Catatan Terbuka kepada Menteri Pendidikan Mengenai Penghapusan Skripsi

Bombardir Nyamuk di Pipi Bayi

Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Kalau ada nyamuk yang hinggap di pipi bayi, tidak berarti saya harus melempar bom molotov ke nyamuk yang bertengger di pipi bayi itu. Hanya karena alasan bertumbuhnya jasa pembuatan skripsi yang tidak dibuat oleh mahasiswa yang bersangkutan… maka dimatikanlah sendi-sendi budaya literasi paling mendasar yang harus melekat pada Perguruan Tinggi. Mahasiswa tidak lagi wajib membuat skripsi sebagai syarat menjadi sarjana!

Namanya juga PERGURUAN, masih ditambah pakai kata TINGGI. Warganya mestilah punya kemampuan yang sesuai dengan nama PERGURUAN TINGGI, yaitu mestinya bisa mempertanggung-jawabkan karya ilmiah sebagai syarat menjadi sarjana. Oleh karenanya, banyak pihak terkejut dengan rencana Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti), untuk tidak mewajibkan penulisan skripsi sebagai syarat kelulusan program sarjana (S1).

Tidak tamat SD saja mampu bikin karya ilmiah

Jangan sampai produk pendidikan Indonesia yang modern ini, malah kalah dengan produk pendidikan masa kolonial yang kuno itu. Contohnya, Bung Karno dan Bung Hatta yang belum tamat kuliah saja telah mampu membuat karya-karya tulis secara produktif. Saat masih mahasiswa, belum meraih titel sarjana saja, Sukarno dan Hatta telah menulis berlembar-lembar ide tentang konsep negara yang akan didirikan, puluhan tahun sebelum keduanya mendirikan NKRI.

tips 6 web

Foto: Sukarno telah aktif menulis sejak mahasiswa.

Atau mungkin Bung Karno dan Bung Hatta dianggap contoh yang ketinggian? Baiklah, kita lihat Buya Hamka yang hanya bersekolah sampai kelas 2 SD. Namun ia mampu melahirkan sederet karya-karya ilmiah, termasuk membuat kajian sejarah. Karena karya-karyanya, Hamka kemudian mendapat gelar Doktor Kehormatan. Juga penulis yang tak sempat duduk di SMP, yaitu Pramoedya Ananta Toer. Sederet karya tulisnya sangat dihargai di Belanda. Di Belanda, saya pernah diundang untuk menyaksikan film narasi Pramoedya Ananta Toer tentang Jalan Raya Pos, yaitu tentang jalan Anyer-Panarukan yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels. Karya buku Pramoedya yang dijadikan film oleh sineas Belanda itu, mendeskripisikan dengan dalam dan indah kejadian historis di masa pemerintahan Daendels.

Jadi kalau mereka yang tidak tamat SD saja bisa bikin karya ilmiah, sulit dipercaya jika Perguruan Tinggi sendiri bikin aturan, sarjana S1 tidak usah bikin skripsi sebagai syarat kelulusan. Secara tidak langsung, Perguruan Tinggi mengakui bahwa bikin skripsi itu memang sulit, dan bagi yang malas, boleh-boleh saja tidak membuatnya. Padahal Perguruan Tinggi diharapkan memotivasi bahwa bikin skripsi itu tidak harus sulit, dan perilaku malas dalam membuat karya ilmiah seharusnya diberantas. Kalau mau jadi sarjana, ya syaratnya tidak boleh malas.

Penulisan skripsi sudah merupakan bagian tak terpisahkan, satu paket melekat pada porosnya, yaitu Tridharma Pendidikan Tinggi. Tridharma itu adalah pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tidak mungkin ada satu bagian yang bisa dilepas begitu saja dari porosnya. Pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, adalah satu kesatuan, yang keseluruhannya mengerucut pada kemampuan menganalisis melalui penulisan karya tulis ilmiah (skripsi). Tridharma itu akan terasa pincang tanpa pembuktian kemampuan menganalisis melalui karya tulis ilmiah. Disayangkan apabila ada pembiaran terhadap kepincangan ini, "Asal sudah belajar, sudah meneliti, dan sudah mengabdi, ya sudah... tidak usah bikin skripsi."

