Aryati! Aryati! Pengaruh Indonesia dalam Kultur Indisch di Belanda

Copyright @ Penulis: Walentina Waluyanti de Jonge - Nederland

_______________________________________________________________________________________________________________________

Generasi sekarang ini sering memaksudkan kata “Indo” sebagai singkatan dari kata “Indonesia”. Namun sebetulnya sebelumnya, sejak zaman kolonialisme kata “Indo” adalah sebutan bagi mereka yang berdarah campuran Eurasia, terutama campuran Indonesia-Belanda. Gaya hidup orang-orang Indo di Hindia Belanda (belum bernama Indonesia) ini kemudian melahirkan kultur yang disebut “kultur Indisch”.

Jejak historis antara Indonesia dan Belanda tidak lenyap begitu saja. Bagaimana pun latar belakang historis selama ratusan tahun, menimbulkan saling pengaruh yang kuat di antara kedua negara. Di dalam kultur Indonesia, jejak pengaruh kultur Belanda sampai sekarang masih tampak. Contoh sederhana, beberapa kata Indonesia diserap dari kata Belanda. Misalnya kata apotik (apotheek), paraf (paraaf), peci (petje), preman (vrijman), ludruk (leuk en druk = menyenangkan dan ramai). Contoh lain, sampai sekarang di Sulawesi Utara dan Maluku banyak penduduk yang memakai nama khas Belanda. Pengaruh kultur Belanda juga masih terlihat pada beberapa kalangan masyarakat yang menikah dengan memakai baju pengantin gaya Eropa seperti masa lalu.

aryati001wm

Pesta pernikahan pasangan keturunan Indo, campuran Indonesia Belanda di Sulawesi Utara, tahun 1929.

Jika di Indonesia masih ditemukan jejak kultur Belanda, begitu pula halnya di Belanda. Hingga kini jejak Indonesia masih bisa terlihat di dalam kultur Belanda. Hanya saja pengaruh kultur Indonesia (tempo dulu) itu disebut oleh orang Belanda sebagai kultur Indisch. Kultur Indisch ini sebetulnya merupakan perpaduan antara budaya Indonesia dan Belanda. Jadi kultur Indisch merupakan budaya yang bukan sepenuhnya kultur Belanda, juga bukan sepenuhnya kultur Indonesia. Belanda bukan, Indonesia bukan. Asal mula lahirnya kultur Indisch, karena perkawinan antara perempuan pribumi dengan pria Belanda pada zaman kolonialisme. Anak yang lahir dari pasangan campuran ini membawa separuh budaya ayahnya, dan separuh budaya ibunya.

Anak-anak berdarah campuran yang disebut Indo (Indisch) inilah yang kemudian menurunkan budaya Indisch secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Kultur Indisch ini cukup menarik perhatian masyarakat Belanda. Namun kadang orang Belanda sendiri bingung tentang definisi Indisch, dan memukul-rata bahwa Indisch itu sama dengan Indonesia atau sebaliknya. Orang Maluku dikatakan orang Indisch, orang Tionghoa dari Indonesia dikatakan orang Indisch, semua orang Indonesia dikatakan orang Indisch. Tak jarang ada orang Belanda yang memperkenalkan saya ke teman/kerabatnya. dengan menyebut saya sebagai "wanita Indisch", bukan wanita Indonesia.  Di dalam buku karya saya berjudul Hindia Belanda Tumbang di Depan Mata (author: Walentina Waluyanti de Jonge), saya menyinggung tentang asal mula menyebarnya budaya orang Indisch di Belanda.

Pasca kemerdekaan Indonesia, orang-orang Belanda dan orang Indo yang memilih kewarganegaraan Belanda, diharuskan oleh Sukarno untuk meninggalkan Indonesia. (Saya tulis tentang ini di buku karya saya, klik: Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen). Maka terjadilah repatriasi warga Belanda dan Indo (termasuk orang Indonesia yang memilih kewarganegaraan Belanda), hengkang dari Indonesia pindah ke Belanda.

tempo001wm

Keturunan Indo (campuran Indonesia Belanda/Eurasia), saat menetap di Hindia Belanda (Indonesia) pada masa kolonialisme.

