Yvonne, Seniwati Yang Tak Lupa Akarnya
Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Suatu hari saya menerima email salam perkenalan dari seorang ibu berusia 80 tahun. Suratnya mencerminkan kejernihan pikir dan kehangatan pribadinya. Dibumbui sedikit kata-kata Indonesia. Ibu berdarah Indo Belanda ini, namanya Yvonne, mengaku mengetahui nama dan email saya dari putranya, salah satu mahasiswa saya.
Setelah perkenalan lebih lanjut, baru saya tahu, Yvonne adalah adalah wanita dengan prestasi unik. Kisah hidupnya penuh warna-warni. Ia tumbuh di Batu dan Lawang, Jawa Timur. Perjalanan nasib membuatnya terpaksa meninggalkan Indonesia, dan akhirnya menetap di Belanda.
Sebagai pelukis, ia telah banyak meraih penghargaan. Ia juga telah banyak mengadakan pameran selain pameran lukisan di Belanda, ia juga pernah pameran di Eramus Huis di Jakarta, Amerika, Kanada, Jerman, Swedia, Denmark, Luxemburg.
Yang istimewa, walau berpuluh tahun tinggal di Belanda, semua inspirasi seninya datang dari akar yang tak pernah ingin ia lupakan, yaitu Indonesia! Karyanya juga dikoleksi oleh yayasan yang pernah diketuai Pangeran Bernhard (ayah Ratu Belanda, Beatrix). Pangeran Bernhard sangat terkesan akan karya-karya bertema Indonesia dari Yvonne, dan karena itu pernah berkenan menerima Yvonne dalam pertemuan.
Foto: Yvonne dan Pangeran Bernhard
Yvonne lahir di Blitar, 23 Februari 1930 di Blitar, Jawa Timur. Ibunya meninggal ketika ia berusia dua tahun. Karena itu ia bersama saudara-saudaranya dibesarkan oleh orangtua angkat dengan disiplin namun penuh kasih sayang, di Batu Malang.
Bakat menggambarnya sudah tampak sejak kecil. Terlebih ia tumbuh dalam didikan orangtua angkat yang juga kreatif. Sejak kecil ia biasa melihat bagaimana orangtua angkatnya mampu mengubah barang-barang tak berguna menjadi benda berseni sangat indah. Ini semua menumbuhkan kepekaannya terhadap seni dan keindahan. Yvonne juga tak pernah melupakan jasa gurunya di sekolah dasar (masih di Indonesia), yaitu Suster Cornelia, yang telah mendorong, membangun dan terus memotivasi bakatnya.
Ketika Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang, Yvonne pernah tinggal di kamp tawanan Jepang di Banyu Biru, Semarang. Situasi revolusi pasca kemerdekaan membuat orang-orang berdarah Belanda terancam nyawanya. Karena itu, demi keselamatannya dan masa depan yang lebih baik, orangtua angkat Yvonne menyarankannya untuk segera berangkat ke Belanda. Meninggalkan Indonesia adalah pukulan berat yang menyakitkan bagi Yvonne. Karena begitu banyak yang harus ia tinggalkan. Namun tak ada pilihan lain.
Tahun1950, Yvonne akhirnya terdampar di Amsterdam Oost. Ia tinggal di loteng kecil sewaan sebagai kamarnya. Loteng itu begitu dingin. Tiba-tiba disadarinya sebuah kehilangan yang teramat besar. Yaitu rasa kehilangan dan kerinduan pada Indonesia, tanah airnya. Hangatnya sinar matahari, alam yang hijau indah dengan bukit-bukit, pegunungan, laut, sungai, dan sawah. Kerinduannya akan Indonesia itu kemudian dituangkannya dalam karya-karya seninya yang semuanya bertema Indonesia, sejak awal kedatangannya di Belanda, hingga saat ini.
Painting by Yvonne, "Pagi-Pagi"
Profil Yvonne pernah juga ditulis di Jakarta Post tahun 1984. Beberapa waktu lalu, profil Yvonne juga dimuat di sebuah majalah Indisch di Belanda, yaitu majalah Moesson. Berikut ini kisah selengkapnya tentang Yvonne. Beberapa bagian adalah kutipan dari majalah Moesson edisi November 2010.
Yvonne masih ingat, ketika hidup sebagai tawanan Jepang, ia membuat beberapa kerajinan tangan dan karya seni, untuk ditukarkan dengan makanan. Sesudah perang, Yvonne melanjutkan sekolahnya di HBS di Semarang. Di HBS Semarang ini ia berkenalan dengan pelajar Belanda totok Arie Noordam, yang kelak menjadi pasangan hidupnya. Tahun 1950 Yvonne tiba di Belanda, lalu menjalani studi di Sekolah Guru. Di Belanda ia bertemu lagi dengan Arie, yang sudah tiba lebih dahulu di Belanda. (Tahun 1956 Yvonne dan Arie menikah, dan dikaruniai dua anak laki-laki).
Ketika tiba di Belanda, dicarinya kamar sewaan. Akhirnya di Amsterdam Oost, ada keluarga yang menyewakan loteng kecilnya di lantai atas.