Bagaimana mungkin PERGURUAN TINGGI,ramalannasib 2 begitu mudah menyerah pada kesulitan untuk tidak usah membuat skripsi sebagai syarat kelulusan? Kalau ada kasus skripsi palsu, bertumbuhnya jasa-jasa pembuatan skripsi, bukankah ada pasal-pasal pidana yang bisa menindak itu semua? Dan bukannya “main hakim sendiri” dengan memborbardir nyamuk di pipi bayi yang berakibat mati juga bayi itu?

Banyak orang tidak percaya. Bagaimana mungkin Badan Pendidikan yang seharusnya mendorong bertumbuhnya budaya literasi, malah akan menelurkan kebijakan yang justru semakin menjauhkan “warga didik”-nya dari budaya literasi. Yakni tidak mewajibkan penulisan skripsi sebagai syarat kelulusan program sarjana (S1)?

Sarjana tanpa keterampilan menyusun dan mempertanggungjawabkan karya ilmiah adalah absurd

Justru calon sarjana dididik, tujuannya antara lain agar Perguruan Tinggi menjadi tempat mereka belajar bagaimana  cara menyusun sekaligus mempertanggung-jawabkan karya ilmiah (skripsi). Bukankah mengajar adalah tugas Perguruan Tinggi? Kalau mahasiswa seharusnya diajarkan satu hal mendasar, tetapi "tempat belajar" itu malah tidak mengajarkan bagaimana caranya... ini sama dengan contoh berikut. Saya membuat janji dengan dokter untuk mengobati demam saya. Tetapi kemudian dokter membatalkan janji untuk bertemu, dengan alasan saya sedang sakit demam. Absurd 'kan?

Program S1 tanpa keterampilan membuat skripsi adalah absurd. Sejak tahun pertama duduk di Perguruan Tinggi seharusnya budaya "SATU PAKET" yaitu menulis, membaca, meneliti sudah harus digalakkan kepada mahasiswa. Banyak ilmuwan di Indonesia yang bisa membuat gebrakan untuk membuat methode baru, agar bidang tulis-menulis/meneliti dapat menjadi mata kuliah lebih menarik dan menyenangkan, lebih daripada yang sudah-sudah.

Methode "penulisan karya ilmiah" sebaiknya dikemas lebih menarik. Apabila dibentuk tim yang tepat untuk mengemas methode tadi, sebetulnya tidak sulit. Apalagi orang Indonesia itu banyak yang pandai-pandai dan kreatif... tinggal menunggu dukungan "iklim"-nya saja. Jika iklim penulisan karya ilmiah sudah mulai dibudayakan pada tahun pertama kuliah, maka mahasiswa tidak perlu lagi menganggap pembuatan skripsi sebagai “momok”. Justru ini mestinya dianggap sebagai tantangan yang harus ditaklukkan. Yaitu bagaimana membuat mahasiswa bangga, bahwa mereka juga mampu menelurkan karya ilmiah. YES! YOU CAN! Bukannya menyerah begitu saja... mengelus-elus mahasiswa, "Ya sudahlah nak, kalau sulit dan malas, kamu tidak perlu bikin skripsi ya, nak..." Padahal mereka itu calon pempimpin masa depan yang tidak boleh mudah jadi lembek. Bukankah menaklukkan kesulitan-kesulitan juga merupakan skill yang harus dimiliki setiap insan akademik?

Tanpa bermaksud membanding-bandingkan, hanya contoh ini yang bisa saya berikan, karena contoh ini dekat dengan tempat saya tinggal. Di Belanda, bahkan CALON SENIMAN PROFESIONAL yang akan mendaftar ke Akademi Seni pun, disyaratkan harus membuat karya ilmiah dan langsung mempresentasikan di depan penguji. Padahal mereka ini, diterima di Akademi tersebut pun belum tentu, dan meraih ijazah S1 pun masih jauuuh sekali. Ini artinya pihak Akademi mau kerja keras untuk menyeleksi secara ketat. Bandingkan dengan kebijakan penghapusan skripsi, yang terkesan pihak Universitas malah menyuburkan mental “MANJAISME”, tidak mau repot… repot sedikit ya sudah menyerah begitu saja. Sudahlah, tidak usah bikin skripsi, daripada repot.

