Budaya Membaca Rendah, Copas Meningkat
Penulis: copyright @ Walentina Waluyanti de Jonge – Nederland
Arti harafiah dari copy paste, kadang mengaburkan esensi yang menjadi fokus sebenarnya, yaitu plagiasi. Karenanya jika menggunakan istilah copy paste, orang lalu pikir so what? Padahal masalah plagiasi lebih daripada sekadar copy paste. Plagiasi juga menyangkut masalah mentalitas. Dan kerap tak disadari, plagiasi juga menyangkut masalah pelanggaran hukum.
Yang saya maksud plagiat di sini, adalah menjiplak IDE-IDE dan PIKIRAN dari karya orang lain, lalu mengklaimnya dan mengakuinya sebagai IDE-IDE dan KARYA CIPTA PIKIRAN dari si plagiator.
Sumber foto: picasa
Kadang-kadang ‘kesombongan’ (dalam arti positif) itu penting. Sehingga penulis yang menghargai kemampuan dirinya, akan merasa betapa rendahnya dirinya jika menjiplak mentah-mentah karya orang lain. Ia tidak akan tergoda merendahkan harga dirinya dengan melakukan plagiat. Kalaupun menulis itu adalah pekerjaan susah, ia akan menaklukkan kesulitan itu, dan ia yakin bahwa ia bisa! Kalau perlu keyakinannya itu dtegaskannya sambil menepuk dada. Ini adalah kesombongan yang positif. Menjiplak itu baginya sama dengan tipisnya rasa adab, dan ini artinya memalukan.
Menjiplak mentah-mentah karya orang lain (dengan membuang nama penulisnya), sebetulnya tidak akan dilakukan jika pelakunya sadar betapa berharganya melatih kemampuan menulis. Bahkan saat baru saja melakukan proses melatih diri, itu pun sudah merupakan proses berharga. Karena menulis itu adalah proses merenung, ‘berkelahi’ dengan pikiran-pikiran. Dan ketika Anda sudah memulainya, maka di sinilah proses pengendapan menuju kematangan dalam menulis itu dimulai. Proses ini akan sangat berharga di kemudian hari, bukan saja pada saat menghasilkan karya tulisan. Juga penerapannya akan sangat berharga hampir dalam segala aspek kehidupan.
Perlahan-lahan, tahap demi tahap, orang yang terus tekun berlatih menulis, akan menemukan proses kontemplatif yang akan sangat berguna dalam proses menulis. Ini kedengaran lebay, namun sesungguhnya tidak berlebihan. Dan latihan untuk menuju ini bisa dilakukan dengan sebanyak-banyaknya membaca. Oke, untuk tahap awal jangan dulu pikirkan tentang menulis. Pokoknya membaca, terus membaca, tentu saja bacaan yang bisa dipertanggung-jawabkan kualitasnya. Ada yang mengatakan membaca tidak perlu dari buku, bisa juga melalui melihat, mendengar, dan mengamati. Hal ini tentu tidak salah, tapi akan lebih lengkap lagi jika budaya membaca buku juga dihidupkan sejak awal. Rasanya hampir semua penulis meng-advis-kan berulang-ulang: banyak membaca… terus membaca… Karena memang begitulah pengalaman mereka, hingga akhirnya mereka bisa jadi penulis, dan ini adalah benar adanya. Sebaik-baiknya jalan pintas, maka jalan pintas yang baik untuk menjadi penulis, hanyalah membaca. Sekali lagi, IQRA’!
Karena hanya dengan melatih terus membaca sebanyak-banyaknya, maka otak akan distimulir, yang tanpa disadari sesudah sebanyak mungkin membaca, maka pikiran akan mampu menganalisis sesuatu. Dan kemampuan menganalisis inilah yang menjadi dasar, sehingga seseorang bisa membuat karya tulis. Kemampuan menganalisis ini tidak perlu dibayangkan seperti kemampuan ilmuwan dan professor. Pada saat Anda menceritakan peristiwa yang menimpa Anda hari ini - apa, mengapa, di mana, bagaimana, kapan, dan siapa yang terlibat dalam peristiwa itu - lalu menulisnya di buku harian, inipun sudah bentuk sederhana untuk membedah sesuatu. Termasuk membedah pikiran, perasaan, dan penilaian Anda atas peristiwa itu.