Setelah warga Belanda dan Indo ini tinggal di Belanda, budaya mereka dari Hindia Belanda (Indonesia), masih tetap terbawa dalam hidup keseharian. Interior rumah mereka didekorasi dengan pernak-pernik khas Indonesia. Misalnya wayang, lukisan pemandangan Indonesia, taplak batik, kursi bambu dan rotan, dst. Juga dalam budaya kuliner, makanan tradisional Indonesia, tidak hilang begitu saja. Saat makan nasi dengan lauknya, di meja makan orang Indisch umumnya tersedia kotak besar berisi krupuk ataupun emping.

Masakan berbumbu tajam menggunakan terasi, petis, petai, ikan asin, aneka sambal senantiasa ada di dapur orang-orang Indisch. Bahkan hingga kini masih ada keturunan Indisch maupun orang Belanda (yang terpengaruh kultur Indisch), yang makan roti keju dengan olesan sambal. Entah bagaimana rasanya. Saya sendiri “tidak tega” mencoba makan roti keju dengan sambal, meski saya penyuka makanan pedas.

Seiring dengan berjalannya waktu, kultur Indisch pun perlahan-lahan memengaruhi orang Belanda. Terlebih beberapa waktu setelah kedatangan para repatrian dari Indonesia, pemerintah Belanda mulai menggalakkan program pembauran dan integrasi. Diskriminasi ras perlahan-lahan mulai terkikis. Kini diskriminasi ras sangat ditentang di Belanda. Dengan berjalannya waktu kehidupan integrasi di Belanda menjadi semakin baik. Para repatrian dari Indonesia akhirnya diterima dengan baik di tengah masyarakat Belanda. Hak dan kewajiban mereka sama dengan warga negara Belanda lainnya.

Di Belanda kemudian mulai bermunculan toko-toko Indonesia yang menjual aneka bumbu Indonesia. Berbagai makanan itu masih ditulis dalam ejaan lama. Misalnya trassi, ketoembar, koenjit, djinten, tempeh (tempe), tahoe. Beberapa tahun lalu saya masih mengikuti siaran rutin di salah satu stasiun TV di Belanda yang menayangkan program memasak masakan Indonesia.

Bagaimana pun ada muatan kultur Indonesia di dalam kultur Indisch, yang sedikit banyak turut memengaruhi kehidupan sosial di Belanda. Orang Belanda mulai menyukai sate ala Indonesia yang terkenal itu. Banyak kata asli makanan Indonesia yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Orang Belanda tetap menyebut kata-kata itu sesuai kata aslinya di dalam bahasa Indonesia, meski ejaannya masih menggunakan ejaan lama. Orang Belanda mengenal dan menyukai hidangan berikut sesuai kata aslinya, yaitu sate, nasi goreng, kroepoek, gado-gado, petjel, rendang, smoor (semur), kroepoek, atjat, telor boemboe bali, sambal goreng boontjes. Segala macam bumbu khas dan bahan makanan Indonesia tersedia di toko-toko Indonesia dan pasar tradisional, terutama di kota-kota besar.

tempemendoan1wm

Salah satu toko Asia di Amsterdam, menyediakan berbagai bahan dan kebutuhan dapur orang Indonesia. (Foto: Walentina Waluyanti)

Bisa dikatakan, kultur Indonesia akhirnya ikut dikenal di Belanda, melalui gaya hidup orang-orang Indisch yang tinggal turun-temurun di Belanda. Ini ikut menguntungkan orang Indonesia yang tinggal di Belanda. Sebab kini orang Indonesia tidak kesulitan mencari berbagai kebutuhan khas Indonesia di Belanda.

