakin “liberal” dan “maju”. Bebas lepas tanpa batas mengatakan apa saja untuk menyakiti, hal yang di dunia nyata rasanya sulit dilakukan oleh pelakunya.

Masih sulit menemukan satu kata sebagai padanan tepat dalam Bahasa Indonesia untuk istilah bullying. Maknanya bisa dirasakan dalam rasa dan pikiran. Namun dalam Bahasa Indonesia, kurang lengkap untuk mengatakannya dengan tepat, hanya dengan satu kata. Secara sederhana, cyberbullying dapat diartikan sebagai perilaku agresif di dunia maya, yang bertujuan menyakiti pihak lain. Dilakukan dengan cara-cara kekerasan, seperti mengintimidasi, menghujat, melecehkan, menyerang, menghina di luar batas-batas nilai kepantasan. Perilaku ini juga biasanya dilakukan pelaku yang sama secara sistematis, konstan, berulang-ulang, dengan korban yang itu-itu saja, atau kepada orang lain yang dicurigai berpihak ke korban.

Cyberbullying ini menurut saya tidak bisa disederhanakan dan disejajarkan dengan mengejek di dunia maya. Kalau sekedar saling ejek, itu biasa saya lakukan di dunia maya dengan beberapa teman. Meski saling ejek, tapi tidak ada yang tersinggung. Diejek mereka, ya saya senang-senang saja. Ya, kadang mungkin saya jadi ngelunjak, dan balik mengejek. Tapi saya yakin, ke-ngelunjak-an saya itu bisa ditolerir oleh kawan-kawan saya yang cool tadi.

cyber2a

Foto: 123rf

Kami bisa saling bertukar kata dan berdebat secara sehat. Walau kadang saya tak setuju dengan mereka, bisa saja saya kesal. Tapi karena semua itu berdasarkan semangat diskusi yang sehat, sehingga walau kesal, namun tak perlu diambil hati.

Selain itu dalam konteks mengejek di atas, kedudukan antara yang diejek dan yang mengejek, adalah setara dan seimbang. Sebagaimana layaknya orang yang berkomunikasi biasa, ejekan hanya sekedar “bumbu” komunikasi. Tidak ada istilah pelaku dan korban. Ada kesetaraan antara pihak-pihak yang berkomunikasi. Saya mengejek Anda, dan Anda boleh marah, atau sebaliknya. Ejekan yang dilontarkan dimaksudkan sekedar candaan, bukan untuk menyakiti. Kalaupun hasilnya ada yang tersakiti, maka itu adalah “khilaf” dan ini biasanya terselesaikan dengan cara saling memaafkan.

Pada kasus bullying, ada situasi yang tidak setara dan tidak seimbang. Ada pelaku dan ada korban. Ada yang menindas dan ada yang ditindas. Ada yang lebih kuat dan ada yang lemah. Ada yang mendominasi, dan yang satu harus didominasi. Serangan dilancarkan bukan karena "khilaf", tapi memang dengan sengaja dan sadar dilakukan untuk menghantam dan menyakiti. Penyerang boleh berkata apa saja kepada mangsanya. Namun si mangsa jangan coba-coba membalas. Berani membalas, maka penyerang akan "menggigit", mengeluarkan kata-kata lebih sadis dan lebih kotor. Si pelaku seakan harus meyakinkan dirinya bahwa ia berhasil membuat mangsanya tersakiti, terkucilkan dan tak berdaya. Kalau perlu “berdarah-darah”. Ini semacam “game” yang dinikmati oleh pelaku bullying. Ada yang berpendapat, motifnya selain untuk menjatuhkan pihak yang diincar, juga demi kepuasan sebagaimana yang bisa diperoleh dari sebuah "game".

cyber3a

Foto: onextrapixel

Setelah membuka-buka beberapa komentar yang berisi “bullying” di komunitas on-line, saya melihat ada modus seragam. Modusnya adalah pertama, melempar “BOM”. Bom ini memicu dan menciptakan situasi yang diinginkan. Dan ini biasanya dipicu oleh satu orang sebagai provokator. Dan provokator ini biasanya selalu anonim. Karena anonim, maka ia bebas mengatakan kata sumpah serapah, kebun binatang, dan caci maki lainnya kepada pihak yang dibidik.

