Cara Memulai Tulisan

Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti –  Nederland

Pak Rekso mengirim surat pada saya, menanyakan bagaimana cara memulai tulisan. Berikut ini kutipannya:

Mbak Walentina Waluyanti,
….. Saya sangaaat menyukai tulisan mbak Walentina Waluyanti, mengalir gitu kaya tulisannya Dahlan Iskan, semua tulisan-tulisannya yang ada di Kolom Kita, rata-rata tulisannya bagus, inspiratif, nakal, menggelitik, saya suka membaca dan pengin sekali bisa menulis seperti mbak WW, gimana yo mbak cara memulainya? Mohon maaf apabila email saya mengganggu kesibukan mbak WW, matur nuwun.

Bagaimana memulai tulisan? Pertanyaan ini saja sudah sinyal adanya motivasi. Ada modal awal untuk memulai tulisan. Umumnya orang menulis, karena ada sesuatu yang ingin disampaikan. Kalau ide sudah di kepala, tidak sulit memulainya. Tapi ada juga penulis yang sangat ingin menulis, walau ide sedang mandeg. Bagaimana cara memulainya?

writer

Jawaban klise sudah sering kita dengar. Yaitu banyak membaca, dalam arti harfiah, maupun arti kiasan. Mengamati situasi, kejadian, peristiwa, dan lainnya. Meski nasihat ini klise, tapi jangan diabaikan. Semua penulis termasuk saya, jangan sampai mengabaikan nasihat klise ini. Banyak membaca, tujuannya tidak muluk-muluk, selain untuk memperluas wawasan. Penulis tanpa wawasan, ibarat orang tuna netra yang berjalan tanpa tongkat.

Mengapa wawasan perlu? Soalnya wawasan bisa membantu mempertajam pengamatan. Pengamatan tajam membuat orang jadi kritis. Penilaian kritis menimbulkan reaksi. Reaksi akan memancing opini. Dan opini akan memancing minat untuk curhat. Jika curhat belum diutarakan, ini tersimpan jadi unek-unek. Dan yang namanya unek-unek, bisa bikin plong kalau diobrolkan dengan seseorang. Terjadi dialog. Pendapat saya A. Lawan bicara, pendapatnya B. Lalu terjadi perang argumen. Debat menjadi seru.

Kalau opini tadi bisa diobrolkan dengan seseorang, mengapa tidak coba menuliskannya? Bukankah ini sudah langkah awal untuk memulai tulisan? Topiknya tidak harus tentang hal-hal baru dan unik. Bisa juga hal biasa, dan sering dibahas. Namun mungkin saja bisa disajikan dengan cara unik dan 'fresh'.

Dengan menajamkan panca indra, hal sederhana bisa jadi menarik. Cara membuatnya menjadi menarik? Tak ada jalan lain selain memperbanyak 'jam terbang' menulis. Sampai akhirnya penulis menemukan selera dan gaya estetis-nya sendiri.

Itu tadi jawaban klise-nya. Jawaban tidak klise-nya, ada juga. Yaitu pakai jurus 'ilmu kepepet'. Kalau pun tidak sedang kepepet, 'ilmu kepepet' ini menarik juga dilirik.

Bandingkan kedua 'tipe kepepet' berikut ini. Orang yang satu menulis, karena kebutuhan jiwa. Kalau tidak menulis, maka jiwanya 'kelaparan'. Sedang yang satu lagi, akan betul-betul kelaparan dalam arti sebenarnya, kalau tidak menulis. Soalnya memang penghasilannya ya dari menulis itu. Kalau tidak menulis, bisa dipecat oleh si bos.

Kelihatannya lebih kepepet mana? Orang pertama atau orang kedua? Jawabnya? Lebih kepepet bagi orang yang menulis karena itu bagian dari jiwanya, sekaligus pekerjannya. Sehingga kalau tidak menulis, jiwa lapar, perut lapar, ditambah kemungkinan dipecat. Tipe penulis semacam ini, saking kepepetnya, apa saja bisa dijadikan tulisan. Arswendo Atmowiloto melihat karet gelang saja, langsung karet gelang itu 'ditelannya' sebagai ide tulisan. Dia tidak duduk diam berpikir-pikir apa yang mau ditulisnya tentang karet gelang itu. Pekerjaannya membuat dia dikejar waktu, dituntut kreatif dan terus produktif menulis. Sebagai pengganti berpikir-pikir, dia langsung mengetik saja apa yang ada di pikirannya tentang karet gelang.

Orang yang dituntut wajib melahirkan ide, tidak punya pilihan. Tidak bisa tidak. Ide itu harus ada. Ia berada di situasi kepepet. Membuat karya plagiat? Ini terlalu mudah bagi penulis sejati. Godaan ini sama saja menghina ego-nya. Bahkan bagaimanapun kepepetnya situasi, ia lebih memilih tantangan. Soalnya tantangan memberi kepuasan, sekaligus kebanggaan. Apalagi kalau tantangan itu berhasil ditaklukkan. Saat kepepet, orang tidak punya waktu untuk mencari ide. Maka inspirasi harus diciptakan saat itu juga.

'Ilmu kepepet' di atas membuktikan sesuatu. Yaitu selama kemauan dan motivasi menulis ada, maka ide akan selalu ada, dan bisa diadakan. Kadang kita meremehkan pikiran sendiri. Membiarkannya mengawang-awang. Dan menguap begitu saja. Padahal kalau pikiran itu langsung ditangkap dan diketik? Hasilnya di luar dugaan. Bisa terangkai menjadi deretan kalimat.

