Ahok Ditegur Aiman Witjaksono, Setujukah Anda?

Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Sudah “kodrat”-nya, wartawan tidak boleh mudah menyerah jika si narasumber enggan “buka-bukaan”. Wartawan harus mampu memancing narasumber untuk memberi info. Bukankah ini tugas wartawan? Bagaimana dengan wartawan Kompas TV Aiman Witjaksono? Lihatlah ketika Aiman Witjaksono mewawancarai Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta (17/3/2015).

Aiman tetap berusaha gigih memancing Ahok agar terus nyerocos. Meski membutuhkan informasi dari Ahok, namun tidak lantas berarti Aiman menurunkan derajat profesinya. Ia tetap kuat menjaga garis-garis aturan agar tidak dilanggar. Wartawan memang butuh informasi. Tetapi ini tidak berarti wartawan harus kehilangan prinsip. Jurnalis sepatutnya tidak tunduk begitu saja terhadap pelanggaran etika, dalam proses memperoleh informasi.

Maka peran Aiman ketika mewawancara Ahok tidak hanya sekadar wartawan. Ia juga seakan berperan sebagai wasit, ketika “permainan” tidak lagi berjalan di rel semestinya. Seperti wasit yang meniup pluit kepada pesepak bola yang melanggar aturan permainan, begitulah yang dilakukan Aiman kepada Ahok. Priiiit…!”

Tampaknya "sempritan" Aiman Witjaksono saat menegur Ahok agar tidak mengucapkan kata-kata yang tidak layak, menimbulkan pro dan kontra. Ada yang setuju dengan teguran Aiman, ada juga yang tidak setuju sembari membenarkan cara berbahasa Ahok dengan berbagai alasan. Bagaimanakah dengan Anda? Setuju atau tidak setuju, namun teguran Aiman kepada Ahok, memang sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari etika berjurnalistik.

priit 01w

 Aiman Witjaksono, pemandu acara "Aiman dan...." di Kompas. (Sumber foto: acaraterbaru.com)

Saat diwawancarai oleh Aiman Witjaksono, Ahok bicara berapi-api, terkait anggaran APBD DKI Jakarta yang dinilai tidak masuk akal. Dengan emosional, Ahok mengucapkan kata tak pantas. Berulang kali Ahok mengucapkan kata t***. Berkali-kali pula Aiman harus mengingatkan Ahok, “Maaf, Pak. Kita sedang live.” Maksud Aiman mengingatkan ini siaran live, sebab tontonan ini disaksikan langsung (tanpa edit) oleh segala golongan masyarakat. Siapa yang bisa menjamin tidak ada anak-anak yang tidak nonton acara itu? "Bicara kotor" tadi dikhawatirkan bisa ditiru, dan akhirnya bukan tidak mungkin dapat menjadi sesuatu yang dianggap pantas. Kalau pemimpin boleh mengumpat dengan kata-kata t*** dan "bangsat", mengapa rakyat tak boleh?

Dunia jurnalistik tidak hanya berfungsi sebagai penyebar informasi, tetapi juga secara langsung atau tak langsung, mengemban misi edukasi di dalamnya. Setiap jurnalis harus sadar, bahwa saat menjalankan tugas, ia punya kewajiban moral untuk mengemban misi tadi. 

Meski berulang kali diingatkan Aiman, Ahok tetap saja tidak berhenti. Ia terus saja mengulang mengucapkan kata tak sedap itu berkali-kali. Tapi Aiman tetap tidak menyerah meminta Ahok menghentikan kata-kata yang tak pantas itu dengan mengingatkan, “Mungkin bisa diperhalus Pak Gubernur DKI Jakarta, dengan segala hormat.” Jelas, pada kalimat tadi Aiman menekankan kata "Pak Gubernur DKI Jakarta", dengan maksud memberi isyarat kepada Ahok. Isyarat tadi kurang lebih berarti, "Ingat lho, Anda berbicara dalam kapasitas sebagai pejabat pemerintah. Bukan sebagai Ahok pribadi." Artinya Ahok sebagai pribadi boleh-boleh saja "bicara kotor" (meski tentu ini tidak diharapkan). Tetapi lain cerita saat ia berbicara dalam kapasitas sebagai Gubernur, yang berkonsekuensi adanya atribut kenegaraan yang harus dihormati dalam jabatan itu. 

Isyarat Aiman di atas tak mempan. Ahok malah menukas dengan nada tinggi, "Tidak apa-apa!" Memang sudah begitu risiko wawancara live, kata Ahok. (Akhirnya Ahok mengeluarkan pernyataan maaf atas kata-katanya yang kasar melalui Twitter@basuki_btp, Jumat 20/3/2015. Namun tambah Ahok, maafnya itu tidak ditujukan kepada koruptor dan kemunafikan).

priit 02w

Aiman Witjaksono mewawancara Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. (Sumber: Kompastv)

Saya bisa membayangkan bagaimana sulitnya Aiman harus berusaha agar konsentrasinya tidak pecah, antara menjaga kekritisan menyimak sekaligus menanggapi uraian Ahok, masih ditambah menertibkan gaya bicara Ahok. Belum lagi mesti pandai menetralisasi suasana, saat Ahok terlihat kesal setiap kali diperingatkan. Ini memerlukan keahlian tersendiri bagi pewawancara, agar bisa tetap fokus pada konten wawancara. Sementara Aiman sendiri tentu sudah memperhitungkan, mana mau Ahok disuruh tunduk pada wartawan? Meski tahu, namun Aiman punya kewajiban profesi untuk mengimbau Ahok sebagai Gubernur DKI agar menjaga etika, karena wawancara tersebut live! Duh! Saya bayangkan, mungkin waktu itu Aiman cenat-cenut juga kepalanya.

