Mana Pembelaan Itu?

Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland

Kubongkar kertas-kertas pleidoi itu. Kucari pembelaan yang paling bagus. Harus kutemukan. Aku sudah terlalu lelah jika hanya diam membeku. Tanpa pernah bisa membela siapapun. Dia membela dia. Kamu membela kamu. Mereka membela mereka. Kalian membela kalian. Tapi aku tak pernah bisa membela dia, kamu, mereka, kalian. Bahkan aku tak pernah bisa membela aku.

Helai demi helai pleidoi berisi kalimat pembelaan terhampar di depanku. Kuteliti satu per satu. Ada pembelaan nyinyir. Ada pembelaan congkak. Pembelaan pilih kasih. Pembelaan cari selamat. Pembelaan cengeng.  Pembelaan yang sok tahu, memang tahu tapi pura-pura tak tahu dan  tak mau tahu. Pembelaan dijilat, menjilat, terjilat. Pembelaan pura-pura bodoh. Pura-pura merendahkan diri. Pembelaan yang memang bodoh. Aku tak butuh pembelaan itu semua. Juga tak butuh pembelaan pinter maupun keminter. Atau pembelaan cerdas maupun yang dicerdas-cerdaskan. Mata paranoid-ku membuat semua pleidoi itu  nampak berselubung kelicikan. Mengerikan. Menakutkan. Memuakkan. Bagiku pembelaan yang baik tak pernah punya formula yang jelas.

foto-1-web

John Singer Sargent

Kalimat apa yang mesti kurangkai sebagai pembelaan? Tak pernah kutahu. Karena itu selama ini mulutku selalu terkunci rapat. Aku tak pernah bisa seperti kamu. Aku tak pernah bisa seperti dia. Aku tak pernah bisa seperti kalian. Aku tak pernah bisa seperti mereka. Seisi dunia mendapat jatah pembelaannya masing-masing. Tapi kemana pembelaan buatku? Kemana pembelaan dariku?

Hak pembelaan itu tak pernah kuperoleh. Juga tak pernah kuberikan. Bagaimana harus kuberikan, jika sepotongpun tak pernah kumiliki. Terlalu mewahkah sebentuk pembelaan itu buatku? Tidak. Harus kuakhiri omong kosong ini. Sekarang saatnya pencarian ini dimulai. Pencarian akan pembelaan.

Tolong katakan padaku. Buatkan aku kalimat pembelaan yang terindah yang pernah dibuat. Aku haus. Haus akan pembelaan. Pembelaan tulus tanpa keberpihakan. Adakah? Pembelaan selalu berpihak. Tak mungkin pembelaan tak berpihak. Berpihak pada kebenaran juga kan berpihak. Tapi aku tak perduli dengan segala logika tentang pembelaan. Aku ingin sekali ini saja. Aku ingin sekali ini bisa menohok dengan pembelaan yang terindah. Yang bisa membuatku percaya bahwa sinar matahari tidaklah hitam.

Kertas-kertas pleidoi itu berserakan. Kata demi kata terangkai membingungkan. Mataku nanar menatap rangkaian kalimat tak jelas itu. Semakin kubaca semakin membuat isi perutku teraduk. Sejenak aku limbung. Tanganku yang keriput bergetar saat kuraih sehelai kertas pleidoi dengan sinar menyilaukan.

Aku tak mampu lagi membaca kalimat-kalimat di kertas pleidoi itu. Kalimat apakah yang ada di kertas itu? Mengapa tak mampu kubaca? Kalimat di kertas itu bergerak. Meloncat keluar dari permukaan kertas. Terburai ke wajahku. Buraiannya terasa memerihkan mataku.

Kulempar kertas berisi rangkaian kalimat pembelaan itu. Tapi kertas-kertas pleidoi itu berbalik mementalkan tubuhku. Aku terjengkang. Oh, kenapa mataku? Mataku bagai terbakar! Aku tak ingin buta! Aku ingin pembelaan! Berikan itu padaku! Agar bisa kuberikan pada semua! Namun tak kuperoleh jawaban. Gugatanku kuteriakkan sekali lagi. Jawaban tetap tak terdengar. Aku kalap. Semakin kalap. Kurengkuh semua kertas pleidoi itu. Lalu kuhamburkan dengan amuk liarku.

foto-2-web

Salvador Dali

Kertas pleidoi memenuhi seisi ruangan. Menari-nari dengan hentakan liar. Kalimat-kalimat pembelaan dari kertas itu luruh seluruhnya. Berhamburan! Semuanya melesat menuju ragaku. Hingga membuatku terjerembab tak berdaya.

Aku tak mampu lagi melawan. Aku hanya bisa terdiam. Hampir tak bernafas. Kubiarkan kalimat-kalimat pembelaan itu menyerangku. Berdesing di wajahku hingga nyaris membutakanku. Kalimat pembelaan itu telah memenuhi dan menimbun sekujur tubuhku. Sampai akhirnya senyap.

Kutatap sekali lagi kertas-kertas pleidoi yang berhamburan itu. Nyaris tak tersisa kata di atas kertas itu. Hanya warnanya yang putih. Dengan cahaya yang tidak lagi menyilaukan. Untuk pertama kali dalam hidupku kulihat kelembutan cahaya seperti itu. Berpendar indah.

Kusibak tirai jendela. Kutatap matahari. Sinarnya tak lagi hitam.

Kutatap cahaya indah yang berpendar memenuhi ruangan. Kilauan pendaran indah itu mengalunkan sebuah ode. Dengarkan dentingan dawai harpa itu! Ting trilililili ting. Indah. Syahdu.

Kini aku tak perduli lagi dengan pencarian cengeng-ku. Pencarian tentang pembelaan. Persetan dengan semua itu! Sol mi re  do mi fa sol mi do. Ode itu masih terus mengalun liris. Merdu.

foto-3-web

Giovani Lanfranco

Kudengar ode tentang pembelaan. Ode pembelaan itu membuat kepalaku tegak. Hingga ketegaranku yang telah  tercampak kembali membuncah.

Dengar lagu pembelaan itu! Tentang pembelaan yang tak perlu dicari. Pembelaan yang tak perlu direkayasa. Karena pembelaan yang direkayasa hanyalah kebenaran semu. Dan karena itu disebut pembenaran.

Biarlah pembelaanku menemukan jalannya dan caranya sendiri.

Walentina Waluyanti

Nederland, 8 Desember 2009

{backbutton}

Add comment