Seniman dalam Pasungan
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
* Catatan ini adalah cukilan buah pikiran penulis sebagai peminat seni budaya. Sebuah catatan sebagai bentuk kepedulian terhadap seni dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Maaf jika isinya tak bisa menghibur pembaca yang mencari bacaan hiburan.
Seniman yang konon sudah sinting jadi bertambah sinting. Pasalnya, pertumbuhan seni di Indonesia sekarang ini dihadang dengan mampetnya kebebasan berekspresi. Sekarang ini ada gejala seni terjerembab menjadi sekedar "entertainment". Dianggap bukan bidang serius. Padahal dalam sejarah bangsa-bangsa, tak sedikit sumbangan ilmu pengetahuan dan ajaran filsafat yang berawal dari hasil jelajah pikir seniman dan pujangga.
Seni budaya adalah titik tolak yang membawa manusia pada kesadaran eksistensinya dan membuka kedalaman alam pikir. Lihat saja karya Ronggowarsito sampai Leonardo Da Vinci. Situasi berkesenian yang makin sumpek di tanah air membuat Indonesia mulai kehilangan figur budayawan, kritikus seni, pekerja seni dan seniman pikir sekualitas WS Rendra, Asrul Sani, HB Jassin, Taufik Ismail,Teguh Karya, Arifin C Noor, Putu Wijaya, Arswendo Atmowiloto, JB Mangunwijaya, Umar Kayam, Gunawan Mohammad, Agus Dermawan T, Pramoedya Ananta Toer dan beberapa nama lagi.
Seniman tanah air jadi ngedumel. Seniman film Indonesia jadi iri dengan pekerja film di negara Barat. Mereka tidak bisa bebas berkarya seperti di negara sana. Sebuah lukisan telanjang, secara pukul rata diartikan pornografi. Pelukis mesti pikir-pikir seribu kali untuk membuat sebuah karya seni sesuai kata hatinya. Mau bikin kreasi yang ada bau-bau erotisnya? Mungkin boleh juga sih. Asal jangan dipamerkan. Tapi masak karya seni mau diumpetin di gudang terus? Penyanyi jangan goyang terlalu hot. Bisa bikin orang yang memang ngeres jadi tambah ngeres.
Seniman merasa terpasung. Bikin kreasi ini, dihadang UU pornografi. Bikin kreasi itu, dihadang kelompok yang ngaku-nya pembela agama. Jadi seniman mesti bagaimana? Situasi ini bikin frustrasi para seniman. Mau bikin karya menuruti pakem, kok hasilnya tidak punya greget. Soalnya seniman itu kerjanya memang lebih pakai hati (dan otak juga sih biarpun sinting). Makanya lebih sering memberontak dari pakem yang ada. Wah, serba salah. Kalau melawan arus, nanti dituduh memberhalakan seni. Dicurigai seniman kafir. Dituduh biang kerok hingga rakyat jadi tidak punya moral.
Tanpa bermaksud menghakimi soal moral, marilah kita sejenak menengok benua lain. Di Eropa dan Amerika, kebebasan seni jelas sangat berbeda dengan Indonesia. Kematangan berapresiasi membuat pengapresiasi tidak membabi buta menuduh karya tertentu, sebagai tidak bermoral. Karya seni kontroversial tidak mudah mempengaruhi stabilitas nasional. Kalaupun ada seni yang mengindikasikan pelanggaran, maka hukum akan berbicara. Hukum negara tentunya.
Seni vulgar bertopeng "art" yang mengabaikan kepantasan rasa - mungkin menarik peminat, tapi golongan kritis yang mengecam juga tak sedikit.
Pro dan kontra dalam menilai karya seni malah membuka cakrawala dan mata hati pekerja seni. Sekaligus menyeimbangkan apresiasi masyarakat. Mereka tidak diseragamkan dalam satu aturan untuk bisa menyalurkan ekspresi. Ini justru semakin mematangkan apresiasi dan kehidupan berkesenian.
