Jaim Rolling Stones, Resep Sukses

Dilarang plagiat! Copyright@Penulis: Walentina Waluyanti – Belanda

Penyanyi bibir dower itu gelisah. Pertunjukanakan segera dimulai. Tapi mana drummer itu? Kok belum muncul juga? Karena gelisah, Mick Jagger lalu bertanya ke setiap orang, “Mana drummer saya!?”.

Si penggebuk drum Rolling Stones, Charlie Watts tiba-tiba muncul di belakang Mick Jagger. Dibentaknya vokalis Rolling Stones itu,“Hey Mick! Kamu jangan pernah berani menyebutku dengan kata 'drummer saya'. Kamu itu yang 'penyanyi saya'. Understand!?

jaimrolling1-web

Foto: Charlie Watts dan Mick Jagger

Mengatur seniman itu memusingkan. Karena itu grup band yang bisa eksis hampir 50 tahun seperti Rolling Stones, bukanlah hal yang biasa-biasa saja. Apa rahasianya? Kata Mick Jagger, front man Rolling Stones, “Kami adalah orang yang muncul di waktu dan tempat yang tepat”. Mungkin betul apa kata Mick. Tapi untuk menjadi orang di waktu dan tempat yang tepat, sesungguhnya adalah momentum yang bisa diciptakan, jika ada kemauan. Bagaimana Rolling Stones menciptakan momentum itu?

Band adalah wadah sekelompok seniman. Biasanya seniman itu susah dan tak mau diatur, urakan, manusia rumit, sensitif, kepala batu. Inipun pernah diakui Dhani (band Dewa), yang pasti tahu arti ucapannya. Karena dirinya yang seniman pun seperti itu. Angel...bukandalam bahasa Inggris, tapi dalam bahasa Jawa.

Mick Jagger itu cuma mulutnya saja yang besar, kelihatan ugal-ugalan. Tapi di lingkunganband dia dikenal suka mengalah, dan paling bisa mengendalikan diri terhadap ego dan keeksentrikan teman-temannya. Ia punya bakat memimpin dan skill manajemen yang hebat.

Mick Jagger juga mampu menciptakan gaya kepemimpinan luwes, non-formal. Ini membuat kelompok seniman itu tidak merasa ada yang jadi “bos” di grup itu. Kepemimpinan itu dibuatnya merata dalam kelompok, sehingga tercipta kekompakan sinergi dan team-work yang kuat.

jaimrolling2-web

Kemampuan manajerial Jagger, disebut-sebut penentu eksisnya Rolling Stones hingga bisa bertahan hampir setengah abad, sampai sekarang ini. Tak pelak lagi, Rolling Stones adalah band yang paling awet di dunia hingga saat ini. Rolling Stones dikenal dunia sebagai “never ending story”.

Strategi marketing Rolling Stones, sesungguhnya banyak lahir dari kepala Mick Jagger. Semua itu berawal dari strategi membangun imej yang jitu, atau sekarang ini dikenal dengan istilah “pencitraan”. Dalam bahasa gaulnya disebut “jaim” (jaga imej).

Jaga imej

Jaim adalah usaha membentuk imej/citra, ataupun “brand”. Disadari atau tidak, setiap orang punya watak ini. Dari kepala negara, sampai seniman yang paling liar sekalipun...bahkan walau seseorang  mengaku tampil apa adanya. Soal apakah maksud di balik jaim itu negatif atau positif, itu soal lain.

Biasanya jaim dihubungkan dengan pencitraan yang serba positif. Contoh ini banyak kita lihat dari politisi dan pemimpin. Yaitu berperilaku, bertutur, berbahasa rapi, wajahnya ditekuk berwibawa, dan tingkahnya terjaga sopan. Tapi sebetulnya ketika seseorang bertingkah gaul dan berbahasa gaul dengan maksud agar bisa tercapai imej gaul, muda dan “cool”, ini juga sudah tergolong jaim...yaitu menjaga imej gaul, berjiwa muda dan “cool”.

jaimrolling3-web

Bill Clinton dan Mick Jagger, Foto: Foreign Policy

Apakah jaim positif ini bisa menjadi kunci sukses? Tidak juga. Jaim positif di atas, tidak selamanya bisa mengangkat citra. Bisa jadi senjata makan tuan. Gara-gara memaksakan imej sebegitu ideal, padahal kenyataannya tidak demikian, malah bisa membanting citra. Seorang tokoh yang dikenal saleh dan mengaku anti poligami, tiba-tiba dijauhi banyak pengikutnya, ketika ia berpoligami.

