Jusuf Kalla dan Tukang Becak (Beda Suku Bugis dan Makassar)
Copyright@Penulis: Walentina Waluyanti – Nederland
Catatan: Lukisan “Becak Makassar” di bawah ini adalah karya penulis Walentina Waluyanti.
Painting "Becak Makassar" by Walentina Waluyanti - Don't print without permission
Masih ingat 'kan insiden saat Jusuf Kalla disebut "Daeng" oleh Ruhut Sitompul di DPR? Banyak orang Bugis jadi ikutan tersinggung. Mungkin karena sapaan "Daeng" di Makassar sering diasosiasikan dengan sapaan terhadap tukang becak. Memang umumnya tukang becak di Makassar selalu disapa dengan panggilan "Daeng". Misalnya, Anda mau naik becak, lalu bertanya ke tukang becak, “Daeng, berapa ke Jalan Sesat?”.
Saat menyapukan cat acrylic di kanvas dan melukis "Becak Makassar" di atas, saya teringat pada insiden dengar pendapat dengan Jusuf Kalla di DPR. Saat itu Ruhut Sitompul mencerca Jusuf Kalla dengan sebutan "Daeng". Akbar Faisal mengatakan panggilan Daeng itu sama dengan menghina Jusuf Kalla. Panggilan “Daeng” dianggap tak pantas ditujukan pada Jusuf Kalla, mantan Wapres RI. Maklum, Jusuf Kalla termasuk sesepuh yang dihormati di Makassar.
Dampak dari "Jawa-sentris" yang mendominasi Indonesia selama bertahun-tahun sebelumnya, membuat kultur suku non-Jawa kurang begitu dipahami. Orang mengira orang Bugis artinya sama saja dengan orang Makassar, dan karenanya menyangka orang Bugis bisa disapa "Daeng". Meski sapaan "Daeng" adalah sapaan yang sopan, setara artinya dengan "kakak", ini tak berarti sapaan Daeng bisa disama-ratakan bagi semua orang.
Foto: Jusuf Kalla dan Mufidah naik becak melewati Pantai Losari Makassar, dalam rangka kampanye Capres-Cawapres (12/6-2014), menuju cafe di dekat pantai. Rumah Jusuf Kalla berjarak sekitar 1 km dari Pantai Losari. (Sumber: merdeka.com)
Salah kaprah lain dari orang non-Sulawesi, yaitu ada juga yang menganggap bahwa "Daeng" adalah gelar kebangsawanan. Perlu dicatat, "Daeng" bukanlah gelar kebangsawanan. Menyebut seseorang "Daeng" (baik bagi pria maupun wanita), sama saja Anda dengan sopan menyebut seseorang sebagai Mas ataupun Mbak. Kalau ada orang Makassar (bukan orang Bugis) yang disapa sebagai "Karaeng".... nah, ini baru namanya titel ataupun gelar kebangsawanan. Ini berbeda dengan gelar "Andi" yang merupakan gelar kebangsawanan bagi orang Bugis, misalnya Andi Meriem Matalatta (almarhumah), penyanyi cantik jelita nan lemah lembut itu.
Jusuf Kalla, putra saudagar kaya Hadji Kalla, memang dibesarkan di Makassar, tetapi asalnya bukan dari suku Makassar. Jusuf Kalla adalah keturunan suku Bugis Bone. Sampai sekarang rumahnya berdiri megah di dekat Pantai Losari Makassar, di Jalan Haji Bau' 16. Rumah itu dihuninya sejak tahun 1976.
Foto: Jusuf Kalla tahun 1970-an bersama keluarga besar Hadji Kalla
Ada perbedaan antara logat atau aksen orang Bugis dan aksen orang Makassar. Orang Bugis berbicara dengan aksen yang mengalun halus hampir seperti bernyanyi. (Daerah berbahasa Bugis letaknya di pedalaman). Sedangkan orang Makassar (kota pelabuhan), logatnya kira-kira mirip logat orang Spanyol/Portugis. (Ke Spanyol dari tempat tinggal saya di Belanda, mudah ditempuh dengan hanya naik mobil). Mengapa logat orang Makassar mirip dengan orang Spanyol/Portugis, silakan klik=> Memangnya Kamu Siapa, Menajiskan Logat Orang?
Orang dari suku Bugis, termasuk orang Bone, umumnya lebih halus dalam bertutur kata, dibandingkan orang dari suku Makassar. Adapun istri Jusuf Kalla, yaitu Mufidah, adalah orang Minang yang dibesarkan di kota Makassar. Jusuf menilkahi Mufidah setelah 7 tahun saling mengenal. Karena dibesarkan di Makassar, logat Mufidah lebih kental Makassarnya daripada logat Minangnya. Jusuf mulai mengenal Mufidah, adik kelasnya, ketika keduanya bersekolah di SMA yang sama, yaitu di SMA Negeri 3 Makassar. Bangunan sekolah ini tidak besar. Letaknya pun di sebuah jalan kecil dan pendek, mirip lorong, di Jalan Baji Areng.