Foto: Amsterdam Oost
Loteng yang disewanya sebagai kamarnya itu begitu kecilnya, sehingga tempat tidur kecil saja hampir tidak muat di kamar itu. Ya, kamar itu sebetulnya tadinya hanyalah sepetak tempat penyimpanan arang untuk perapian. Sewa kamar tidak termasuk WC. Sekali ke toilet di lantai bawah, turun tangga dua kali, ia harus membayar 10 gulden. Padahal waktu itu duitnya sudah habis. Solusinya, setiap kali buang hajat, ia harus melakukannya sembunyi-sembunyi di saluran atap, ketika tak ada orang. Padahal di tempat itu begitu dingin, terutama ketika winter. Ia belum terbiasa dengan udara dingin. Ketika tidur, ia hanya punya selembar selimut yang tidak cukup untuk melawan dingin. Karena itu ia memakai berlapis-lapis lembaran koran yang dijahitkannya sebagai pelapis selimutnya.
Yvonne waktu itu tidak punya uang untuk studi dan tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidupnya. Untuk minta uang pada orangtua angkatnya di Indonesia, ia tidak berani. Untuk makan pun ia harus datang ke sebuah hunian yang dikontrak oleh sekumpulan orang. Di situ ia ada beberapa orang yang dikenalnya. Ketika semua orang itu selesai makan, ia lalu mengumpulkan semua sisa makanan itu, untuk dilahapnya habis. Tapi tentunya cara ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Sampai suatu ketika setiap Rabu siang ia bekerja part-time di Hema. Merasa ini tidak cukup menghidupi, Yvonne lalu mendapat ide untuk menjadi koki.
Di lantai bawah tempat Yvonne selalu ke toilet, tinggal keluarga Indo. Dari celah-celah kamar, kadang ia menghirup aroma masakan mereka. Itu membuatnya merasa lapar. Ia bertanya kepada ibu Materus yang memasak itu, “Apa saya boleh membayar satu gulden untuk seporsi makanan?”. Keluarga itu juga miskin, tidak mungkin memberinya gratis begitu saja. Setiap mencoba makanan itu, Yvonne langsung tahu apa saja bumbunya. Mungkin ini semacam bakat. Ia tidak tahu darimana datangnya bakat ini.
Karena merasa punya bakat masak, sisa-sisa uangnya dipakainya untuk memasang iklan di koran Het Parool. Bunyi iklannya, “Siap jadi Koki di rumah Anda”. Yvonne menerima reaksi dari ibu-ibu yang anak-anaknya sedang menjalani wajib militer di Indonesia. Mereka ingin mencoba nasi goreng. Ibu-ibu ini tidak tahu bagaimana cara membuatnya, dan di waktu itu belum ada restoran yang menjual nasi.
Selanjutnya Yvonne bersepeda di jalan-jalan di kota Amsterdam, dengan wajan dan cobek di belakang sepedanya. Dibelnya pintu-pintu rumah, sambil berteriak, “Koki datang!”. Mereka membuka pintu sambil keheranan. Soalnya mereka berharap, koki yang akan memasak buat mereka, tentulah wanita Indonesia. Tapi yang berdiri di depan pintu, sepertinya bukan wanita Indonesia. Di dalam hati, Yvonne mengakui, dirinya sebetulnya tidak bisa masak, tanpa mempelajari masakan Ibu Materus yang tinggal di bawah lotengnya.
Pertama kali masih gampang. Yvonne belum merasa sulit ketika mereka cuma minta nasi goreng, bakmi, sate. Tapi lama-lama mereka mulai minta makanan lainnya. Lalu Yvonne pergi ke Ibu Materus dan bertanya bagaimana cara membuat babi kecap. Tanpa penjelasan rinci, Ibu Materus membiarkan Yvonne mencoba masakannya. Lalu dengan insting pengecapnya yang tajam, Yvonne langsung tahu apa saja bumbu masakan itu. Dengan menjadi koki, ia menerima uang tambahan, tapi itu belum cukup untuk hidup. Di kamarnya ada kertas pelapis dinding. Di atas kertas itu dilukisnya gambar-gambar bertema Indonesia. Sawah dan pohon kelapa. Ia menawarkan hasil lukisannya kepada beberapa ibu. Ternyata mereka tidak keberatan membayar untuk karya lukisnya itu.
Suatu hari dibuatnya karya seni yang unik. Ia menggunakan potongan-potongan dari kain lap bekas, untuk membuat sebuah permadani indah. Karya ini membuatnya keluar sebagai pemenang kedua dalam sebuah lomba. Beberapa tahun berikutnya diikutinya lomba yang sama, dan berhasil memenangkan hadiah pertama.
Collage by Yvonne "Waktu Potong Padi"
Ketika akhirnya menikah dan punya anak-anak, kesibukannya tidak mengurangi perhatiannya terhadap suami dan anak-anak. Sambil menunggu masakan selesai, ia melanjutkan lukisannya. Ketika anak-anak pulang sekolah, ia berhenti untuk mendengarkan cerita mereka seharian di sekolah. Setiap saat mereka ingin makan dan minum, semuanya sudah tersedia. Anak-anak itu juga boleh membawa teman-teman bermain ke rumah.