Jaim bisa juga malah sengaja dibuat negatif. Tujuannya untuk menarik perhatian publik dengan bertingkah dan berkata negatif. Pelakunya secara sadar ingin tampil beda dengan berperilaku antagonis. Tidak jadi soal apakah itu memancing kontroversi dan perhatian negatif. Bukankah perhatian negatif juga perhatian?

Contoh tokoh yang paling terkenal dengan pencitraan negatif-nya, yaitu Hitler. Tokoh antagonis yang dikenal karena segala yang negatif darinya, dalam ucapan maupun tindakan. Apakah jaim negatif ini bisa menjadi kunci sukses? Jaim jenis ini, sejak awal memang benihnya sudah negatif. Jadi buahnya tidak perlu diramalkan. Buktinya Hitler bunuh diri sebagai pengecut. Berani berbuat, tapi tak berani menampakkan namanya ketika harus bertanggung jawab.

Strategi “jaim” Rolling Stones

Jaim ala Rolling Stones, mau digolongkan positif, susah juga.Siapapun tahu, Rolling Stones adalah sekumpulan the bad boys. Tapi mau dibilang jaim negatif, juga sulit. Buktinya walau kelakuan mereka dinilai ugal-ugalan, tapi nyatanya tak sedikit karya mereka yang inspiratif. Belum lagi kontribusi dan peran mereka bagi perkembangan sejarah musik dunia.

jaimrolling4-web

Jadi apa resep suksesnya Rolling Stones dengan jaim-nya yang tidak keruan itu? Mengapa banyak yang sengaja bikin jaim positif dan sengaja negatif malah berakhir gagal?

Resep pertama, imej yang dibangun Rolling Stones adalah pencitraan yang tidak dibuat “sengaja positif” atau “sengaja negatif”. Pencitraan mereka adalah pencitraan yang berpijak ke bumi, punya konsep, dan konsisten pada konsep itu. Tidak sengaja dipositif-positifkan, melebihi  kenyataan. Juga tidak sengaja dinegatif-negatifkan, bak karakter antagonis lenong Betawi. Orang Betawi bilang, “Biase aje nape”.

Resep kedua, pencitraan itu dibangun semata-mata untuk menawarkan “karya nyata”, bukan berpusat pada individunya. Pencitraan itu tidak membebani personaliti, sebaliknya menantang daya cipta individunya. Pencitraan Rolling Stones bisa disebut sukses, karena berhasil membuat publik  mampu memisahkan antara imej individual, dan imej band sebagai wadah berkarya. Orang mahfum pada tingkah eksentrik kesenimanan personil Rolling Stones. Tapi yang lebih penting buat publik bukan individunya, melainkan KARYA yang menghibur hati dan menginspirasi jutaan orang.

Satisfaction

Masih ingat Kapten Teague, ayah Jack Sparrow (Johnny Depp) dalam film “Pirates of The Caribbean”? Kapten itu diperankan oleh Keith Richards, gitaris Rolling Stones. Lagu yang melejitkan nama Rolling Stones hingga mengguncang dunia, terlahir dari inspirasi Keith Richards. Dalam tidurnya, ia terilhami sebuah komposisi lagu. "Saya terbangun dengan nada-nada itu, dan saya pikir saya mesti menuliskannya”, kata Keith Richards dikutipWikipedia.

