Meneropong Erotisme Dangdut Boneka India

Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Pinggulnya bergoyang ritmis. Tangannya gemulai berayun ke atas dan ke bawah. Ditingkahi lirikan menggoda. Dengan langkah berirama, disenandungkannya lagu itu dengan kemayu. Senyumnya nakal. Kostum lembut yang melekat di tubuhnya menonjolkan lekuk khas wanita.

Aura erotisme itu ditampilkannya bukan dengan senandung suara serak mendesah seksi. Bukan dengan penyampaian lirik lagu yang menggoda. Lirik lagu “Boneka dari India” itu sama sekali bukan lirik cinta yang menggoda. Liriknya sederhana saja, mudah dipahami oleh segala umur.

Tapi justru kesederhanaan itulah yang membuat lagu itu menjadi fenomenal di jamannya. Bahkan menjadi legenda hingga kini.

1kadam1

Penyanyi legendaris asli Betawi itu, Ellya Khadam telah berpulang hari Senin tanggal 2 November 2009 karena mengidap diabetes. Lagu yang dinyanyikannya “Boneka dari India” disebut-sebut sebagai lagu dangdut pertama. Banyak kalangan juga menyebut Ellya Khadam adalah penyanyi yang pertama kali memperkenal- kan dangdut. Walaupun ketika lagu “Boneka dari India” pertama kali dinyanyikannya di tahun 1950-an, di masa itu belum dikenal istilah dangdut.
 
Kalau warna vokal Mulan Jameela dan Reza menjadi ukuran seksi-nya suara vokalis wanita, maka mungkin suara Ellya Khadam, sulit untuk dikatakan seksi. Tajam, melengking tapi pas cengkok Melayunya.  Lirik lagu “Boneka dari India” yang dinyanyikannya, juga tidak provokatif seperti banyak lirik lagu dangdut sekarang ini.

Jadi kalau dipikir-pikir, mengapa Ellya Khadam bisa menjadi legenda dengan lagu “Boneka dari India” itu? Apa sih istimewanya lagu itu? Kalau soal kecantikan penyanyinya, rasanya wajah Ellya Khadam tidak tergolong cantik jelita, walaupun juga tidak bisa dikatakan jelek.

Lirik lagu "Boneka dari India" ciptaan Husein Bawafie itu memang biasa saja. Bahkan hampir mirip lirik lagu anak-anak. Lihat saja, “Ayahku kan tiba datang dari India membawa boneka yang indah jelita oh sayang”.

Namun kesederhanaan lirik lagu itu malah menguatkan sebuah aura.  Aura penyanyinya? Bukan. Aura itu adalah aura sensualisme dan erotisme wanita yang ketika itu masih tabu untuk ditampilkan di pentas. Namun toh berhasil dipentaskan oleh Ellya Khadam dengan cara yang pas, tanpa kesan vulgar dan seronok.

Ya, “Boneka dari India” sebetulnya telah menjadi pelopor lahirnya "sesuatu" dalam musik Melayu. Sesuatu itu bukan sekedar teknik dan warna dalam bermusik. Tapi juga pengeksplorasian ekspresi wanita di pentas musik Melayu. Yaitu sensualisme dan erotisme. Tanpa buka-bukaan. Cukup dengan gerak dan bahasa tubuh mengikuti alunan musik. Hingga akhirnya menjadi musik dangdut yang erotisnya seperti sekarang ini. Dari erotisme dangdut yang paling norak, sampai lahirnya erotisme dangdut eksperimental seperti “Makhluk Tuhan Yang Paling Seksi”.

Ellya Khadam mungkin bisa dikatakan muncul pada saat yang tepat.

Di akhir akhir tahun 1950-an, ketika itu di Indonesia musik Melayu dan musik keroncong masih mewabah. Belum ada dangdut. Pilihan aliran musik yang ada belum begitu variatif. Kondisi politik waktu itu membuat musik Barat tidak punya tempat di Indonesia. Music rock and roll yang disebut music ngak ngik ngok pun, oleh Bung Karno dilarang beredar di Indonesia.