Perilaku agresif si pelempar bom seakan memang sengaja ingin memanas-manasi, mengadu domba. Karena kebebasannya mengeluarkan kata-kata yang sangat sadis tampaknya difasilitasi di komunitas itu (diberi peluang), maka pihak lain menginterpretasikan hal ini boleh, sah-sah saja. Ini diartikan ada akseptasi dari pihak pengelola. Karena itu, selalu saja ada pihak yang berhasil dibakar untuk ikut-ikutan berani seperti provokatornya. Sehingga tadinya si “aggressor” hanya satu, berkembang menjadi dua, tiga, dan seterusnya hingga terbentuklah kelompok pelaku bullying. Bukankah lebih mudah berperilaku agresif secara berkelompok dibanding one man show?Lain dari yang diduga, anggota komunitas malah sudah jemu dengan tontonan kekerasan.

Kondisi di atas menimbulkan semacam fenomena "gagah-gagahan". Jika Anda berani melakukan bullying maka Anda gagah berani! Bahkan ada penulis yang terang-terangan bangga karena bullying yang dilakukannya membuatnya serasa menjadi 'selebriti' komunitas. Padahal partisipasi melalui kontribusi tulisannya yang menarik, sebetulnya sudah menarik perhatian. Penulis ingin menarik perhatian pembaca, sah-sah saja. Namun memang kadang orang bisa terjebak, sehingga."menarik perhatian", tergelincir menjadi "mengemis perhatian".

Banyak yang mahfum, tontonan kekerasan di dunia maya, bukan tak mungkin sekedar sandiwara berbungkus cyberbullying. Tak perlu berlama-lama, pengunjung berlalu. Bagaimanapun, banyak pengunjung yang datang bukan hanya untuk bermain-main. Dunia maya sudah cukup semu. Sudah semu, masih ditambah sandiwara pula.

Pengunjung yang tadinya ingin berpartisipasi untuk sesuatu yang bermanfaat, mengurungkan niat. Penyebabnya bukan karena tukang bully, partisipan "tak berdosa" yang hanya memanfaatkan kesempatan yang ditolerir di situs itu. Mereka "tak berdosa" karena memang tanggung jawab kualitas situs, tidak dibebankan ke pundak mereka. (Lain cerita jika penanggung-jawabnya sendiri yang jadi sukarelawan sebagai pelaku pelecehan... hil yang mustahal alias mission impossible). Masalahnya, tak sedikit partisipan merasa sulit mem-posisi-kan diri di tengah bullying antar grup. Ikut berpartisipasi, ujung-ujungnya malah merugikan diri sendiri, sehingga memilih tak ingin ikut terseret lebih jauh. Buntutnya, anggota komunitas satu per satu memilih hengkang.

cyber4aBetulkah cyberbullying adalah semacam “game” yang dinikmati oleh pelaku bullying untuk memperoleh kepuasan, setelah berhasil merusak reputasi pihak yang diserang? Betulkah kepuasan adalah semata-mata tujuan?

Sudah bukan rahasia, “perang via bullying” adalah satu dari sekian strategi untuk mendongkrak jumlah klik. Sehingga jumlah “hits” situs menjadi meningkat. Strategi ini cenderung lebih mementingkan rating dan angka-angka. Soal etika dan norma, sayangnya... menjadi urusan belakangan. Siapa korbannya, menjadi tak begitu penting.

Saya sendiri tidak langsung percaya begitu saja jika ada sosok anonim yang konstan, berulang-ulang melakukan bullying, adalah betul-betul sejahat itu. Bahkan sekarang ini orang sudah menjadi lebih sadar, bahwa tokoh antagonis di balik anonimitas, bisa saja tokoh fiktif yang tidak pernah benar-benar ada. Kadang peran jahatnya dilakukan secara berlebih-lebihan. Walau tak disangkal, tentu ada juga orang yang memang punya kecenderungan berperilaku agresif, baik di dunia maya maupun dunia nyata.

Ketika sosok antagonis ini beraksi, maka rating ikut terdongkrak. Sayangnya ini harus memakan korban. Korbannya bukan saja orang-orang yang disakiti. Tapi juga orang-orang yang tadinya santun dan beretika, tanpa sadar menjadi berubah perangainya, akibat terseret taktik adu-domba. Dan masuk perangkap provokator, ikut ke dalam kelompok. Di sini terlihat bagaimana anggota yang terus duduk di sarang yang sama, dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, tanpa sadar berubah karakternya karena terseret "kultur" di dalam komunitas itu.

Hal di atas memberi gambaran. Yaitu bagaimana komunitas sebetulnya punya kendali sakti di tangannya. Yaitu komunitas diberi pilihan untuk mengarahkan komunitasnya. Pilihan ada di tangan. Pilih kendali A atau kendali B? Mau dibawa ke mana? Ke arah yang sehat dan edukatif? Atau membiarkan anggotanya terdaftar ke "lembaga edukasi" sang provokator?