Lagu yang melejitkan nama Rolling Stones itu, adalah lagu “(I Can't Get No) Satisfaction”. Lirik lagu tadi ditulis tahun 1965 oleh Mick Jagger bersama Keith Richards di Florida.

jaimrolling5-web

Foto: Mick Jagger dan Keith Richards

Ke dalam lagu “Satisfaction”, Mick menuangkan keadaan sosial saat itu. Yaitu ketika generasi muda mulai muak dengan iklim politik dan arus informasi di TV dan radio. Pemberontakan anak muda terhadap komersialisme dan kapitalisme disebut-sebut terwakili dalam lagu “Satisfaction”. Kombinasi antara aransemen, lirik, iklim politik, keadaan sosial yang mendukung, membuat lagu ini meroket sangat cepat. Sekaligus melambungkan nama Rolling Stones sebagai band papan atas sejagat. Lagu “Satisfaction” menduduki peringkat kedua dari 500 lagu terbaik dunia, setelah lagu “Like a Rolling Stone” Bob Dylan. Peringkat ini disusun oleh para musisi, kritisi dan para profesional dalam industri musik, yang dipublikasikan di tahun 2004.

He can't be a man because he doesn't smoke the same cigarrettes as me”, begitu penggalan liriklagu “Satisfaction”. Liriknya kuat. Iramanya monoton tapi garang menghentak, dengan jalinan klimaks. Ritmenya seperti punya daya hipnotis, dan memberi efek sensasional yang susah dijelaskan. Di video lagu “Satisfaction” di bawah ini, saya tertegun bagaimana “ruh” bisa masuk pada karya yang dihasilkan dengan penuh penjiwaan. Cara Mick Jagger membawakan lagu ini tampak dengan  penghayatan dan penjiwaan yang begitu total.

Menciptakan momentum

Menjadi orang di waktu dan tempat yang tepat? Momentum ini bukan mustahil bisa diciptakan jika ada kemauan untuk sukses. Mick Jagger tahu caranya. Ia jeli menyambar momentum. Ketika Rolling Stones semakin menanjak, dengan taktis Mick Jaggger memutuskan sesuatu. Inilah saatnya mempertahankan kedudukan band-nya dengan menciptakan keterikatan dengan publik. Perlu ada simbol khusus sebagai pengikat, sehingga antara publik dan band-nya terikat menjadi satu. Penggemar itu harus terus dipertahankan.

Ia lalu memikirkan pentingnya punya logo band. Walau sudah menjadi bintang top, sebagai seniman ia menghargai sesama seniman dan karyanya. Soal nama dan logo, mungkin soal sepele, tapi tidak bagi Mick Jagger. Ini menyangkut brand, yang ikut menentukan sukses. Karena itu tak segan-segan ia datang langsung ke akademi seni, Royal College of Art di London. Di sana ia menemui seorang mahasiswa, John Pasche, yang terpilih sebagai perancang logo Rolling Stones.

Ketika berdiskusi dengan Mick tentang rancangan logo, John mengaku ada sesuatu yang sangat menarik perhatian dari bintang rock itu. Yaitu ukuran bibir dan mulut Mick Jagger. Itu juga yang akhirnya menginspirasi John Pasche menciptakan logo “lidah terjulur” sebagai brand Rolling Stones. (Baca catatan kaki di artikel ini, tentang bagaimana logo Rolling Stone diciptakan, diceritakan langsung oleh John Pasche, disainer logo Rolling Stones).

jaimrolling6-web

Mick Jagger menilai ide John tentang logo lidah terjulur itu cocok dengan imej pemberontak anti kemapanan, yang memang melekat pada Rolling Stones. Tak pelak lagi, logo Rolling Stone dikenal sebagai logo yang paling populer di dunia.

Efek logo ini tidak bisa dipandang remeh. Setiap melihat logo ini, orang langsung bisa menangkap imej Rolling Stones. Ini semakin menambah kepopuleran band. Dengan logo dan imej-nya, band favorit Hillary Clinton ini berhasil menjaring kesetiaan, keterikatan bahkan menjalarkan pengaruh pada jutaan penggemar selama lima dekade.

