Ngintip Lukisan di Bali
Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Kondisi yang serba elok di Bali banyak menginspirasi seniman untuk membuat karya artistik yang tak ada habisnya. Saya sendiri yang senang melukis, kadang terinspirasi menjadikan seni budaya Bali sebagai obyek lukisan. Berikut ini contoh lukisan karya saya.
“Balinese Dancer” (by Walentina Waluyanti, 2008)-Copyright: Walentina Waluyanti- DON'T PRINT WITHOUT PERMISSION
Foto: Walentina Waluyanti di Pantai Sanur Bali
Ketika berlibur ke Bali baru-baru ini, belum lengkap rasanya kalau belum “mengintip” lukisan tradisional yang banyak bertebaran di Bali.
Jika melihat lukisan tradisional Bali, maka ada beberapa ciri khas yang menonjol. Misalnya beberapa contoh berikut ini.
Pertama, lukisannya banyak menampilkan detail dengan kontur (garis) illustratif yang tegas.
Kedua, lukisannya nyaris tak mengenal perspektif. Misalnya menurut teori, obyek yang dilukis mestinya semakin jauh semakin kecil. Tetapi pada lukisan tradisional Bali, obyek di latar depan dan di kejauhan, tetap sama besarnya. Misalnya lagi, obyek lukisan mestinya semakin jauh semakin mengabur warnanya. Tapi pada lukisan tradisional Bali, latar belakang sawah yang tampak jauh di belakang seorang petani, tetap saja dilukis dengan warna terang menyala.
Selain hal di atas, ada juga ciri lain di luar teknis melukis itu sendiri. Yaitu pelukis Bali jaman dulu pada umumnya menganggap melukis, memahat, mengukir, membuat patung sebagai bagian dari religi. Sebagai bentuk pemujaan terhadap para dewa. Ataupun sebagai bentuk pengabdian pada bangsawan. Karena itu lukisan Bali di masa lampau umumnya berkisar tentang seremoni, ritual dan peristiwa dari epos Ramayana dan Mahabarata.
Pada awalnya para perupa tradisional itu membuat lukisan, patung, pahatan dan ukiran belum dimaksudkan untuk dijual ataupun dikomersilkan. Lebih parah lagi, jika ada turis yang datang dan minta dibuatkan sebuah karya, para seniman lokal mengerjakan order itu tanpa meminta imbalan apa-apa. Di masa lampau para pelukis tradisional ini juga belum mencantumkan tanda tangan dan tanggal/tahun di lukisan mereka. Apalagi memberi judul untuk sebuah karya, juga belum dikenal.
Keadaan di atas tadi mulai berubah dengan masuknya seniman-seniman Eropa ke Bali. Kira-kira di tahun 1920-an, pesona Bali mulai sampai ke telinga seniman Eropa. Selanjutnya para seniman Eropa pun mulai berdatangan bahkan kemudian memilih menetap di pulau itu. Sebut saja beberapa nama. Rudolf Bonnet, Walter Spies, Arie Smit, Le Majeur, Antonio Blanco dan beberapa nama lain.
Dari sekian nama, Rudolf Bonnet, pelukis Belanda dan Walter Spies, pelukis dan ahli musik Jerman, dinilai berjasa menyumbangkan ilmu mereka bagi perkembangan seni di Bali.
Foto: Rudolf Bonnet dan Walter Spies di depan sanggar lukis Bonnet di Bali
Bonnet dan Spies memang akhirnya menetap di Bali. Mereka juga bergaul, hidup melebur dengan para penduduk lokal. Keduanya sangat mengagumi bakat luar biasa yang dimiliki penduduk Bali pada umumnya. Perhatian mereka terhadap kesenian membuat Bonnet dan Spies sangat menghargai kesenimanan penduduk Bali. Pergaulan erat dengan penduduk lokal akhirnya membawa pengaruh besar bagi lahirnya seni rupa modern di Bali. Teori seni yang pernah mereka pelajari secara akademis di Eropa, lalu ditularkan pada seniman Bali.
Melalui Bonnet dan Walter Spies, seniman tradisional mulai disarankan agar tidak hanya melukis epos Ramayana dan Mahabarata/hal religius saja. Mereka disarankan juga melukis tentang kehidupan sehari-hari. Misalnya penari, kesibukan di pasar, laut, petani di sawah dan lain-lain.
Painting by Walter Spies
Selain itu mereka disadarkan bahwa melukis bisa dijadikan sumber mata pencaharian. Untuk itu para seniman tradisional mulai diarahkan pada kesadaran tentang hak cipta. Karena itu penting membubuhi tanda tangan dan memberi judul pada setiap lukisan.