Di Belanda juga ada pasar tradisional, namun umumnya tidak setiap hari. (Baca: Pasar di Belanda, Ada Terasi Sampai Petai). Biasanya pasar tradisional diadakan 2 kali seminggu di setiap kota. Ada kota yang pasarnya buka setiap hari Rabu dan Sabtu, ataupun hari lainnya. Ada juga pasar yang buka tiap hari, tapi ini pengecualian. Misalnya di Amsterdam sebagai ibukota Nederland. Yaitu di Pasar Albert Cuyp di Amsterdam. Tetapi tidak semua pasar di Amsterdam buka setiap hari. Kebiasaan pasar 2 kali seminggu ini adalah tradisi sejak dahulu di Belanda, juga menjadi tradisi di Hindia Belanda. Jejaknya hingga kini masih terlihat di Indonesia, misalnya ada daerah di Jakarta yang bernama “Pasar Senen” ataupun “Pasar Rebo”. (Buku Hindia Belanda Tumbang di Depan Mata, author: Walentina Waluyanti de Jonge). Ini merupakan warisan kolonial jaman dahulu, ketika pasar diadakan 2 kali seminggu. Bedanya, pasar di Indonesia sekarang umumnya buka setiap hari, sedangkan di Belanda sampai sekarang umumnya pasar hanya ada 2 kali seminggu.

Ada perbedaan antara pasar-pasar tradisional di Belanda dengan negara-negara Eropa lainnya. Di Belanda, Anda bisa menemukan gerai yang menjual berbagai kebutuhan masakan Indonesia. Hal seperti ini tak mungkin bisa Anda temukan di pasar-pasar tradisional di negara lain di Eropa. Di pasar tradisional di Belanda, ada gerai khusus yang menjual aneka sambal, sayur kangkung, gula jawa, tempe, tahu, aneka krupuk termasuk emping mlinjo, petai, terasi. Begitu pula berbagai bumbu siap pakai yang masih ditulis dengan ejaan tempo doeloe, misalnya boemboe sajoer boontjes, ajam boemboe bali, ajam roedjak, dll.

Kuliner tradisional Indonesia yang dibawa oleh orang Indisch ke Belanda, dengan sendirinya membuat kuliner Indonesia juga dikenal luas di Belanda. Saya pernah menghadiri pemakaman seorang Indisch. Sesudah ritual pemakaman, para hadirin bersama-sama menuju ke sebuah gedung pertemuan. Keluarga yang berduka menjamu para pelayat dengan aneka makanan Indonesia. Di tengah ruangan tampak gunungan nasi tumpeng sebagai simbol penghormatan kepada seorang anggota keluarga yang baru berpulang.

Orang-orang Indisch yang repatriasi ke Belanda, memang kadang masih senang bernostalgia tentang masa lalunya di Hindia Belanda. Penyelenggaraan Pasar Malam yang sekarang ini dikenal di Belanda, awalnya diadakan atas inisiatif orang-orang Indisch pada sekitar akhir tahun 1950-an. Kini event ini diadakan setiap tahun, sekali dalam beberapa bulan. Meski namanya Pasar Malam, tidak berarti diadakan pada malam hari saja. Biasanya diadakan mulai dari siang hari sampai pukul sepuluh malam. Di Pasar Malam pengunjung bisa membeli aneka produk khas Indonesia, baik sandang maupun pangan. Juga ada aneka mebel, souvenir Pasar Malam terbesar diadakan di Den Haag, disebut Pasar Malam Tong Tong. Belakangan ini ada juga Pasar Malam yang diadakan oleh KBRI Den Haag.

aryati002wm

Di Pasar Malam Den Haag yang diselenggarakan KBRI, penulis di belakang mantan Dubes RI untuk Belanda, J.E. Habibie, adik kandung mantan Presiden Habibie, beberapa bulan sebelum wafatnya beliau pada tahun 2010.