Kadang-kadang Yvonne mengadakan pameran lukisan di rumahnya. Siapapun boleh masuk dan melihat karyanya. Suaminya sebetulnya kurang sreg dengan cara ini. Ia tidak menyukai banyak orang keluar masuk di rumah. Akhirnya Yvonne ambil jalan tengahnya. Pameran di rumahnya dibuatnya sampai jam empat sore. Disebarkannya info di kotak-kotak surat. Anak-anak senang dengan pameran itu. Karena di setiap sudut tersedia krupuk. Setiap orang boleh mencomotnya. Banyak orang berdatangan. Di antaranya guru-guru sekolah anaknya, ibu-ibu tetangga, dan pengunjung lainnya. Tepat jam empat sore pameran berakhir. Cepat-cepat ditutupnya pintu. Dibantu anak-anaknya, dengan sigap Yvonne membereskan ruangan. Sebelum suaminya pulang, segalanya kembali rapi.
Arie tidak punya alasan untuk protes pameran di rumah mereka. Soalnya ia tidak merasa ada yang berubah. Tak ada tanda-tanda bahwa tadi baru saja ada keramaian di rumah itu.
Akhirnya pameran lukisan Yvonne meningkat ke pameran di Pasar Malam. Di Belanda, Pasar Malam adalah event terorganisir, merupakan pesta sekaligus ajang bisnis dan pameran budaya Indonesia. Kegiatan ini ramai dikunjungi orang-orang Indo, orang Belanda dan orang Indonesia. Stand pamerannya didekorasinya dengan hiasan-hiasan dari rumah. Suaminya pulang kerja dan bingung, karena tirai jendela sudah kosong. Soalnya tirai-tirai itu dipakai Yvonne untuk menghiasi stand lukisannya. Selama dua minggu Yvonne duduk menunggui lukisannya di Pasar Malam. Suaminya mengantarnya dan menjemputnya setiap hari.
Arie, suami Yvonne memang mendukung minat dan bakatnya. Ia mengendarai mobil mengantar istrinya kemana-mana untuk kegiatan melukisnya itu. Termasuk ke Skandinavia dan Jerman. Yvonne mengatakan, dia bukan tipe istri yang cuma sibuk mengurusi pot dan panci. Ia mesti selalu sibuk berkreasi. Sampai-sampai ia hampir tidak punya waktu untuk minum kopi dengan teman, main kartu bahkan belajar setir mobil pun tidak sempat.
Bagi Yvonne, tiada hari tanpa berkarya. Melukis dan membuat kerajinan seni. Karya-karyanya menarik perhatian pemerintah Belanda. Beberapa lembaga mengundangnya untuk mengajar seni. Yang unik, ia juga sempat mengajar seni bagi prajurit-prajurit wajib militer di Jerman.
Yvonne adalah pribadi yang selalu gelisah untuk terus berkarya. Pokoknya harus tetap kreatif. Kalau tidak, ia tidak bisa merasa tenang. Dalam berkreasi, Yvonne menggunakan berbagai bahan, tidak hanya cat. Kain perca, manik-manik, arloji bekas, dan barang-barang tak terpakai lainnya, disulapnya menjadi karya artistik unik.
Sekarang ini Arie suaminya menderita lumpuh. Yvonne terpaksa tidak bisa melukis segiat dulu lagi. Tidak mudah merawat orang sakit sementara cat minyak sedang di tangan. Namun ia masih punya cara lain untuk tetap berkarya. Yaitu menggambar dengan potlot. Itu juga sudah cukup untuk membuat gambar-gambar cantik.
Jumlah karya Yvonne menggunung tak terhitung. Banyak karyanya antara lain dicetak sebagai kartu ucapan, yang beredar di seluruh penjuru Belanda. Namun semua itu tidak dinikmatinya untuk dirinya sendiri. Ia tidak melupakan asal-usulnya, dan kesusahan hidupnya di masa lalu. Hasil keuntungan dari penjualan karya-karyanya, disumbangkannya bagi kemanusiaan. Ia membantu biaya pendidikan keluarga-keluarga tak mampu di Indonesia, membantu yayasan anak cacat, dan kegiatan sosial lainnya.
Foto: Yvonne dan Pangeran Bernhard
Sampai kini pun ia tidak menyerah untuk tetap kreatif. Jumlah karyanya tak terhitung. Karunia bakat memang belum cukup berharga kalau tidak diiringi penghargaan terhadap karunia waktu yang diberikan pada setiap orang. Mengoptimalkan bakat dan mendayagunakan waktu, adalah rahasia sukses Yvonne. Menit demi menit adalah peluang bagi tangan, hati dan pikiran untuk menghasilkan sesuatu yang berharga. Syukur-syukur jika bisa bermanfaat, bukan hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi hidup dan kehidupan.
Terima kasih Yvonne, untuk inspirasi dan semangat melalui karya-karya yang begitu indah!
Walentina Waluyanti
Nederland, 13 Februari 2011
{backbutton}