Begitulah, Bonnet dan Spies yang pernah mengenyam pendidikan seni lalu membagi ilmu teknik melukisnya kepada para seniman lokal. Bahkan bersama penguasa Ubud Cokorde Gde Agung Sukowati dan seniman I Gusti Nyoman Lempad, Bonnet dan Spies di tahun 1936 lalu membentuk kelompok seni yang diberi nama “Pita Maha”. Walau organisasi ini berpusat di Ubud, namun peran Bonnet dan Spies disebut juga luas pengaruhnya sampai pada kelompok seniman di Sanur.
Melalui Bonnet dan Spies, para seniman tradisional Bali di tahun 1920-an mulai belajar teori ilmu melukis ala akademi dari dunia barat. Mereka mulai belajar tentang perspektif, anatomi, teknik pencahayaan, nuansa, bagaimana memberi efek volume, bayangan, gradasi warna dan sebagainya.
Di dalam darah para perupa Bali, secara natural pada dasarnya sudah mengalir kuat bakat seni itu. Sehingga walau para seniman di masa itu umumnya tidak pernah bersekolah, tidak sulit bagi mereka untuk menyerap ilmu akademis yang diajarkan seniman Eropa.
Walter Spies yang juga berjasa merancang tari “Kecak” akhirnya dituduh pemerintah Belanda terlibat homoseksual dan sempat ditahan. Kabarnya Bonnet protes keras tentang hal ini. Ketika perang berkecamuk, tahun 1942 Spies dikirim kembali ke Jerman oleh Belanda. Namun kapal yang ditumpanginya tenggelam di perairan Srilangka karena bom Jepang. Walter Spies tewas dalam musibah itu. Sedangkan Bonnet di masa perang menjadi tawanan Jepang dan dikirim ke Makassar sebagai tahanan.
Di tahun 1947 Bonnet kembali ke Ubud dan membangun Puri Lukisan. Dikabarkan Bonnet sempat terlibat konflik dengan Soekarno tahun 1958, karena menolak menjual sebuah lukisan berharganya pada Soekarno. Sebelumnya Soekarno sudah mengoleksi beberapa karyanya (lihat foto).
Lukisan Rudolf Bonnet, koleksi Presiden Soekarno
Entah ada hubungannya dengan konflik itu, Soekarno lalu memintanya meninggalkan Indonesia. Tahun 1978 Bonnet akhirnya meninggal di Belanda. Sebelumnya Bonnet masih sempat beberapa kali berkunjung ke Bali. Abu kremasi-nya lalu dikirim ke Bali yang dicintainya. Untuk menghormatinya, Raja Ubud mengadakan upacara khusus pembakaran abu jenazah, sebelum akhirnya menaburkan abu jenazahnya di laut.
Nah, itu tadi sedikit kilas balik tentang peran Rudolf Bonnet dan Walter Spies dalam perkembangan seni rupa modern di Bali.
Kembali lagi ke kisah tentang mengintip lukisan di Bali dalam liburan saya. Di Bali saya sempat berbincang dengan seorang pelukis I Wayan Djengki, pelukis otodidak dari Desa Batuan Sukowati, Gianyar. Dia mengatakan pernah disponsori pebisnis dari Belanda untuk memamerkan lukisannya di Amsterdam.
Di bawah ini Wayan Djengki menunjukkan lukisan ayahnya, I Wayan Regug yang belum mendapat sentuhan teori dari dunia barat. Sedangkan foto di bawahnya adalah lukisan arang karya Wayan Djengki sendiri yang sudah menggunakan teori modern seperti teknik perspektif dan permainan cahaya.
Foto: I Wayan Djengki memamerkan lukisan ayahnya (atas) dan lukisan arang karyanya sendiri (bawah)
Saya tertarik dengan gaya lukisan tradisional Bali yang unik. Banyak detail yang dilukis dengan teliti. Misalnya bagaimana serat pepohonan, helai dedaunan, bunga-bungaan, bebatuan satu demi satu dilukis dengan cermat dalam bentuk pengulangan. Bukankah itu justru unik dan berbeda dengan gaya lukisan modern yang sekarang ini banyak beredar di mana-mana?
Saya menduga, pastilah lukisan tradisional Bali semacam itu banyak dibuat seniman sekarang, agar banyak dibeli peminat. Ternyata dugaan saya keliru. Menurut Wayan Djengki, justru para perupa di Bali sekarang lebih tergoda membuat lukisan abstrak modern (dengan sentuhan Bali style), karena katanya itu lebih laku dijual. Lho? Dan bagaimana dengan pematung? I Wayan lalu menunjuk keponakannya yang duduk di sebelahnya. Dikatakannya, dulunya anak muda itu suka membuat patung. Tapi untuk membuat patung, butuh modal yang tidak sedikit. Akhirnya dia lebih suka bekerja sebagai pelayan di restoran.