Mick Jagger dan kelompoknya bekerja keras mengoptimalkan momentum “menjadi orang di waktu dan tempat yang tepat”. Sesuatu bisa saja menjadi mungkin, jika orang mau berkarya disertai kerja keras. Yang hebat, Mick Jagger dan grupnya mengejar pencapaian itu di usia belia, ketika anak-anak muda seusianya masih bersenang-senang menikmati fasilitas orangtua. Kata Mick Jagger, “I came into music just because I wanted the bread. It's true. I looked around and this seemed like the only way I was going to get the kind of bread I wanted.”

jaimrolling7-web

Pencapaian Rolling Stones bahkan sangat monumental, yaitu sebagai salah satu band revolusioner, dan simbol revolusi budaya. Hingga kini, sejak tahun 1960-an Rolling Stones masih tetap diminati.

Ironi

Pencitraan Rolling Stones ibarat sebuah ironi di tengah masyarakat. Lihat saja...sebagai pribadi, mungkin saja kelakuan mereka jauh dari keteladanan dan kepahlawanan. Tapi sebagai seniman, dengan kreativitas mereka  mampu menghibur, bahkan menginspirasi jutaan orang menjadi kreatif positif. Bandingkan dengan para tokoh teladan nan terhormat dengan pencitraan bak malaikat, tapi menyebar bandit-bandit perusak yang tidak menginspirasi apa-apa.

jaimrolling8-web Setiap melihat logo “lidah terjulur” Rolling Stones, otak saya sulit menghapuskan sebuah analogi. Yaitu juluran lidah mafia peradilan, mafia pajak, yang mengejek rasa keadilan. Ada banyak momentum berharga terlewat sia-sia, setiap kali hukum akanditegakkan.

Tak jarang momentum hanya datang sekali dalam hidup. Ironisnya, momentum yang sesungguhnya peluang emas, kadang tak terlihat, gara-gara tertutupi sesuatu yang juga nampak seperti emas.

 

 

 fr wwWalentina Waluyanti

Author of book Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen: Sukarno Undercover

Catatan Walentina Waluyanti:

Melengkapi tulisan di atas, berikut ini kisah dari John Pasche, disainer logo Rolling Stones. Tentang asal mula ia menciptakan logo Rolling Stones (dikutip sesuai aslinya dari chasemaclaskey.wordpress.com):

jaimrolling9-web

Foto: John Pasche, disainer logo Rolling Stones

On 29 April 1970, Jo Bergman, who was running the Stone’s office at the time, wrote to me to confirm that they had commissioned me to design a poster for their forthcoming 1970 European Tour. At this time, I was in my final year of graduate design course at the Royal College of Art in London. I was very honored when Mick Jagger turned up at the college to see my final degree show. A short time later, I met with Mick again, who asked me to design a logo or symbol for the Rolling Stones’ record label. Mick showed me an image of the goddess of Kali, which was the starting point to our discussion regarding the design of the logo. I was paid 50 pounds for the design, which took me about a week to complete. In 1972, I was paid an additional 200 pounds in recognition of the logo’s success.

The first use of the logo was the inner sleeve for the Sticky Fingers album. The outer sleeve was designed by Warhol, hence the mix-up with the credits. (Warhol has been incorrectly attributed by many sources.) The logo was not fully registered in all countries and a German jeans company registered the logo in Germany for their own products. This situation, and the fact that the Tongue was getting used by unauthorized manufacturers of badges and T-shirts, prompted proper registration and a merchandising agreement with myself to capitalize on the success of the logo.

The design concept for the Tongue was to represent the band’s antiauthoritarian attitude, Mick’s mouth, and the obvious sexual connotations. I designed it in such a way that it was easily reproduced and in a style that I thought could stand the test of time. Due to its immediate popularity, the Stones kept with it over the years and I believe that it represents one of the strongest and most recognizable logos worldwide. And of course I’m proud of that.

The simplicity of the design lent itself to many variations, which were done by other designers and not myself. The Stones ultimately bought the copyright (in 1982) but I still own the hand-drawn artwork. My busiest time ceasing artwork for the Stones was from 1970-1974, including four tour posters. This led to work for Paul McCartney, the Who, and many other artists and bands through to eleven years ago when I started working as creative director for the South Bank Centre Arts Complex in London. I left this position last April due to the closure of the Royal Festival Hall for an eighteen-month renovation program. I am now 60 years old and work as a freelance designer from my studio at home. Still enjoying rock music and working as a designer.

John Pasche (May 2007)

{backbutton}

Add comment