Asyiknya Lebaran Jadul
Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Ini nostalgia masa kanak-kanak, ketika saya belum hijrah ke Belanda. Saat masih di Makassar, di belakang tembok kompleks perumahan kami, ada perkampungan penduduk asli Makassar. Mereka umumnya tukang becak, ada juga nelayan. Kami yang tinggal di kompleks, menyebut pemukiman di belakang tembok itu sebagai “kampung”. Dan dari “kampung” inilah saya bisa merasakan keindahan momen Idul Fitri, yang memberi pelajaran berharga.
Orang kampung. Begitulah sebutan dari warga di kompleks perumahan kami terhadap penduduk di perkampungan. Istilah ini jangan dikonotasikan negatif, sebutan ini hanya untuk membedakan dengan kaum pendatang. Kota Makassar adalah kota besar yang didominasi oleh kaum pendatang dari berbagai suku. Ketika itu tahun 1970-an, penduduk perkampungan di balik tembok kompleks kami, penghuninya adalah penduduk asli yang masih berbahasa Makassar. Tidak sedikit di antaranya yang tidak bisa berbahasa Indonesia.
Suasana Lebaran jadul yang khas di “kampung” itu di tengah kota Makassar, adalah suasana yang “Indonesia banget”. Ini membuat kangen setelah saya tinggal di Belanda, meskipun saya non-muslim. Tetapi sebetulnya tradisi Lebaran bukanlah asing bagi saya yang datang dari latar belakang keluarga berbeda-beda agama.
Di Belanda sendiri, suasana Idul Fitri tidak terasa, meskipun muslim Maroko dan Turki banyak juga di Belanda. Kendati demikian, orang Indonesia di Belanda, muslim maupun non-muslim, bisa menghadiri halal bi halal Idul Fitri di KBRI Den Haag. Aneka hidangan khas Lebaran selalu disajikan KBRI di acara silaturahmi Lebaran itu.
Foto: Penulis bersama Retno Marsudi (sekarang Menteri Luar NegerI), dalam acara KBRI Den Haag. Retno Marsudi pernah menjabat sebagai Dubes Indonesia untuk Belanda. Di belakang kanan berbaju batik, tampak suami Ibu Retno. (Photo by J. de Jonge)
Kembali ke kisah nostalgia saat menjelang Idul Fitri di Makassar, kota tempat saya bertumbuh. Keceriaan suasana Hari Raya mulai terasa saat bedug bertalu-talu di mana-mana dengan gema takbir,“Allaahu akbar.. Allaahu akbar.. Allaahu akbar.....Laa - ilaaha - illallaahu wallaahu akbar.Allaahu akbar walillaahil – hamd…” Di Belanda, tidak ada suasana lebaran dengan gema takbir seperti ini.
Sekarang umumnya takbir digemakan dengan mengendarai motor. Tetapi dahulu tahun 1970-an di Makassar, orang-orang berkeliling setiap kompleks dengan berjalan kaki, membawa obor, dan membawa bedug. Kami anak-anak juga ikut-ikut membuat obor, meniru-niru orang dewasa, termasuk saya. Saya merengek pada ayah, minta dibuatkan obor. Ayah mengambil sebilah bambu, diberi sumbu, diisi minyak tanah. Wow, saya senang sekali. Kami anak-anak sambil bawa obor, meniru-niru orang dewasa menggemakan takbir.
Malam sebelum lebaran, saya dan anak-anak tetangga bermain kembang api dan mercon. Sekali-sekali ada anak-anak yang mencomot kue Lebaran dari rumahnya, dan membaginya kepada kami. Beberapa hari sebelumnya, di kompleks kami, aroma kue lebaran yang dipanggang di oven, sudah menebar wanginya. Kala itu, umumnya ibu-ibu membuat kue Lebaran sendiri. Bukan membeli kue siap saji seperti zaman sekarang. Misalnya kue kering seperti kue nastar, kue (keju) kastengel, kue kacang, kue coklat, kue kenari, kue durian, dan aneka kue kering lainnya. Semua kue ini ditaruh di stoples pada saat tamu datang mengucapkan selamat lebaran. Juga ada kue taart yang dihidangkan di piring kecil dengan sendok atau garpu kecil.
Pada malam Lebaran, seperti biasa asap beraroma wangi mengepul dari perkampungan. Asap itu berasal dari kayu bakar untuk mengolah hidangan Lebaran esok harinya. Di antaranya tentu ketupat, lappa’-lappa’ (lepat), gogos (nasi ketan bakar berbungkus daun pisang isi ikan atau daging), burasa’ (buras), dan penganan khas Makassar. Wanginya… hmmm, saya sudah bisa menebak hantaran lezat yang akan kami terima dari “orang kampung” di belakang tembok kompleks.