Saya tanya Wayan Djengki tentang bagaimana minat para pembeli terhadap karya-karya seni di Bali sekarang ini? Menurutnya perdagangan karya seni di Bali sekarang ini sedang lesu. Seniman berusaha berkarya. Tapi bagaimana? Peminat yang ingin membeli hanya bisa dihitung jumlahnya. Turis hanya ingin membeli dengan harga murah. Sementara kebanyakan seniman sendiri hidupnya Senin-Kemis. Sehingga kalau seniman sedang butuh uang, lukisan yang paling indah sekalipun, terpaksa dijual dengan harga murah. Tidak ada pilihan lain. Soalnya kalau dijual dengan harga mahal, mana ada yang mau membeli?
Pelukis menggelar lukisannya di halaman Hotel Hyatt, Sanur (Foto: Walentina Waluyanti)
Padahal tak sedikit turis yang membeli lukisan-lukisan itu dengan harga murah, untuk dijual kembali ke pihak lain dengan harga berlipat yang jauh lebih mahal.
Semoga keluh kesah I Wayan tidak menggambarkan kondisi seni rupa Bali secara keseluruhan. Kalaupun benar demikian, mungkin perlu pembenahan lagi dari pihak Pemda. Semoga dinamisme dan animo pada dunia seni rupa Bali seperti di jaman Rudolf Bonnet dan Walter Spies bisa hidup kembali.
Mungkinkah perlu titik balik dari teori Rudolf Bonnet dan Walter Spies? Yaitu mengembalikan kemurnian seni rupa Bali kembali ke gaya klasik, seperti sebelum masuknya teori seni lukis barat di Bali? Sehingga keunikan tradisionalnya mampu bersaing di dunia seni rupa modern? Komersialisme ala barat tentu diperlukan untuk menunjang hidup. Namun dedikasi pada dunia seni seperti yang dijalani para perupa di masa lampau, sayang jika sampai padam semangatnya.
Semoga keunikan pasar seni di Bali tetap terjaga. Setidaknya tetap lain dari pasar-pasar seni di berbagai belahan dunia yang umumnya dipenuhi para pelukis potret....walaupun melukis potret tentu tidak ada salahnya (seperti lukisan karya saya di bawah ini).
Lukisan Potret karya Walentina Waluyanti- Copyright by Walentina Waluyanti-DON'T PRINT WITHOUT PERMISSION
Sebelum menutup tulisan ini, di sini saya gelar lukisan sang empu I Gusti Nyoman Lempad (1862?-1978), seniman legendaris kebanggaan Bali, yang bersama Bonnet dan Spies telah berjasa menggiatkan dunia seni rupa di Bali. I Gusti Nyoman Lempad, yang sudah menikah ketika Krakatau meletus tahun 1883 adalah salah satu pelukis Bali yang multi talent. Mulai dari melukis, membuat patung, mengukir, merancang bangunan, membuat topeng barong, juga banyak menyusun cerita rakyat Bali.
Mangkatnya Nyoman Lempad (seminggu setelah meninggalnya Bonnet sahabatnya) di usia 116 tahun termasuk peristiwa fenomenal dan banyak menjadi buah bibir. Karena Lempad seakan sudah tahu hari kapan maut datang menjemputnya. Tanggal 25 April 1978, dia memanggil dan mengumpulkan seluruh keluarga besarnya, memintanya untuk memandikannya. Sesudah selesai, di hari itu juga dia berpulang untuk selama-lamanya.
Sekilas fragmen tentang upacara mangkatnya I Gusti Nyoman Lempad, bisa anda lihat di video You Tube berikut ini.
Lukisannya yang klasik sangat memukau dengan tarikan garis yang kuat, dan penguasaan anatomi yang banyak dipuji. Juga terasa mistis dan jenius, dengan garis mengalir tak terputus.
Ciri khas tradisionalnya tampak pada kontur yang tegas. Kekuatan dan ketegasan setiap lengkung dan coretannya, tampak terjaga berimbang dengan aura gaib yang terasa meliuk-liuk puitis.
Walter Spies yang pertama kali menyadari dan menemukan bakatnya. Spies terus mendorongnya untuk tetap melukis, dengan cara memberinya material alat-alat lukis. Namun Spies tetap menunjukkan penghargaannya dengan membayar karya Lempad yang dibelinya.
Painting by I Gusti Nyoman Lempad
Bagaimana dengan kondisi seni lukis yang saya lihat di Bali? Tentu saja sulit menarik kesimpulan dengan pengamatan sekilas. Namun kalau boleh beropini, ketika berkunjung ke pasar-pasar seni di Bali, saya merasakan kurang hadirnya karya-karya klasik Bali yang tidak ada bandingnya itu.
Pengamatan sekilas ini tidak saya maksudkan untuk menggeneralisir kondisi keseluruhan. Karya-karya yang ada memang tetap menggemakan seni tradisi Bali. Namun terasa itu hanyalah tempelan belaka, di balik dominasi pengaruh seni pop dan modern.
Ya! Siapa lagi yang bisa menyelamatkan lukisan klasik Bali kalau bukan seniman Bali sendiri?
Walentina Waluyanti
Penulis buku: Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen
{backbutton}