Telinga rakyat masih terbiasa dengan musik Melayu klasik ala P Ramlee.  Juga lagu keroncong, contohnya lagu “Aryati”, lagu yang konon memang dipersembahkan Ismail Marzuki untuk Aryati, ibunda artis Widyawati.

1puspa1

Penampilan penyanyinya pun masih begitu-begitu saja. Juga penyanyi wanita. Umumnya berkebaya dan bersanggul, karena memang saat itu lagi demam nasionalisme. Hawa kemerdekaan baru saja direguk. Penyanyipun tak luput ingin menunjukkan nasionalisme-nya melalui cara berpenampilan. Lihat saja penyanyi Titik Puspa ketika itu. Pada saat menyanyi di istana menghibur presiden, pasti mengenakan kebaya.

Penyanyi wanita di masa itu pun belum berani bergoyang “hot” dalam penampilannya. Kultur menyebabkan wanita harus tergambarkan kalem dan anggun dalam berpenampilan. Sampai-sampai menyanyi di atas pentas pun, mana berani goyang macam-macam?

Sampai akhirnya muncul Ellya Khadam. Penampilannya bisa dibilang berani menggebrak di masa itu. Muncul dengan kostum ala India, di tengah histeria nasionalisme ketika para wanita lebih suka berkebaya. Dengan berani ditampilkannya sensualitas wanita, yang ketika itu masih tabu. Tapi Ellya Khadam berani mengeksplorasi  sensualitas dan erotisme itu terang-terangan di atas pentas, namun masih tetap pantas. Itu semua disisipkannya dalam musik Melayu yang waktu itu citranya terlalu klasik untuk dierotiskan.

Indonesia ketika itu masih sengsara. Masih banyak rakyat yang kelaparan. Mendapatkan beras dan minyak tanah saja susahnya bukan main.

Di tengah situasi begitu, orang butuh hiburan. Lagu keroncong, mungkin cukup menghibur. Tapi penampilan Ellya Khadam membuat rakyat tersentak. Wah, ada hiburan unik nih.

Hebatnya lagi gebrakan “Boneka dari India” itu tidak saja mampu menggebrak ketika itu.

Tapi juga mampu membuat gebrakan yang melahirkan genre baru. Yaitu lahirnya musik dangdut, sebuah sempalan dari musik Melayu. Sekaligus juga genre erotisme dan sensualisme dalam musik Melayu. Akhirnya kemudian erotisme dan sensualitas itu berkembang tidak hanya dalam penampilan penyanyinya, tapi juga dalam lirik lagu dangdut yang umumnya sekarang ini sangat menggoda.

Tidak berlebihan kalau dikatakan, “Boneka dari India” telah mengilhami  sebuah inovasi dalam musik Indonesia. Padahal waktu itu belum terpikir kalau musik Melayu bisa di-erotiskan sedemikian rupa. Mengingat kondisi politik di masa itu.

1kadam3

Lagu “Boneka dari India” dan penyanyinya akhirnya terukir menjadi legenda dalam sejarah musik Indonesia.

Dalam setiap jaman, selalu ada figur yang berani keluar dari rel yang ditentukan. Berani untuk tidak menjadi sekedar pengekor. Berani untuk tidak mengenakan seragam yang sama dengan yang lain. Berani mendobrak kemapanan.

Mungkin masalahnya bukan beranikah kita tampil beda? Karena apa gunanya berani tampil beda kalau itu hanya bertujuan menonjolkan diri sendiri?

Point utamanya adalah beranikah kita tampil beda, karena apa boleh buat……memang itulah ekspresi sebenarnya yang ingin kita suarakan, tentu saja dengan cara non destruktif.  Beranikah kita tampil beda bukan karena “carper”, cari perhatian.  Tapi masalahnya, hanya dengan cara tampil beda itu, mungkin kita bisa memberi kontribusi yang berarti bagi lingkungan kita. Melakukan sesuatu yang unik dan inovatif memang perlu keberanian, tanpa perlu ikut-ikutan.

Walentina Waluyanti,

Nederland, 3 November 2009

{backbutton} 

Add comment