Foto: Gogos, salah satu penganan tradisional khas Makassar yang lezat. Gogos, nasi ketan bakar berbumbu, isi ikan atau daging berbungkus daun pisang. Tetapi tanpa isi pun rasanya tetap enak. (Foto: Walentina Waluyanti)
Setiap lebaran, keluarga kami selalu menerima hantaran lezat dari orang kampung dari balik tembok kompleks kami. Selain penganan yang disebut di atas, setiap lebaran kami selalu menerima makanan khas Makassar seperti, sop pallubasa, ikan bolu bakar, nasi ketan putih atau hitam yang ditaburi serundeng bercampur ikan teri yang krispi dan kacang goreng, selain beberapa makanan khas lebaran lainnya seperti opor ayam, sambal goreng ati dan irisan ketupat ataupun buras.Setelah tinggal di Belanda, saya tetap membuat hidangan khas Lebaran, misalnya foto di bawah ini. (Resepnya klik=> Sambal Goreng Ati)
Sambal goreng ati buatanku (Foto: Walentina Waluyanti)
Di antara hantaran makanan, ada juga kue tradisional seperti kue putu cangkir dan kue cang kuning (terbuat dari tepung beras dan santan yang dikukus isi gula merah dan parutan kelapa berbungkus daun pisang bentuknya piramid). Juga ada kue roko’roko’ unti (kue nagasari, berbungkus daun pisang terbuat dari tepung beras dan santan diisi irisan pisang).
Bisa dikatakan, keluarga kamilah satu-satunya warga di kompleks yang setiap Lebaran menerima hantaran dari “orang kampung”. Sebabnya, kalau Natal ibu saya selalu memberi mereka hantaran berupa hidangan Natal, dengan pesan, “Ini 100% halal lho, dijamin tidak ada babinya”. Ya, memang ibu saya mudah berbaur dengan mereka, ibu-ibu istri-istri tukang becak yang semuanya orang asli Makassar. Padahal ibu saya berasal dari Manado yang tentu tidak bisa berbahasa Makassar. Tetapi toh Ibu tetap berkomunikasi akrab dengan mereka. Sehari-harinya, ibu-ibu dari kampung, kadang datang ke ibu saya, minta pekerjaan apa saja yang bisa dikerjakan. Misalnya mencuci dan memasak.
Oleh karena ibu saya kerap berbincang dan mudah akrab dengan mereka, sehingga ibu mendapat gelar khusus dari mereka, yaitu “Daeng Kébo” artinya Mbak Putih (Kata "kebo" bahasa Makassar artinya putih, dibacanya bukan kebo, tapi seperti membaca kata "képo"). Daeng dalam bahasa Makassar, adalah sapaan yang ditujukan baik bagi pria dan wanita, yang artinya Mas atau Mbak. Ibu saya yang asli Manado mendapat gelar tadi, karena memang kulitnya putih buanget kayak bulé. Saya sendiri tidak putih-putih amat seperti ibu saya. Maklum, ayah saya berasal dari Solo dan berkulit coklat. Sehingga kulit saya warnanya seperti bumbu gado-gado.
Ibu saya kadang berkunjung ke rumah “orang kampung”, sekadar ngobrol. Bahkan anak-anak kampung itu, biasanya diijinkan ibu untuk menginap di rumah kami. Rasanya ibu-ibu lain dari kompleks kami sangat jarang yang bergaul dengan “orang kampung”. Ketika ibu saya meninggal tahun 2011, kesan inipun dikatakan oleh ibu-ibu kompleks kepada saya, bahwa ibu saya dikenal sebagai ibu yang dekat dengan “orang kampung”. Ini dikatakan oleh ibu-ibu kompleks, karena melihat banyaknya orang dari perkampungan yang datang melayat, bukan hanya mengantar ke pemakaman, bahkan mereka juga ikut mengantar jenazah sampai masuk ke gereja. Padahal mereka semuanya adalah muslim. Tidak biasanya rombongan “orang kampung” datang melayat dalam jumlah besar, saat ada warga di kompleks yang meninggal.
Tepat Hari Lebaran, masih dini hari, sudah mulai terdengar kesibukan orang bersiap-siap berangkat shalat Ied. Ketika orang-orang sudah kembali dari shalat Ied, mulailah keluarga kami menerima hantaran lebaran, baik dari warga kompleks maupun dari warga perkampungan. Lebaran hari pertama dan hari kedua ini, ibu saya tidak pernah masak. Karena makanan hantaran lebaran yang kami terima begitu banyak, bahkan 3 hari setelah Lebaran pun masih banyak makanan yang tersisa.
Foto: Lepat, ketupat, buras yang disajikan adik saya yang merayakan Lebaran. (Foto: Walentina Waluyanti)
Setiap lebaran hari pertama, saya dan anak-anak tetangga (muslim dan non-muslim) sudah janjian untuk melakukan tradisi “ziarah”. Tradisi “ziarah” lebaran di Makassar ini maksudnya adalah mengunjungi para tetangga, kenalan, dan sanak-saudara yang berlebaran. Kami anak-anak sangat menanti-nanti saat ziarah ini. Anak-anak berbaju bagus, anak perempuan pakai pita rambut, anak laki-laki berambut licin pakai pomade. Semua bersepatu dan berkaos kaki rapi. Setelah semua orang kembali dari shalat Ied, anak-anak mulai berkunjung ke tetangga. Kami bisa sepuasnya makan aneka kue dan minum limun. Sebelum masuk ke rumah tetangga, terlebih dahulu kami menngucapkan, “Assalamu alaikum.” Kemudian duduk sebentar saja, hanya untuk makan kue dan minum, lalu SMP (Sudah Makan Pulang). Kemudian ke rumah berikutnya, makan dan minum lagi, begitu seterusnya, sampai kami kenyang. Buat anak-anak, benar-benar asyik bisa ziarah bareng kawan-kawan, sambil menikmati berbagai kue dan minuman.