Tak perlu dibayangkan bahwa hal ini hanya bisa dilakukan oleh ‘manusia senior’. Bung Hatta baru berumur 20-an ketika menyusun pleidoi di depan pengadilan di Rotterdam. Ia baru berumur 20-an ketika mulai menulis artikel-artikel di dalam bahasa Belanda. Dan di usia itu juga Bung Hatta sudah mampu menyusun pidatonya dalam bahasa Perancis, saat harus berpidato di Perancis. Begitu juga Sukarno, yang baru berumur 20-an ketika menulis ratusan artikel-artikelnya.
Dan kemampuan itu diperoleh, karena kebiasaan membaca yang sudah dipupuk sejak remaja. Ketika masih berumur belasan tahun, mereka sudah melahap berbagai buku. Bacaan yang baik bisa membentuk karakter, watak, dan bisa membentuk seseorang untuk menjadi orang yang berprinsip dan berkepribadian.
Bung Karno (Foto: AP)
Tentang resep membaca ini, saya tertarik dengan resep Bung Karno. Cara Bung Karno membaca yaitu dengan menyerap substansi bacaannya. Bukan sekedar mengingat, menghafal dan membeberkan fakta, kejadian, data, nama-nama, angka-angka tanpa menangkap jiwa tulisan. Bagi Bung Karno bacaan bukan sekedar referensi dan sumber data, tapi juga lebih dari itu, mempunyai roh dan jiwa yang mampu ditangkapnya.
Sesudah mencerna esensi bacaan, di alam fantasi dan alam pikirnya diajaknya buku itu berdebat. Itu sebabnya bukunya tidak pernah “selamat”. Menjadi kumal, dan penuh coretan di sana-sini. Digarisbawahinya hal-hal yang penting dan menarik. Lalu ditambahinya catatannya sendiri.
Kebiasaan itu sudah dimulainya ketika masih pelajar. Padahal tak jarang buku itu bukan bukunya sendiri. Kadang buku itu adalah buku pinjaman yang baru dibeli temannya, bahkan temannya ini belum sempat membaca bukunya sendiri. Ketika buku itu sudah babak belur, barulah buku itu dikembalikannya pada si pemilik buku. Kebiasaan membaca Bung Karno ini tidak ada salahnya ditiru. Maksudnya bukan mau meniru kebiasaan Bung Karno yang bikin buku pinjaman babak belur.
Kebiasaan membaca Bung Karno itu memberi pelajaran tentang bagaimana memperdebatkan these yang menghasilkan antithese. Pertentangan antara these dan antithese ini kemudian melahirkan synthese. Dari proses antara these, antithese yang bermuara pada synthese itulah lahir maha karya Bung Karno yang disebut Marhaenisme yang dijabarkannya dalam tulisannya.
Tanpa menghidupkan budaya gemar membaca, maka akan sulit mestimulisasi otak dan pikiran, untuk dapat merangkai pikiran-pikiran menjadi tulisan. Dan jika pikiran jarang distimulisasi, maka akan mudah mengambil jalan pintas, yaitu plagiat!
Membaca adalah proses membiarkan pikiran-pikiran berpetualang. Jika ini terus dilakukan, akan ada saat pikiran-pikiran itu penuh, lalu akan timbul kebutuhan untuk memuntahkan pikiran-pikiran itu melalui tulisan. Jika Anda berhasil mencapai proses ini, maka tak ada sesuatupun yang bisa menggerakkan Anda untuk melakukan plagiat.
Catatan: Tulisan ini adalah rangkaian dari tulisan saya berjudul “Masalah Plagiat dan Sumber Pustaka.”
Penulis: Walentina Waluyanti