Melalui Pasar Malam ini, orang Belanda yang belum pernah ke Indonesia pun, mulai mengenal segala hal tentang kultur Indonesia. Di Pasar Malam tidak hanya dijual berbagai makanan, pakaian, mebel, dan pernak-pernik lain tentang Indonesia. Juga dipamerkan berbagai hal yang berkaitan dengan budaya Indonesia. Misalnya berbagai tari tradisional dan musik. Orang Indisch menggemari musik khas Indisch yang juga sempat populer di Belanda, di antaranya musik Indo Rock. (Saya pernah menulis tentang ini, silakan klik: Oscar Rexhauser, Legenda Indo Rock).

Sampai sekarang generasi tua Indisch sangat menyukai musik kroncong dan lagu-lagu kenangan tempo dulu. Misalnya lagu “Sepanjang Jalan Kenangan”, lagu “Bengawan Solo”, lagu "Soerabaja", dan lainnya. Terkait lagu-lagu kenangan ini, Tantowi Yahya termasuk salah satu penyanyi Indonesia yang dikenal oleh masyarakat Indisch di Belanda. Ini karena Tantowi Yahya sering membawakan lagu-lagu country  bertema lagu tempo dulu. Saya beberapa kali melihat penampilan Tantowi Yahya di panggung Pasar Malam. Pada saat Tantowi mulai tampil, publik yang umumnya terdiri dari opa dan oma orang-orang Indo langsung berteriak, “Aryati! Aryati!”. Mereka langsung meminta agar Tantowi menyanyikan lagu "Aryati" yang populer di antara orang-orang Indisch tempo dulu. Lagu “Aryati” gubahan Ismail Marzuki yang diciptakan untuk ibunda aktris Widyawati, memang sangat digemari para opa dan oma Indisch.

Orang-orang Indisch keturunan Manado biasanya menggemari lagu "Balada Pelaut" yang dibawakan Tantowi. Liriknya antara lain, "Siapa bilang pelaut mata keranjang...". (Mongol, seorang komedian stand-up comedy memplesetkan liriknya menjadi, "Siapa bilang pelaut Angkatan Darat...").

aryati003wm

Tantowi Yahya menyanyikan lagu "country" ala Indonesia di Pasar Malam di Kota Zeewolde, Belanda, 2008. (Foto: Walentina Waluyanti)

Program integrasi yang digalakkan pemerintah Belanda, membuat kultur Indisch tidak lagi asing di Belanda. Dengan sendirinya, melalui kultur Indisch pula orang Belanda mulai mengenal budaya Indonesia. Di Belanda bertebaran restoran Indonesia yang menjual aneka makanan Indonesia, terutama yang digemari orang Eropa. Misalnya makanan seperti rendang, semur, gado-gado, sate, sambal goreng telor, ayam rica-rica, sambal goreng tempe, dan makanan khas Indonesia lainnya. Restoran Indonesia  dikunjungi bukan hanya oleh orang Indonesia, tetapi juga orang Belanda.

Sebetulnya tanpa ke restoran pun, orang Belanda dengan mudah dapat membuat sendiri masakan Indonesia. Soalnya di toko-toko banyak dijual bumbu instant untuk memasak makanan Indonesia. Reklame tentang bumbu Indonesia ini pun banyak disiarkan di berbagai stasiun TV Belanda.

aryati004wmOrang-orang Indisch menikmati rijstafel. Kedua dari kiri adalah kakak sepupu Meriem Bellina, yang termasuk orang Indisch yang bermukim di Belanda. (Foto: Walentina Waluyanti)

Hal di atas membuktikan bagaimana kuliner yang tampaknya hal sederhana, namun sesungguhnya bisa menjadi alat transformasi budaya. Dimulai dari makanan, yang selanjutnya membuka ruang lebih luas dalam proses intergrasi antar masyarakat yang majemuk.

