Bukan Rendra
Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Rendra sangat jago mengolah kritik menjadi karya seni. Ada penggalan syairnya yang puitis tapi kritis, “Penalaran amarah yang salah, mendorong rakyat terpecah belah. Negara tidak mungkin kembali diutuhkan tanpa rakyatnya dimanusiakan. Dan manusia tak mungkin menjadi manusia tanpa dihidupkan hati nuraninya” (cukilan dari puisi Rendra, “Kesaksian Akhir Abad”).
Dalam sebuah wawancara, Rendra berkata, “Coba ada tentara yang coba-coba mengritik pemerintah demi membela rakyatnya dan bangsanya. Ya susah, tidak bisa naik pangkat. Akibatnya tentara hanya jadi bhayangkara cukong dan pemerintah”.
Itu tadi kritik Rendra yang sudah punya nama besar. Bagaimana kalau Anda bukan Rendra, dan “cuma” penulis Citizen Journalism yang coba menulis kritik? Ke laut atau mungkin ke empang saja?
Orang menulis itu motivasinya macam-macam. Antara lain, karena memang sudah bawaan orok. Kalau sudah bakatnya menulis, ya mau dilarang juga dia tetap akan menulis. Penulis citizen journalism umumnya menulis secara suka rela. Sudah menulis suka rela, tak jarang mereka itu masih kena risiko dicurigai. Dari dicurigai mau ngetop, mau menunjukkan dirinya baik, dan seterusnya. Kalau sudah suka rela menulis, masih juga dicurigai, tak heran beberapa rekan penulis citizen journalism malah jadi malas menulis, berguguran satu demi satu.
Soal ngetop, itu cuma “risiko jabatan” saja. Jangan salahkan penulisnya, kalau dikenal orang karena tulisannya. Cara mengekspresikan tulisan itu bisa macam-macam. Kadang berisi kekaguman tentang sesuatu. Kadang berisi kecaman, protes, dan kritik. Kecaman melalui puisi karya Linda Djalil, mantan wartawan dan mantan model cantik itu, ternyata berhasil menyeret Marzuki Alie Ketua DPR RI “curhat” tentang keseleo lidahnya terkait tsunami di Mentawai. Marzuki Alie menggunakan hak jawabnya, minta maaf dan menjelaskan masalah sebenarnya kepada para jurnalis warga di sebuah kolom ("Kompasiana", Kompas.com. moderator Pepih Nugraha).
Masalahnya, jika penulis mulai membiarkan dirinya terpasung oleh stigma. Misalnya, takut menulis artikel pujian, nanti disangka cari muka. Atau...ah, ogah mengkritik, nanti dituduh menggurui.
Stigma seperti ini bukannya tidak disadari banyak penulis. Namun meski sudah tahu, banyak penulis yang enggan dipasung oleh berbagai stigma subyektif seperti itu. Susah, kalau setiap mau menulis, lalu dimulai dengan,“Ah, nanti apa kata mereka”. Ini artinya penulis sudah mulai memenjara pikiran-pikirannya sendiri.
Kita sering berbuat, berkata karena ingin terlihat manis dan baik menurut orang. Padahal menjadi manis dan baik menurut ukuran orang lain, kadang berisiko memacetkan opini. Termasuk membiarkan diri menjadi obyek, bukan subyek. Mau omong saja, mesti berpikir 1000 kali, “Kritiklah dirimu sendiri, sebelum mengkritik orang lain”.
Uraian tulisan kritik terhadap diri sendiri, apa pentingnya itu buat orang lain? Lalu kalau toh sudah selesai mengkritik diri sendiri, kenapa juga mesti rese mengkritik orang lain tanpa alasan?
Kritik yang ditujukan pada orang lain, tentulah karena “orang lain” itu bukan sembarang “orang lain”. Mengkritik orang, sama tidak enaknya dengan menerima kritik. Walau banyak orang berusaha sportif dan bilang, bersedia dikritik sekejam apapun...tapi kenyataannya banyak yang tetap saja sulit menerima, saat kritik itu mesti ditelan. Buktinya? Coba saja kritik seseorang. Lihat reaksinya.
Kadang sulit dibedakan, antara kritik terhadap sebuah tatanan dan kritik terhadap pribadi. Kritik terhadap pribadi, hanyalah karena kebetulan kebijakan/perilaku pribadi itu bisa memengaruhi sebuah tatanan. Target kritik itu bukan pada pribadi tersebut, tapi pada dampak yang lebih lanjut, yaitu sebuah tatanan sosial.
Tiap penulis pastilah punya kepedulian, sesuai minat masing-masing. Terhadap sesuatu yang baik, tak ada salahnya memuji. Pujian bisa berdampak positif. Tapi pujian juga bisa jadi racun. Bisa membuat orang takabur dan terlena. Maka kritik kadang lebih berdaya guna daripada pujian. Tentu dengan argumentasi masing-masing. Isi kepala orang kan tidak harus sama. Ini tidak berarti bahwa para penulis itu tidak bisa melihat sebuah sisi positif. Menyampaikan kritik, saran, opini adalah hak setiap warga. Terlebih jika materi kritikan itu menyangkut sebuah tatanan yang memengaruhi sistem hidup bermasyarakat. Seperti pemikiran-pemikiran Rendra.
Stigma lain yang bisa memasung kreativitas, adalah kalimat “jangan menggurui”. Padahal soal menggurui atau tidak, adalah penilaian subyektif. Penulis umumnya sangat senang menerima pujian “tanpa kesan menggurui”....ehhhhh legaaaa. Maklum, nyaris tak ada pembaca yang rela bilang “Guruilah saya”. Apalagi pembaca jaman sekarang kan pinter-pinter, malah banyak yang lebih pinter dari penulisnya.