Itu hanya sebagian contoh kecil tentang kebebasan ekspresi . Tapi bagaimana moral bangsanya? Betulkah bangsa Eropa dan Amerika lebih merosot moralnya daripada bangsa Indonesia? Boleh saja dikatakan, "norma budaya sono kan lain dengan Indonesia". Itu benar. Tapi fokus masalahnya di sini bukan itu.
Masalahnya, apakah memang sesederhana itu kaitan antara kebebasan berekspresi dan kemerosotan moral? Sehingga dengan dalih "kebebasan ada batasnya", dibikinlah agama sebagai rambu-rambu kebebasan itu? Kalau sudah begini, siapa yang berani melawan?
Seni vs agama
Di Indonesia, agama adalah senjata pamungkas yang paling ampuh untuk melegalisir larangan apa saja. Siapa yang mau mati konyol melawan agama?
Jadi untuk amannya, seniman umumnya cari selamat saja. Kalau mau berkreasi, ibaratnya berkreasi dengan tangan terpasung.
Maka lahirlah seniman Indonesia dengan kualitas seperti sekarang ini. Entah kenapa ada sesuatu yang hilang melihat karya seni sekarang ini. Film hanya memperlihatkan kemajuan dari segi teknik visual saja, tanpa "kedalaman" berarti. Seni di bidang lain tidak banyak yang terlahir dari renungan dalam dan ketajaman pikir.
Budaya pop semakin merangsek liar tanpa penyeimbang, mendominasi seni lainnya. Ruang yang menggali khasanah pikir dalam proses berkesenian, semakin tergusur. Ironisnya, itu bukan karena potensi seniman Indonesia adalah impoten.Tapi ada sesuatu yang tak nampak, yang "menjajah" kondisi berkesenian hingga membuat seniman mau tidak mau harus jadi impoten.
Seniman, pekerja seni, pemikir seni dan pejuang seni nyaris tak bisa berbuat apa-apa.
Lalu ada yang cari solusinya. Bagaimana kalau para kritikus seni itu diaktifkan. Supaya seniman terpacu membuat karya menarik. Dan kehidupan berkesenian menjadi dinamis.
Oke, untuk majunya sebuah kesenian, memang dibutuhkan kritisi seni. Tapi lingkaran antara seni, seniman dan kritikus seni juga seperti lingkaran setan. Biarpun dikritik sepedas apapun, seniman tidak bisa bergerak bebas dengan kondisi terpasung. Percuma. Situasi tidak memungkinkan untuk bisa bebas berekspresi.
Akibatnya kritisi seni juga tidak membawa hasil berarti di tengah pertumbuhan seni yang mandeg ini. Jadi putaran antara seni, seniman dan kritikus seni ibarat roda yang gelindingnya sudah tertatih-tatih karena tebalnya gumpalan karat.
Masalahnya bagaimana menghidupkan suasana berkesenian yang mati suri ini?
Seni dan agama mestinya tidak saling dihadap-hadapkan secara frontal.
Agama seharusnya tidak dijadikan pedang untuk menikam kebebasan seni. Karena sebetulnya agama seharusnya dijadikan sumber kekayaan jiwa yang bisa memperkaya proses berkesenian. Sebaliknya, seni bisa juga berperan dalam mengekspresi- kan spritualisme ajaran agama.
Agama tidak akan pernah kehilangan kesuciannya hanya karena adanya kebebasan dalam berkesenian. Kebebasan berekspresi dalam berkesenian tidak perlu dipandang sebagai ancaman. Mengapa? Sebab kebebasan itu akan menemukan rem-nya sendiri, jika agama memberi tempat yang pantas bagi kebebasan berekspresi.
Kebebasan tanpa batas?
Kebebasan berekspresi tidak harus berarti kebebasan tanpa batas. Kekuatiran terhadap momok "kebebasan tanpa batas", bisa dimengerti. Namun terlalu berlebihan jika itu dijadikan alasan untuk mengorbankan ruang gerak berkreasi.