Pada saat mengetik, otak seakan punya mekanismenya sendiri. Menakjubkan. Otak manusia secara otomatis bisa menggembalakan pikiran-pikiran. Hingga sebuah ide akan terolah, tersusun sesuai yang diinginkan, atau malah tidak diinginkan. Di sini asyiknya. Plot bisa mengalir ke arah tak terduga. Pokoknya ketik saja. Just do it! Menarik! Penulis bisa kaget sendiri mengikuti alur kata yang dirangkainya. Kejutan demi kejutan mengalir bermunculan.

wwwwwh

Dalam proses menulis, semua unsur kepenulisan itu kadang hadir secara spontan. Ada jenis tulisan yang memerlukan unsur 5W+1H (who, what, where, when, why, how). Tapi ada juga jenis tulisan yang tidak perlu dan tidak mau tunduk pada teori apapun. Namun kalaupun sebuah tulisan harus tunduk pada teori 5W + 1H, maka tidak perlu merasa terbebani. Karena unsur ini kadang berkembang sendiri. Tanpa disengaja. Setelah tulisan itu selesai, dan salah satu unsur tadi tidak ada? Biasanya penulis akan menyadari setelah membacanya sekali lagi.

Menulis bisa diibaratkan dialog. Bisa juga monolog. Yang ngomong bukan cuma 'saya'. Bisa juga 'dia' dan 'mereka'. Panca indra mengolah semuanya. Itu semua masih abstrak. Saya membentuknya menjadi berwujud. Menjadi opini. Menjadi tulisan. Menjadi kesimpulan. Menjadi perdebatan. Menjadi solusi. Atau malah tidak memberi solusi. Mengambang. Karena penulisnya memang inginnya begitu.

Proses kreatif memulai ide tulisan, bisa melalui aneka gaya. Tidak semua orang menulis dengan pretensi ingin berbagi hal bermanfaat. Tentang bermanfaat dan tidak bermanfaat, kadang relatif ukurannya. Jika seseorang bisa menjadi kreatif, justru karena keegoisannya, ya sah-sah saja. Gaya apapun, setiap penulis tentu memperhitungkan risiko dan konsekuensi atas pilihannya.

Setelah tulisan selesai, akan terlihat bagian mana perlu dipoles. Oooh, ini kurang. Atau malah berlebihan? Seperti masakan, bumbu pun dibubuhi. Dalam proporsi sewajarnya. Walau penulisnya humoris, tapi ada saat menahan diri. Bumbu lelucon bisa menyegarkan. Namun tak perlu dipaksakan, kalau konteksnya tidak pas.

Kembali ke pertanyaan, 'Bagaimana cara memulai tulisan?' Saya hanya bisa menjawab sesuai kondisi saya. Belum tentu cocok buat penulis lain. Yaitu saya percaya, ide bukanlah sesuatu yang harus ditunggu. Jika untuk menulis, saya harus menunggu ide, maka saya tidak akan pernah bisa membuat tulisan. Saya menulis, karena mau. Karena itu, 'ide' itu harus saya adakan. Bukan sebaliknya. Bukan saya tidak mau menulis, karena ide tidak ada.

Kertas di depan saya kosong. Penyebabnya bukan karena tidak ada ide. Tapi karena saya belum menuliskan satu kata pun di atasnya. Logis. Kertas boleh kosong. Tapi saya tidak pernah percaya kepala saya kosong ide. Sejak pagi tadi ada berapa peristiwa yang terjadi? Belum kemarin. Belum lagi kalau mundur ke masa lalu. Kalau dirangkai seluruhnya menjadi sekalung ide, maka leher saya terlalu mungil untuk dilingkari kalung segede itu.

Inilah saat paling mencekam dalam proses menulis. Yaitu keberanian mengawali kata. Mungkin saja kata itu terlalu remeh, ngawur, bodoh. Tapi saya tidak peduli. Tembakan pertama harus diletuskan. DOR!!!

Sesudah 'dor!', kertas di depan saya, tetap saja masih kosong. Keberanian mesti dikumpulkan. Lalu digelar di meja. Plak! Untuk membuat kertas itu tidak kosong, saya harus memulai menulis. Satu kata? Satu kalimat?

Begitu satu kata sudah tertulis, pikiran seperti diminyaki. Semua syaraf ikut terpancing, memberi kontribusi kata demi kata. Teori menulis tidak perlu jadi beban. Sebagaimana saya tidak peduli menuliskan kata awalnya, hasil akhirnya juga tidak saya kuatirkan. Toh setelah selesai, semuanya masih bisa dipoles sana-sini. Jika perlu dirombak. Diramu, dilengkapi. Perlukah tulisan itu didukung data valid? Tidak perlu? Nah, akhirnya selesai juga.

pioneerwom1

Painting by Harvey Dunn

Dengan menulis, saya seperti menemukan padang luas. Tempat pikiran bebas berlarian. Menjelajahi ruang demi ruang. Melintasi lorong waktu. Menyelami ragam karakter. Penjelajahan yang mengasyikkan. Membuat hidup tidak menjemukan.

Menulis itu nikmat. Saya resapi nikmatnya menjadi orang yang 'kepepet' menulis, seperti yang saya sebutkan di atas. Menulis itu ibarat memunguti satu demi satu kepingan berharga. Keping-keping puzzle pikiran, ego, opini, logika, dan aneka serpihan. Liar berhamburan dari kepala. Dengan telaten saya menyusunnya kembali. Lalu menghiasi dan membingkainya. Untuk dipersembahkan pada pembaca. *** (Penulis: Walentina Wauyanti)

Baca juga, silakan klik:

Kompas TV Bertamu ke Rumahku

Tips Menulis ala Walentina Waluyanti

fr wwWalentina Waluyanti

Author of book Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen

About Me

{backbutton}

Add comment