Yang sering dilupakan, selera dan watak pengelola bisa tercermin pada situs yang dikelolanya. Apakah situs itu konsisten pada norma dan etika, ataukah memberi peluang pada terjadinya kekerasan?

cyber5a

Remote control ada di tangan pengelola. Anggota bisa atau tak bisa berbuat apa-apa,  tergantung pada bagaimana remote control itu digunakan. Dalam hal ini, pelaku cyberbullying tak bisa disalahkan. Mereka hanya memanfaatkan fasilitas dan peluang. Jika fasilitas dan peluang itu tak ada, pelaku cyberbullying tak akan bisa berkutik.

Atas dasar ini, saya tetap berpendapat, jangan pernah menyalahkan para pelaku cyberbullying di komunitas on-line, karena remote control tidak berada di tangan mereka!

Cyberbullying walau hanya di dunia maya, tapi mempengaruhi real life. Bahkan sampai ada yang bunuh diri karena tidak tahan. Tidak semua korban itu bisa berpikir jernih menyikapi bullying. Walau dunia maya, tapi para pribadi yang terlibat di dalamnya ada di dunia nyata, dan bisa saja saling tahu satu sama lain, walau tidak perlu saling kenal. Dan di sinilah letak masalahnya. Batas yang tipis antara dunia maya dan dunia nyata, menjadikan cyberbullying ini terkadang bukan masalah sepele. Saya pernah membaca tentang perkelahian fisik di dunia nyata, akibat cyberbullying di dunia maya.

Belum banyak disadari, bahwa Cyberbullying adalah KRIMINAL. Orang cuma berpikir bahwa kriminaliltas itu adalah perkosaan dan pembunuhan. Cyberbullying? Ahhh... cuma remeh ini. Cuma main-main. Tentu kita tak ingin terjadi salah kaprah menyamakan cyberbullying dengan proses berdemokrasi. Bullying tidak sama dengan berdebat dalam proses berdemokrasi. Bullying is bullying. Debat is debat

Cyberbullying itu kriminal? Lebay, ah! Namun data di bawah ini menunjukkan bahwa unsur kriminalitas dalam cyberbullying, bukanlah hal lebay. Membiarkan cyberbullying, sama saja dengan membiarkan kriminalitas, dan kejam membiarkan korban-korban berjatuhan.

cyber6a

cyber7aSekali lagi, cyberbullying adalah perbuatan kriminal. Jika ini dijadikan permainan demi jumlah klik, membiarkan korbannya jadi bahan olok-olok, ini sama saja mengolok-olok orang yang jadi korban pembunuhan atau pemerkosaan. Memberi toleransi pada kriminalitas, menunjukkan apakah seseorang SADAR HUKUM atau tidak.

Straight to the point. Saya rasa memang cyberbullying tidak bisa terus dibiarkan berlarut-larut di sebuah komunitas on-line. Bukan saja karena memakan korban-korban yang tak perlu. Juga menimbulkan efek distorsi bagi anggotanya. Orang yang tadinya baik-baik, menjadi tumpul cita rasa etika-nya, karena dijejali kekerasan dari hari ke hari. Tadinya manis dan sopan, menjadi kasar tak berperasaan. Contoh ini sudah saya lihat sendiri terjadi pada beberapa teman dunia maya. Padahal kontribusi signifikan komunitas kepada masyarakat, adalah jika anggotanya menjadi lebih baik, lebih beretika daripada sebelumnya. Karena apa artinya IQ tinggi karena banyak membaca dan menulis, tapi tidak beretika?

Parahnya, pembiaran cybercullying di komunitas on-line, malah bisa menjadi BUMERANG bagi pengelola website sendiri, dengan timbulnya sangkaan publik bahwa ini adalah bagian dari strategi marketing. Runyam ‘kan? Moderator dan admin sudah bekerja keras membangun komunitas, masih disangka yang tidak-tidak. Untuk menghindari sudzon kepada pengelola, patut dipertimbangkan adanya ketegasan untuk mengakhiri bullying... daripada pengelola dicurigai terlibat dalam permainan ini. 

Dengan membudayakan penolakan terhadap bullying, maka akan tercipta energi baru di sebuah komunitas. Energi untuk fokus kepada hal yang lebih bermanfaat. Yaitu bagaimana mendiskusikan sebuah materi secara berkualitas, sehat, logis, rasional, berkepala dingin, walau kita semua tak harus sepaham. Siapapun tahu, ini cara lebih terhormat untuk mendongkrak rating.

Jadi? Tunggu apa lagi?

fr-wwWalentina Waluyanti

Nederland, 9 Mei 2013

{backbutton}

Add comment