Kerancuan pemahaman "kebebasan berekspresi" yang dikacaukan dengan "kebebasan tanpa batas", sama bahayanya dengan "kebebasan tanpa batas" itu sendiri. Sesungguhnya "kebebasan tanpa batas" tidak perlu menjadi sebegitu menakutkan. Karena kebebasan tanpa batas akan hancur dengan sendirinya, bahkan tanpa campur tangan agama.
Sesungguhnya kebebasan tanpa batas dalam seni adalah juga " kejahatan seni" yang melanggar hakikat kehidupan. Sudah menjadi hukum alam, segala kejahatan akan hancur dengan sendirinya, tanpa agama ikut-ikutan menghancurkannya.
Agama adalah agama. Seni adalah seni. Memberhalakan agama bukanlah maksud inti dari agama. Memberhalakan seni juga bukan maksud inti dari seni. Tak ada yang perlu diberhalakan. Karena seni dan agama adalah dua unsur yang bisa saling menunjang untuk memajukan peradaban dan budaya bangsa.
Menafikan kebebasan berekspresi demi agama, sama anarkinya dengan menafikan agama demi kebebasan berekspresi. "Agama" dan " kebebasan berekspresi" semestinya tidak saling menjajah, melainkan dua unsur penyeimbang, penakar kearifan.
Agama dan seni tidak seharusnya mengandung unsur-unsur anarkis. Para pemain di dalamnya-lah yang berpeluang untuk jadi anarkis, entah apapun alasannya.
Rambu-rambu kebebasan berekspresi
Pertanyaannya, "Sebagai negara berketuhanan, apakah salah menggunakan agama sebagai rambu-rambu kebebasan berekspresi?". Jawabnya, "Tentu saja tidak salah!". Namun soal agama tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan "kehidupan beragama yang bagaimana?". Indonesia adalah negara yang salah satu asasnya adalah ketuhanan. Namun Indonesia bukanlah negara agama. Masih beberapa dekade lalu, Indonesia patut bangga soal toleransi beragama-nya. Menurut data, penganut ekstrimisme memang ada, tapi itu hanya beberapa ribu. Itu hanya sebagian kecil di antara 212 juta rakyat, yang di antaranya masih banyak yang menunjukkan sikap saling menghormati antar umat beragama. Sekali lagi, Indonesia memang negara berketuhanan tapi bukan negara agama.
Kehidupan beragama dan berbudaya secara arif, toleran, berwawasan dan bertanggung- jawab adalah jawaban bagi pencarian rambu-rambu kebebasan berekspresi. Sungguh disayangkan, jika hanya demi kepentingan terselubung sekelompok golongan, lantas meng- atasnamakan agama yang dikodifikasi menjadi perundang-undangan untuk memberangus kebebasan berekspresi.
Memang betul, hukum adalah solusi terbaik bagi kejahatan seni yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Namun hendaknya hukum tidak dimanipulasi. Sehingga hukum disusupi oleh topeng-topeng keagamaan yang mengincar kursi kekuasaan, dengan cara membungkam kebebasan berekspresi.
Pemaksaan agama terhadap seni tidak menjamin akhlak bangsa.
Indonesia adalah negara yang banyak berteriak soal akhlak agama. Tapi kemana budaya adi luhung-nya yang tersohor di masa lalu? Yang tersisa hanyalah budaya suka memeras sesamanya. Menggunakan agama sebagai elemen tunggal untuk mengerem kebebasan berekspresi, tanpa menyertakan nuansa kearifan serta dimensi lainnya, hanya melahirkan kedangkalan apresiasi berkesenian.
Apresiasi berkesenian yang dangkal akhirnya bermuara pada merosotnya budaya dan peradaban suatu bangsa. Hasilnya? Lihatlah wajah Indonesia sekarang ini!
Walentina Waluyanti
Nederland, 20 November 2009
{backbutton}