SuratTerbuka002

Foto: Sekolah Tinggi Seni, Utrecht Belanda mewajibkan calon mahasiswa membuat karya ilmiah sekaligus mempresentasikannya, sebagai syarat untuk diterima di kampus tersebut. (Sumber foto: duic.nl)

Test masuk Akademi Seni: Harus bikin karya ilmiah dan mempertanggungjawabkan di depan penguji

Di Sekolah Tinggi Seni di Utrecht, Belanda malah mengganti ujian test masuk Akademi, dengan mensyaratkan CALON MAHASISWA (belum jadi mahasiswa) wajib membuat karya tulis, kemudian mempresentasikannya. Apabila CALON mahasiswa ini tidak bisa membuat karya ilmiah dan tidak sanggup mempresentasikan karyanya maka ia tidak akan diterima sebagai mahasiswa. Tentu tidak semua Universitas harus menerapkan cara ini. Tetapi sistem penerimaan mahasiswa dari Akademi Seni di Utrecht itu, menunjukkan kesadaran pihak Akademi akan pentingnya merekrut mahasiswa yang memiliki "spirit" cara berpikir ilmiah melalui karya tulis.

Padahal calon-calon mahasiswa itu nantinya akan berprofesi sebagai SENIMAN! Seniman yang sering dengan tidak adil dianggap “CUMA” jika dibanding ilmuwan, mereka pun diwajibkan oleh Akademi Seni: yaitu harus punya tradisi ilmiah, menulis ilmiah, berpikir ilmiah, dan mempresentasikan secara ilmiah. Mental sarjana sudah dituntut dari calon mahasiswa, mulai sejak dini pada saat test masuk. Dan ini semua sudah dimulai bahkan sebelum mereka diterima di Akademi tersebut!

Ataukah budaya literasi, menulis karya ilmiah bagi sarjana S1 di Indonesia, tidak lagi dianggap penting? Ini terasa fenomenal. Bagaimanapun juga, kemampuan menganalisis melalui penyusunan skripsi, merupakan kemampuan yang sangat mendasar dalam dunia ilmu pengetahuan – yang nota bene tak mungkin dipisahkan dari dunia Perguruan Tinggi. Bukankah lembaga pendidikan seharusnya menstimulasi suburnya budaya menulis, membaca, meneliti, menganalisis, dan menuangkannya ke dalam karya ilmiah... dan bukan malah mendukung warga Pendididikan Tinggi untuk menyerah pada kesulitan, tanpa perlu membuat skripsi.

Miris! Abad ke-14, ada karya literasi dari Indonesia yang kini mendunia, abad ke-21 sarjana S1 dijauhkan dari tradisi menulis ilmiah

Sebetulnya target yang disasar dari pembuatan skripsi, bukan semata-mata pada skripsi itu saja. Tetapi dalam proses menyusun skripsi, mahasiswa dilatih untuk membangun cara berpikir ilmiah dengan menuangkannya melalui karya tulis.

Cara berpikir ilmiah tidak cukup hanya dengan hanya mengawang-awang sebagai ide, atau melakukan aksi belaka, tetapi ide itu harus juga dituliskan, diabstraksikan, dianalisis dengan argumen-argumen, sekaligus dipertanggungjawabkan. Mungkin pada saat membuat skripsi, mahasiswa itu belum menyadari apa manfaat membuat skripsi. Tetapi seiring perkembangan waktu, ia akan menyadari bahwa tradisi berpikir ilmiah melalui karya tulis, akan membentuk cara berpikir yang terstruktur. Juga dapat melatih kemampuan menganalisis secara kritis. Ini merupakan modal dasar yang sangat berguna bagi sarjana bidang apapun, di mana pun kelak ia berbakti. Kalaupun dikhawatirkan akan terjadi pemalsuan dan plagiasi dalam pembuatan skripsi, maka sanksi tegas harus ditimpakan kepada pelakunya. Plagiasi dan pemalsuan jelas merupakan kejahatan. Dan setiap kejahatan harus dikenakan hukuman.

plagiarism

Sumber foto: cartoon

Melalui karya ilmiah, sarjana tersebut sudah meninggalkan jejak literasi yang diharapkan akan berguna bagi masyarakat, bukan hanya sekarang tapi juga kelak kemudian hari. Karena jejak literasi akan selalu abadi. Bukankah ini esensi dari maksud dicetaknya sarjana?