Diakui atau tidak, setiap penulis itu punya kecenderungan menggurui (dalam arti positif). Pada saat penulis mulai menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan, sesungguhnya ada pesan yang ingin disampaikan. Bagaimanapun cara yang digunakan, pasti ada “pesan” di baliknya. Baik itu secara halus maupun terang-terangan. Mau dimaknai negatif? Itu hak pembaca.
Ada penulis yang panjang lebar bercerita tentang pengalamannya bertemu orang miskin. Lalu disimpulkannya, melihat orang miskin baginya memberi pelajaran tentang arti hidup. Katanya, ini lebih baik daripada membaca tulisan menggurui. Padahal sebetulnya pada saat penulis tersebut mengatakan “lebih baik daripada tulisan menggurui”, bukankah tulisannya itu sendiri bisa saja dicurigai sebagai tulisan “menggurui”? Ini kalau mau main curiga-curigaan. Menyusun tulisan resep masakan beserta fotonya, bukan perkara gampang. Penulis resepnya pasti tidak berniat menggurui. Tapi kalau dari semula penulisnya sudah tidak disukai, maka penulis resep itu pun kena cap mau menggurui. Mau sok mengajari membuat tempe bacem. Repot.
Pada saat seorang penulis berkata,”koreksi dirimu sebelum mengoreksi orang”, bukankah penulis itu sebetulnya telah mengajari sesuatu? Pada saat seorang penulis berkata, “Kritik dirimu sebelum kritik orang lain”, bukankah ini juga sudak kritik?
Salah satu konsekuensi media adalah menampung saran, opini dan pikiran rakyat, tentang apa saja. Tentu sepanjang tak melanggar aturan di ranah publik. Kalau mau beropini, mengeluarkan saran, lalu dianggap menggurui...ya kapan bisa mengeluarkan pikiran. Pernah ada jurnalis yang berkata, “Banyak pembaca yang menasehati dan menggurui ini itu, padahal kami wartawan berpengalaman”. Jika memang benar media itu berjiwa besar, mau sportif menerima konsekuensi, bahwa salah satu peran media adalah “corong” suara hati nurani rakyat....maka media tidak perlu menyudutkan konsumennya.
Jika penulis mulai merasa tertekan atas provokasi “kritik dan saran Anda sungguh menggurui”, maka yang salah bukan provokatornya. Yang salah penulisnya. Karena membiarkan diri jadi penulis dalam pasungan. Kalau gaya Anda memang “keguru-guruan”, lha masak harus dipaksa untuk bergaya “kemurid-muridan”? Menulis dalam gaya sendiri, adalah cara terbaik dalam menyusun tulisan. Soal gayanya kayak guru, kayak murid, kayak kepala sekolah, pesuruh sekolah...ini hanya masalah selera yang menilai saja.
Saya percaya masih banyak penulis, yang sebelum menulis, senantiasa mengingatkan diri bahwa di luar sana ada beraneka makhluk yang “LEBIH”. Di jaman serba gombal ini, nyaris tak ada lagi yang percaya, kalau para penulis sudah mulai bicara tentang “niat baik” dalam kritik. Karena itu penulis kalau sudah mengkritik sebaiknya PeDe saja, tidak perlu pakai embel-embel alasan manis-manis.
Disangkal atau tidak, nyaris semua penulis adalah KRITIKUS, terlebih kalau mereka menuangkan opininya. Mulai dari cara yang paling halus sampai cara yang paling tajam. Penulis yang tulisannya tentang mengkritik “orang yang suka kritik”, bukankah penulis itu sendiri sudah mengkritik?
Rendra yang rajin mengkritik Orde Baru, Bung Karno yang rajin mengkritik penjajah melalui tulisannya, tidak akan diributkan orang, karena mereka punya nama besar.
Sedangkan jika kritik itu datang dari para jurnalis warga ? Tulisan mereka akan dikomentari, “Halaah sok baik, diri sendiri aja nggak beres, mau sok kritik”.
Yang jelas, penulis yang menyadari dirinya bajingan sejati, masih lebih baik daripada penulis yang merasa dirinya penulis sejati. Bajingan sejati tidak akan menularkan kebajinganan itu kepada orang lain melalui tulisannya. Sedangkan penulis sejati, sering khilaf terlalu bombastis, hingga terkesan kurang membumi buat para bajingan.
Kalau mau hidup tentram damai, jangan pernah kritik. Syukur-syukur kalau bisa bertemu orang yang bisa dengan jiwa besar mau menerima kritik. Dengan menyadari bahwa tiap orang pada dasarnya narsis, mungkin akan lebih mudah menjalin pertemanan, karena puja-puji membuat orang mendadak menjadi ramah. Dengan memuji-muji, Anda senang, dia senang, kita senang, semua senang
Jika ingin memberi saran/kritik, maka sebaiknya Anda harus memberi pada saat diminta saja? Mungkin ada benarnya. Tapi ini tidak bisa diberlakukan begitu saja untuk semua bidang. Lebih susah lagi kalau syarat beropini kritis itu adalah mesti ngetop dulu seperti Rendra
Semoga di masa depan, hak jurnalisme warga tak terkesan dibatasi pada masalah-masalah reportase. Sedangkan tulisan opini/kritik masih dipandang wilayah jurnalis profesional dan budayawan beken.
Media publik adalah institusi yang “menyewa” wilayah publik. Di wilayahnya sendiri, publik berhak memberi sarannya, diminta atau tidak diminta, karena wilayah publik adalah milik bersama.
Walentina Waluyanti
Nederland, 29 Oktober 2010
{backbutton}