Kota Makassar adalah kota besar, dengan penduduk multi-etnis. Penduduk aslinya (orang Makassar) nyaris tersisihkan oleh kaum pendatang, terutama dari daerah-daerah berbahasa Bugis, yang terletak cukup jauh dari kota Makassar (di luar kota Makassar). Padahal pada masa lampau, sebetulnya orang Makassar pernah jaya sebagai pelaut tangguh, yang jejaknya sampai ke Madagaskar di Afrika. Orang Bugis umumnya terkenal berjiwa saudagar. Ayahanda Jusuf Kalla, bernama Hadji Kalla dikenal sebagai pengusaha otomotif pertama (pribumi) di kota Makassar. Sudah sejak lama memang Hadji Kalla dikenal sebagai salah satu orang pribumi terkaya di kota Makassar.
Foto: Show room Hadji Kalla, warisan ayahanda Jusuf Kalla di Makassar. (Foto: Toyotamobil)
Sejak saya masih kecil, tahun 1970-an, show room mobil "Hadji Kalla" (foto kanan) sudah berdiri mentereng di dekat Pasar Sentral di kota Makassar. Bentuk bangunan ini agak bundar melingkar. Dinding kacanya tembus pandang, besar dan lebar. Pada tahun 1970-an, show room mobil ini tergolong mewah di Makassar. Meski gedung tadi di zaman itu terbilang mewah, namun ada beberapa pedagang kecil dibiarkan berdagang di halaman gedung. Ada gerobak penjual bakso, penjual es, ada juga penjual yang hanya menggelar tikar.
Karena berjiwa dagang dengan mental ulet dan tekun, tak heran orang Bugis banyak yang terkenal sebagai golongan 'the have', dibanding penduduk asli, yaitu orang Makassar. Ini kira-kira bisa dibandingkan dengan kota Jakarta dan penduduk aslinya yang orang Betawi, malah terpinggirkan oleh kaum pendatang. Bisa dikatakan, dalam masyarakat tradisional Bugis umumnya, "menjadi orang kaya" (dalam konotasi positif) sudah menjadi bagian dari ethos hidup. Apalagi kalau bisa naik haji. Ini salah satu yang memotivasi jiwa saudagar orang Bugis sehingga mereka ulet, tak kenal menyerah dalam dunia wirausaha. Suku Bugis yang berasal dari Kabupaten Bone disebut Bugis Bone, dari Soppeng disebut Bugis Soppeng (misalnya Marwah Daud dan Akbar Faizal), dari Rappang disebut Bugis Rappang (misalnya Mario Teguh), Bugis Wajo, Bugis Sinjai, Bugis Luwuk, dst.
Orang-orang luar Sulawesi Selatan sering tidak bisa membedakan antara Makassar dan Bugis. Makassar adalah nama kota, Bugis bukan nama kota. Makassar adalah ibukota Sulawesi Selatan. Juga Makassar adalah nama suku dan nama bahasa dari penduduk asli kota Makassar, dan dari penduduk beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan.
Adapun "Bugis", bukanlah merujuk pada nama kota, juga bukan nama daerah (jangan dikacaukan dengan nama "Kampung Bugis" di Jakarta). "Bugis" adalah nama suku sekaligus nama bahasa dari beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Di samping suku Bugis dan suku Makassar, di Sulawesi Selatan juga ada suku Toraja, suku Mandar, suku Luwuk. Semua suku tadi menyebar mulai dari kota Makassar sampai di daerah pedalaman di beberapa kabupaten.
Suku Makassar jelas berbeda dengan suku Bugis, meski sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan. Seperti juga orang Sunda berbeda dengan orang Jawa, meski sama-sama berasal dari Pulau Jawa. Sebagai contoh, Jusuf Kalla suku Bugis dan berbahasa Bugis. Baharuddin Lopa suku Mandar dan berbahasa Mandar. Sultan Hasanuddin suku Makassar (dari Kerajaan Gowa), dan berbahasa Makassar. Ada perbedaan bahasa, dialek, logat antara suku Bugis, suku Makassar, suku Toraja, dan suku Mandar. Begitu pula dalam karakter dan adat-istiadat.
Kembali ke soal insiden Ruhut tadi, kalau toh Ruhut mau menyapa Jusuf Kalla dalam sapaan bahasa lokal, mungkin lebih tepat dengan sapaan "Puang". Dalam kultur Bugis, sapaan 'Puang' biasa ditujukan pada bangsawan. Bisa juga ditujukan pada non-bangsawan namun punya kedudukan terpandang. Kultur feodal belum sepenuhnya lepas dari hidup masyarakat. Tetapi sebetulnya kalau tidak benar-benar paham tentang arti sebuah sapaan dalam bahasa daerah, mengapa tidak menggunakan sapaan nasional, misalnya "Bapak"?