Siapapun setuju bahwa korupsi memang menimbulkan kegeraman. Kegeraman Ahok bisa dipahami. Ahok termasuk tokoh yang punya kelompok pendukung fanatik, yang memuja Ahok sebagai pejabat lurus, anti korupsi, dan berani melawan korupsi. Tak disangkal, Indonesia sedang membutuhkan pejabat yang mau dan berani memerangi korupsi.

Namun dalam memerangi korupsi, se-murka apapun, pejabat negara tetaplah pejabat negara. Konsekuensinya adalah seorang pejabat negara dituntut harus meninggalkan atribut pribadinya pada saat menyandang jabatannya. Artinya, meski dalam keseharian ia berbicara memakai “lu gua” dan suka misuh-misuh dalam "bahasa toilet", tetapi kebiasaan ini mau tidak mau harus "sejenak" ditanggalkan pada saat ia berbicara dalam kapasitas sebagai pejabat publik. Mengapa "sejenak" ditinggalkan? Sebab kalau ia sudah pulang ke rumah, atau di luar jam kerja, dan tidak sedang berbicara kepada publik dalam kapasitas jabatan, maka ia bebas membawakan dirinya pribadi. Ini bukanlah kemunafikan, tetapi ini adalah bagian dari profesionalisme jabatan. 

Sudah menjadi etika, bahwa berbicara dengan bahasa Indonesia yang pantas, tidak berbahasa “lu gua”, tidak "berbahasa toilet", adalah bagian dari profesionalisme. Ahok punya citra sebagai pejabat yang lurus. Namun lebih lurus lagi jika tetap memegang etika saat berbicara dalam kapasitas sebagai pejabat publik. Bagaimanapun, pejabat publik adalah figur yang diharapkan dapat memberi contoh yang baik, termasuk dalam etika bertutur kata.

Bung Hatta adalah contoh yang baiksukarno hatta3 dalam kasus seperti ini. Ia tetap memegang etika dalam tutur kata, namun tidak kehilangan ketegasan, juga dalam keadaan murka bagaimanapun. Termasuk ketika ia bertengkar dengan Bung Karno, ia menjaga kesantunan berkata-kata, namun mampu keras "menonjok" Bung Karno. Di sini terlihat bahwa kesantunan bukan berarti munafik. Santun bukan berarti identik dengan maling. Siapapun tahu, Bung Hatta yang tegas namun tetap santun dan senantiasa menjaga etika, adalah pejabat bersih dan tidak korup. Saya tulis tentang ini di buku karya saya, "Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan".

Ada hal yang kadang dilupakan. Pada saat seseorang menyandang status sebagai pejabat negara, ia sedang membawa atribut simbol-simbol kenegaraan yang harus dihormati oleh siapapun tanpa terkecuali, termasuk oleh pejabat yang bersangkutan sendiri. Pada saat jabatan itu disandangnya, ia harus profesional, artinya harus menyadari bahwa ia sedang membawakan sifat-sifat profesinya, bukan sifat dirinya pribadi.

Ada pendapat, apa artinya santun kalau munafik dan korupsi? Tetapi argumen tadi tidak lantas bisa dijadikan alasan pembenaran bahwa orang yang lurus, jujur, tidak munafik, dan tidak korupsi, artinya boleh mengabaikan norma dan etika. Menjunjung norma dan etika dalam mengemban tugas jabatan, adalah bagian dari profesionalisme. Dan itulah yang telah dilakukan Aiman Witjaksono dalam kapasitasnya sebagai jurnalis, saat mengingatkan Ahok.

Aiman Witjaksono sebagai pribadi di dalam kesehariannya, di luar kapasitasnya sebagai jurnalis, bisa saja berbicara dalam gaya “lu gua”. Tak terbayangkan bagaimana kalau Aiman diperbolehkan ber-"lu gua" saat mewawancara pejabat negara, dengan alasan pembenaran, yang penting ia wartawan lurus, tidak munafik, dan tidak korupsi.

Santun tidak berarti lembek, juga tidak berarti munafik. Kita misalkan ada seorang koruptor bicara kotor. Tentu sulit untuk mengatakan koruptor tadi tidak munafik hanya karena ia tidak santun. Memegang norma dan etika tidak berarti tanda kelemahan. Tetap santun, memegang norma dan etika dalam tugas, namun tetap bisa tegas, kuat dan berprinsip, adalah bagian dari profesionalisme. Dan itulah yang telah ditunjukkan oleh Aiman Witjaksono melalui "sempritan" tegurannya kepada Ahok. Priiiit… !!!*** (Penulis: Walentina Waluyanti)

Artikel terkait: Inilah Tipe yang Berpotensi Menjadi Pemimpin di Indonesia

fr wwWalentina Waluyanti, historical book writer

Nederland, 20 Maret 2015

About Me

{backbutton}

Add comment