Bukan hanya dalam soal kuliner, jejak Indonesia melalui kultur Indisch pun masih terlihat pengaruhnya dalam pemberian nama-nama jalan dan nama lokasi lainnya di Belanda. Misalnya ada nama Jalan Java (Javastraat), Jalan Sumatera (Sumaterastraat), Jalan Samarinda (Samarindastraat), dan banyak nama kota di Indonesia yang dijadikan nama jalan di Belanda. Bukan hanya nama kota,  bahkan nama daerah di Batavia (Jakarta) pun, diabadikan menjadi nama jalan di Amsterdam. Misalnya Jalan Kramat, Jalan Krukut di Amsterdam. Juga ada tempat bermain anak-anak di Amsterdam yang dinamakan Taman Bermain Makassar.

aryati005wm

Taman bermain di "Lapangan Makassar" di Kota Amsterdam. (Foto: Walentina Waluyanti)

aryati006wm

Jalan Makassar di Kota Amsterdam. (Foto: Walentina Waluyanti)

aryati007wm

Jalan Kramat di Kota Amsterdam. (Foto: Walentina Waluyanti)

Sampai sekarang di Belanda masih ada perkumpulan-perkumpulan orang Indsich yang secara teratur bertemu secara periodik. Biasanya di pertemuan itu selalu ada alunan musik Indonesia, di antaranya keroncong, disertai dansa-dansi. Dansa yang paling digemari orang Indisch adalah poco-poco. Ini menunjukkan bahwa kultur Indsich pun mengikuti trend. Mungkin kakek-nenek mereka dulu belum mengenal poco-poco gaya masa kini. Namun sejak populernya lagu poco-poco beberapa dekade lalu, orang Indisch pun terkena demam dansa poco-poco. Sampai sekarang, di setiap pesta-pesta orang Indisch (juga orang Indonesia), biasanya para tamu selalu bersama-sama menarikan dansa poco-poco ini. Dan… jangan salah! Dansa poco-poco ini tidak hanya familiar bagi orang Indsich dan Indonesia saja, tetapi orang Belanda juga. Saya sering melihat dalam pesta-pesta, beberapa orang Belanda pun mahir berdansa poco-poco.

Selain tari poco-poco yang dipopulerkan orang Indisch di Belanda, juga seni bela diri pencak silat sampai sekarang tak sedikit menarik perhatian para peminat. Di Belanda ada perkumpulan Pencak Silat yang anggotanya umumnya keturunan Indisch mulai dari remaja, bahkan ada seorang opa yang berumur lebih dari 90 tahun. Dengan bangga opa itu mengatakan dirinya sehat dan panjang umur berkat rutin mengikuti olahraga Pencak Silat. Saya pernah melihat opa yang sudah jompo ini dansa nyaris non-stop dengan durasi lama dalam sebuah pesta Indisch. Selama berdansa, ia tampak tetap kuat dan lincah (foto di bawah).

aryati008wm

Seorang opa Indisch yang berusia lebih dari 90 tahun dalam suatu pesta Indisch, dengan lincah berdansa. Ia mengaku fisiknya segar dan kuat karena rutin mengikuti olah raga pencak silat. (Foto: Walentina Waluyanti)

Kini kultur Indisch perlahan-lahan mulai kehilangan generasi pendukungnya. Satu per satu orang Indisch generasi pertama berpulang. Kultur Indisch mungkin saja telah terkikis bagi generasi muda keturunannya saat ini. Namun sejarah tetap mencatat kultur Indich sebagai jejak peradaban dari dua kultur, Indonesia dan Belanda. *** (Penulis: Copyright@ Walentina Waluyanti de Jonge, anggota kelompok kajian sejarah di Leiden)

walentina01Penulis: Walentina Waluyanti de Jonge

Penulis buku Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen

 About Me

Artikel Terkait, silakan klik di bawah ini:

KOMPAS TV Bertamu ke Rumah Walentina Waluyanti

Secuil Kisah dari Belanda dan Tragedi Bawang

Pasar di Belanda, Ada Terasi Sampai Petai

SBY, Belanda, dan RMS

Oscar Rexhauser, Legenda Indo Rock

{backbutton}

Add comment