Tidak peduli S1, S2, S3, yang namanya sarjana ya tetap sarjana. Membolehkan sarjana S1 tidak perlu membuat skripsi, terkesan melupakan esensi dari maksud ditelurkannya sarjana. Ada kesan melecehkan kemampuan sarjana S1, "Ah, cuma S1 ini, sudahlah mereka tidak perlu bikin skripsi." Seakan skripsi itu pekerjaan maha sulit, yang ketinggian buat level S1. Akibatnya akan terjadi penurunan kualitas terhadap pemahaman  makna kesarjanaan. Akan timbul stigma tertentu kepada sarjana S1, dikarenakan mereka dipandang tidak wajib "menyingsingkan lengan baju" untuk berkutat dengan karya ilmiah.

Dengan meniadakan skripsi sebagai syarat kelulusan, maka ini ibarat perlahan-lahan mundur ke belakang. Padahal di tengah persaingan dunia, bukankah seharusnya sarjana Indonesia maju ke depan, bahkan meski mereka itu S1 sekalipun?

Sungguh ironis jika mengingat kejayaan budaya literasi Indonesia yang pernah gemilang pada masa lalu. Jangan lupa, Indonesia telah menyumbangkan kepada dunia internasional, yaitu karya literasi yang tercatat dalam sejarah dunia. Yaitu melalui karya La Galigo, yang hidup di masa kejayaan Kerajaan Luwuk (sekitar abad ke14), kerajaan tertua di Sulawesi Selatan. Manuskrip asli La Galigo sampai saat ini  tersimpan di Leiden, Belanda. Tulisan La Galigo ini setebal 6000 halaman, ditulis dalam huruf lontarak, aksara yang biasa digunakan suku Bugis, Makassar, Luwuk di Sulawesi Selatan. Epik La Galigo disebut-sebut sebagai epik terpanjang di dunia. Di dalamnya antara lain terkuak bahwa cara berdemokrasi dalam memilih Raja ternyata telah diterapkan pada Kerajaan Luwuk.

SuratTerbuka003

Foto: Karya tulis La Galigo (Sumber: Wikipedia)

Pada zaman kuliah dahulu, tak pernah terbayangkan bahwa kami akan bisa meraih titel kesarjanaan, tanpa menghasilkan karya skripsi. Dan sekarang? Disayangkan, institusi Perguruan Tinggi yang bertanggungjawab mengembangkan ilmu pengetahuan (diharapkan dapat membantu menyuburkan budaya menulis ilmiah), malah “cuci tangan” dengan solusi yang kontradiktif dengan fungsinya sebagai Badan Pendidikan. Yaitu meniadakan skripsi sebagai syarat kelulusan. Yang salah bukan mahasiswanya. Mahasiswanya ya senang-senang saja. Kalau  diberi pilihan mudah, mengapa mereka harus memilih yang sulit? Menurut saya, ini sepenuhnya menjadi tanggung  jawab lembaga Pendidikan Tinggi yang tidak sepatutnya lepas tangan begitu saja.

Jangan disalahkan, jika sekarang ini politisi-politisi yang maju sebagai kandidat pemimpin bangsa, jika ditanya apa visi dan misinya untuk bangsa ini, terkesan tak begitu ambil pusing. Visi dan misi itu belum sempat disusun, malah ada yang menjawab enteng, “Ah, itu kan gampang, ada tim profesional khusus yang akan menyusunnya, dan mereka dibayar untuk menyusun konsep itu.” (Sungguh jauh berbeda dengan Sukarno-Hatta yang sejak mahasiswa telah mampu menyusun visi misinya sendiri). Jika hal ini mulai dianggap normal, maka ini seharusnya menjadi "alarm" bagi  dunia pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi, untuk mengadakan pembenahan.*** (Penulis: Walentina Waluyanti)

fr wwWalentina Waluyanti, penulis buku "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen"   

Nederland, 23 Mei 2015

{backbutton}

Add comment