Itu tadi tradisi “ziarah” yang dilakukan anak-anak. Biasanya orangtua melakukan “ziarah” ke tetangga pada malam hari. Ini karena Lebaran pada pagi hari, adalah saat setiap keluarga sibuk bersilaturrahmi dengan keluarga besarnya, sambil makan-makan. Bapak-bapak dan ibu-ibu (non muslim mapun muslim), termasuk ayah dan ibu saya, berkunjung ke setiap rumah dengan disuguhi kue-kue kecil, kue taart, dan minuman. Biasanya saat silaturrahmi ini mereka berbincang lama. Ruang tamu biasanya penuh dengan tamu. Apabila rumah yang akan didatangi sedang banyak tamu, tamu yang akan masuk biasanya mengalihkan kunjungan ke rumah lain terlebih dahulu, sambil menunggu kesempatan berikutnya.
Ibu saya punya kebiasaannya sendiri yang tidak dilakukan warga kompleks lainnya. Yaitu ibu juga “ziarah” ke “kampung” di belakang kompleks kami, yang umumnya tukang becak. Saya biasa ikut dengan ibu. Kami menerima suguhan kue-kue kering, di antaranya kue dari tepung kacang hijau yang warnanya putih.
Foto: Kue kering yang disajikan adik saya yang merayakan Lebaran. Di tengah adalah salah satu kue kering tradisional Makassar yang terbuat dari tepung kacang hijau. (Foto: Walentina Waluyanti)
Yang istimewa, di rumah tukang becak biasanya kami disuguhi minuman teh susu. Lazimnya ketika itu, suguhan untuk tamu biasanya teh atau limun. Apalagi untuk "wong cilik" seperti tukang becak, susu kaleng kental manis ketika itu harganya tidak murah. Baru kemudian saya tahu, bahwa pada zaman itu bagi warga di perkampungan, minuman teh susu biasanya disuguhkan hanya kepada tamu yang dianggap terhormat dan istimewa.
Tradisi "ziarah” tidak hanya dilakukan saat Lebaran saja. Saat Natal pun, keluarga kami menerima kunjungan dari para warga kompleks dan dari warga perkampungan. Dan ibu saya pun dengan dibantu beberapa ibu dari perkampungan, membuat hidangan Natal yaitu ketupat, lepat, ketan bakar berbungkus daun pisang, buras dan sajian lainnya seperti yang dihidangkan saat Lebaran. Bedanya, karena ibu saya orang Manado, ia juga menghidangkan makanan khas Manado misalnya ikan tuna rica-rica, ayam woku ataupun sup kacang merah khas Manado (sup brenebon (resepnya klik=> Sup Favorit Orang Manado).
Sup kacang merah atau sup brenebon ala Walentina (Foto: Walentina Waluyanti)
Sayang sekali, tradisi “ziarah” di Makassar antar tetangga di atas, perlahan-lahan menghilang pada sekitar akhir tahun 1980-an. Sekarang saling kunjung saat Idul Fitri dilakukan hanya di antara kerabat saja. Antar tetangga hanya mengucapkan selamat Lebaran kalau pas berpapasan di jalan. Terlebih zaman internet, ucapan selamat dikirim cukup via email, Whatsapp, Facebook, Twitter dst. Saya dengar, tradisi memberi hantaran Lebaran (berupa hidangan khas Lebaran) pun tidak lagi dilakukan antar tetangga. Mungkin juga karena pengaruh krisis ekonomi yang mulai kerap menghantam Indonesia. Tradsi memberi hantaran hidangan khas Lebaran, sudah tergantikan dengan parsel Lebaran, yang sekarang banyak disalahgunakan sebagai "upeti", sehingga ada larangan bagi pejabat publik untuk menerima parsel Lebaran.
Saya beruntung pernah melewati masa kanak-kanak dengan tradisi "ziarah”, sebagai bagian dari Hari Raya Idul Fitri. Yang asyik bukan sekadar karena makan enaknya, namun yang lebih penting ada pelajaran berharga di baliknya. Yaitu pelajaran tentang toleransi beragama, menghormati dan menghargai kepercayaan yang berbeda antar umat beragama. *** (Penulis: Walentina Waluyanti de Jonge, historical book writer)
Walentina Waluyanti de Jonge, penulis buku Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan
Tulisan terkait, klik:
Pengalaman Bertetangga di Belanda
Ini Penyebab Mengapa Mereka Menggambar Nabi Muhammad
Penyebab Mengapa Komunis Harus Atheis
{backbutton}