Dalam beberapa kasus, banyak juga orang yang kedudukannya cukup bergengsi, tetap disapa "Daeng". Misalnya pejuang revolusi yang cukup dikenal di Sulawesi, yaitu Daeng Romo yang memang orang Makassar (ketika masih kecil, saya sering bermain di rumah Daeng Romo, yang halamannya sangat luas, dengan panti asuhan di salah satu sudut halaman). Untuk Jusuf Kalla yang seorang pria Bugis, bukan Makassar, panggilan "Daeng" kedengaran janggal.
Foto: Pengemudi becak bernama Zainuddin (50), bangga membawa Jusuf Kalla dan Mufidah di becaknya, melintasi Jalan Penghibur Makassar, di tepi Pantai Losari (12/6-2014). Jusuf Kalla membayar Zainuddin sebanyak Rp 100.000 untuk jarak 1 km. Biasanya untuk jarak 1 km, tarif becak di Makassar adalah sekitar Rp 5.000 sampai Rp 10.000,- ... setidaknya ini tarif pada tahun 2014. (Sumber foto: Eri Komar Sinaga/Tribunnews)
Orang yang tinggal di Makassar umumnya memanggil tukang becak dengan sapaan "Daeng". Tukang becak di Makassar umumnya suku Makassar. Faktanya, nyaris tak ada orang Bugis yang menjadi tukang becak. Kalaupun ada, jumlahnya hanya bisa dihitung dengan jari. Di daerah-daerah berbahasa Bugis, becak pun sangat jarang dijumpai. Becak hanya banyak di kota Makassar. Selain Makassar, di daerah lain di Sulawesi, becak tergolong transportasi langka. Kendati demikian, tentu saja tak ada yang salah kalau orang memilih jadi tukang becak. Menarik becak adalah pekerjaan halal... di mana salahnya?
Di Makassar, Daeng tidak saja digunakan sebagai sapaan pada tukang becak. Juga sering diasosiasikan dengan penjual coto Makassar. Di tenda warung coto di Makassar biasa terpampang tulisan besar, "Coto Makassar, Asuhan Daeng Sija". (Keren ‘kan? coto saja diasuh). Tapi di Makassar, jangan sembarangan meremehkan para Daeng ini. Khususnya para Daeng becak yang sehari-hari melewati kerasnya hidup di jalanan.
Ketika masih tinggal di Makassar, saya selalu menyapa tukang becak dengan sebutan "Daeng". Dan dulu saya sangat senang berjalan kaki di sekitar Pantai Losari. Kalau saya jalan kaki, biasanya ada Daeng becak lewat.
Pantai Losari Makassar tahun 1970-an. (Foto: Wikipedia)
Daeng becak bertanya, “Naik Becak?”.
Saya menggeleng, “Tena, Daeng." (Tidak, Daeng). Saya menjawab sopan.
Tetapi Daeng becak tetap mengikuti, “Hampir hujan. Sudah mendung. Becak?”.
Saya menggeleng. Menjawab malas, "Tena!"(Tidak!)
Daeng becak tak menyerah, “Mau ke jalan apa? Saya tidak kasih mahal.”
Saya tetap menggeleng. Uh, pasti si Daeng ini lagi sepi penumpang.
Karena bujukannya tak mempan, Daeng becak itu melenguh kesal. Lalu kabur, setelah jauh ia berteriak, “Carru’ … !!!” (Bahasa Makkassar carru’ artinya bokek).
Sompret! Beraninya kalau sudah jauh!
Pantai Losari jalan Penghibur Makassar, Juli 2012. Di kanan tampak sudut bangunan Makassar Golden Hotel. (Foto: Walentina Waluyanti)
Tukang becak juga umumnya dikenal tidak ada matinya kalau soal bicara ngotot-ngototan. Mungkin karena terbiasa menghadapi penumpang dengan macam-macam karakter. Hal ini tergambarkan dalam anekdot berikut tentang tukang becak.
Penumpang: Ke apotik berapa?
Tukang becak: Rp 70.000,-
Penumpang: Hah!? Mahal sekali! Apotiknya kan dekat sekali. Tuh, lihat! Kelihatan dari sini, kok.
Tukang becak: Betul. Itu di sana! Lihat ke langit! Bulan juga kelihatan dari sini!
Baca juga, silakan klik:
Memangnya Kamu Siapa, Menajiskan Logat Orang?
Pengalaman Bertetangga di Belanda
Walentina Waluyanti
Author of book: Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen
{backbutton}